RUU KIA: Akankah Benar-Benar Menjamin Kesejahteraan Ibu dan Anak?



Oleh Waryati
(Aktivis Muslimah)

Adanya rencana pembahasan lebih lanjut terkait RUU KIA oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengenai usulan cuti minimal enam bulan disambut beragam sebagian masyarakat.

Ada yang merasa khawatir kebijakan tersebut dapat memunculkan diskriminasi terhadap pekerja dan pencari kerja perempuan. Namun ada juga yang beranggapan kalau ke depan perusahan akan berpikir ulang tuk menerima karyawan perempuan dengan alasan berat membayar cuti selama melahirkan.

Dengan alasan di atas, maka pihak perusahaan akan melakukan rekrutmen untuk para laki-laki saja dan berpotensi menyulitkan perempuan dalam mencari pekerjaan.

Menurut Pengamat Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Gabriel Lele, mengenai kebijakan cuti enam bulan, pihak pemerintah harus mampu mengelola dilema di tengah masyarakat.

Gabriel mengatakan ada dilema yang harus dikelola pemerintah antara perlindungan perempuan atau ibu dengan produktivitas usaha. Sebenarnya  kalau dilihat dari kacamata perlindungan perempuan, kebijakan ini bagus, tetapi harus pula diseimbangkan dengan kebutuhan industri. (Kompas.com, 19/6/2022).

Dalam sistem kapitalisme yang tegak atas asas manfaat, dilema yang terjadi di tengah masyarakat terkait RUU KIA pantas terjadi. Pasalnya, menjamin kesejahteraan untuk pekerja yang tengah cuti masih menjadi keraguan besar di benak rakyat. Di tengah kondisi banyaknya pekerja aktif yang belum mendapatkan kesejahteraan memadai. Dengan begitu, RUU KIA justru memunculkan keragu-raguan di benak rakyat. Akan kah mampu menjamin kesejahteraan ibu yang bekerja atau malah sebaliknya.

Jikapun pemerintah benar-benar berpihak terhadap kepentingan perempuan khususnya ibu yang bekerja dengan melindungi mereka melalui RUU KIA, maka perlu adanya pengaturan yang jelas agar mereka tak was-was. Jangan sampai aturan dibuat, tetapi dalam pelaksanannya diserahkan pada pihak perusahaan tanpa pengawasan dari pemerintah. Sehingga bisa memunculkan celah terjadinya perbedaan dalam pelaksanaan dari undang-undang tersebut.

Sanksi bagi perusahaan yang melanggar pun harus dimasukkan ke dalam draf RUU KIA. Hal ini agar mengikat ke dua belah pihak supaya masing-masing paham tanggung jawab serta tidak ada yang dirugikan di kemudian hari.

Andai saja pemerintah mau melaksanakan aturan Islam sebagai pengatur negara dan kehidupan, maka negara tak perlu repot membuat rancangan undang-undang untuk melindungi perempuan. Jauh hari, Islam telah mencontohkan bagaimana cara negara melindungi dan menjaga perempuan, terlebih untuk seorang ibu.

Saking memuliakannya Islam terhadap wanita, maka wanita diarahkan menjadi ummu warabbatul bayyit. Pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya, tanpa harus memikirkan tuk berperan ganda menjadi ibu serta menjadi pekerja. Kenapa demikian? Karena negara yang menerapkan Islam akan menjamin segala kebutuhan hidup rakyatnya. Salah satunya menyediakan lapangan pekerjaan yang luas bagi kaum laki-laki.

Dengan demikian, segala macam kebutuhan dalam keluarga tercukupi oleh para suami dan menjadikan ibu fokus dengan perannya.

Kendati pun Islam tidak melarang saat perempuan memilih untuk  bekerja sesuai bidang yang diperuntukkan baginya, namun tak membuat mereka meninggalkan kewajibannya sebagai pengurus rumah tangga. Peran terbaik dan mulia di sisi Allah diberikan pada perempuan yang melakukan tugasnya secara sempurna sebagai seorang ibu yang mencetak generasi terbaik untuk agama dan peradaban.

Masa menyusui adalah masa terpenting bagi pertumbuhan bayi terkait nutrisi yang diterima bayi pada masa penyusuan yang diistilahkan sebagai masa emas (golden age), Islam pun telah terlebih dulu membahasnya. Anjuran Al-Qur'an terhadap seorang ibu Mengenai masa menyusui anak-anaknya dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 233.

وَالْوَالِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

Artinya: "Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan."

Dengan demikian, adanya perlindungan negara terhadap kesejahteraan ibu pekerja yang sedang cuti melahirkan memang sudah sepatutnya dilakukan. Mengingat jasa seorang ibu bukan sebagai pekerja saja0. Namun yang lebih utama, ibu adalah pencetak SDM unggul.

Jika wanita dari sebuah negara baik, maka akan baik pula generasi yang dihasilkan oleh wanita negara itu. Tergantung sejauh mana tingkat kesejahteraan yang didapat oleh para wanitanya. Tentunya antara kebaikan akhlak perempuan tak bisa lepas dari peran negara dalam menyejahterakan mereka.

Lebih penting lagi, peran negara tak hanya memerhatikan kesejahteraan terhadap ibu pekerja saja. Namun harus mampu menyejahterakan seluruh rakyat. Karena negara lah yang berkewajiban menjamin berbagai kebutuhan yang diperlukan oleh rakyatnya.

Wallahu a'lam bisshawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post