Ironis, Migor Mahal, Sawit Murah, Siapa yang Untung?


Oleh Annisa Eres 
Pengemban Dakwah 

Sungguh miris. Di tengah meroketnya harga minyak goreng yang tak kunjung turun, harga kelapa sawit justru anjlok bahkan tidak bisa dijual. Ini lantaran pabrik tidak menerima pembelian TBS (Tandan Buah Segar) kelapa sawit. 

Umumnya, ketika harga minyak goreng melonjak, harga kelapa sawit sebagai bahan bakunya juga ikut naik. Seiring dan sejalan. Nyatanya, sebaliknya. Apa yang terjadi? Apa yang menyebabkan kondisi seperti ini?
Lalu, siapa yang diuntungkan dengan kondisi seperti ini?
Bagaimana peran pemerintah?
Apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah sebagai penguasa negeri ini? 

Mendag Kaget 

Faktanya, harga minyak goreng per 27 Juni 2022 masih mahal. Minyak goreng curah dibanderol 14.000/liter dan yang kemasan mulai dari 20.500/liter, dikutip dari Tribunnews.com. 

Lalu, harga TBS kelapa sawit di tingkat petani yang tadinya per Januari masih 2.000-3.000, lalu per tanggal 27 Juni 2022 anjlok menjadi 300-800 rupiah/kg. Padahal beban pekerjaannya sangat berat. 

Petani tentu sangat merugi dengan kondisi tersebut. Bagaimana mereka akan memberikan makan bagi keluarganya? 

Menurut Mendag, yang membuatnya terkaget-kaget adalah harga minyak mahal tapi sawit murah. Ia tidak percaya. Katanya, nanti juga akan normal kembali. 

Padahal sejatinya, masalah minyak goreng sebenarnya adalah perkara yang sederhana, tidak perlu dibuat rumit. 

Dilansir dari CNBC, bahwa rata-rata produksi minyak sawit sejak tahun 2016 hingga 2021 adalah 35,57 juta sampai 51,82 juta ton, tiap tahun mengalami kenaikan. Sementara ekspornya hampir 2/3 dari jumlah produksi, dengan stok 3-4 juta ton per tahun. 

Nah, sejak awal tahun 2022 hingga April, baru 4 bulan saja stok sudah 6,10 juta ton. Jumlah ini tentu sangat banyak jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun mirisnya, kenaikan tersebut tidak seiring dengan laju penyerapan konsumsi masyarakat yang mulai mengurangi pembelian lantaran harganya yang mahal. Hal ini terjadi sejak pemerintah menetapkan kebijakan larangan ekspor CPO. 

Ini mengakibatkan kelebihan dan penumpukan stok, dimana sangat merugikan bagi petani sawit kecil. Itu karena pabrik sudah tidak dapat menampung lagi, tidak bisa produksi. Akhirnya pabrik menyetop pembelian TBS. 

Lalu, apa yang akan terjadi? Harga kelapa sawit anjlok, bahkan banyak petani memilih untuk tidak memanen buahnya karena hanya akan merugi. 

Mirisnya, dengan kondisi ini ada pula yang meraup untung sebesar besarnya, di tengah kondisi rakyat yang sedang kesusahan. Merekalah para pemilik modal, yakni 
para pemilik pabrik minyak goreng yang sekaligus memiliki usaha perkebunan kelapa sawit. 

Korporasi oligarkilah yang mendapat keuntungan berlipat. Sedangkan  petani kecil kesulitan untuk menjual TBS-nya, bahkan terancam batal panen. 

Rakyat pada umumnya yang mengonsumsi minyak goreng juga dibuat susah. Selain harga yang mahal, bahkan sekarang juga dibuat susah dengan tambahan peraturan yakni membeli migor harus menggunakan aplikasi atau NIK dan dibatasi per NIK hanya maksimal 10 kg. 

Bagaimana dengan pedagang migor? Bagaimana tidak, di saat harga sawit murah, bahan baku murah, justru harga jual minyak goreng sangat mahal. Keuntungan berlipat-lipat didapatkan oleh oligarki atau korporasi besar. 

Di sisi lain, penangkapan mafia migor juga tak berpengaruh terhadap harga-harga dan kebijakan.

Biang Kerok Kisruh Migor

Lalu, apa yang menjadi biang kerok masalah ini?

Sesungguhnya biang kerok masalah ini adalah kebijakan yang tidak sesuai dengan Islam.
Kebijakan yang dibuat hanya menguntungkan segelintir korporasi dan oligarki. 
Tidak peduli dengan hajat hidup rakyat kecil. 

Inilah buah dari sistem yang digunakan saat ini. Kebijakan atau segala peraturan yang dibuat hanya berdasarkan pada pemikiran dari akal kecerdasan manusia yang bersifat terbatas. Tidak pernah ada standar baku yang jelas untuk menetapkan kebijakan. Kebijakan yang diberlakukan bermuara pada seberapa banyak keuntungan materi yang bisa didapat. Itulah kejamnya sistem Kapitalisme Sekuler. 

Aturan Islam adalah Solusi Jitu 

Sangat berbeda antara sistem Kapitalisme dan sistem Islam. Dalam Islam, segala peraturan yang dibuat tak pernah lepas dari acuan yang baku, yakni Al-Qur'an dan As-sunah. Kebijakan yang ada takkan melanggar yang haram. Sehingga rahmat Allah akan meliputi seluruh alam.

Pemerintah dalam sistem Islam (Khilafah) akan menetapkan kebijakan sesuai dengan aturan yang telah Allah turunkan. Khalifah (pemimpin tertinggi dalam Khilafah) akan menindak penimbun karena penimbunan dalam Islam haram. Dan penimbunan menyebabkan rakyat kesulitan. 

Khalifah juga tidak akan mematok harga. Karena mematok harga juga dilarang dalam Islam, haram hukumnya. Harga ditentukan oleh pasar, bukan oleh penguasa. Itulah dua kesalahan fatal pemerintah yang ada saat ini, dimana sistem Kapitalisme sekuler diberlakukan. 

Keharaman penimbunan dan pematokan harga seharusnya menjadi acuan pemerintah untuk membuat aturan. Bukan justru melakukan yang haram dan menzalimi rakyat. 

Hari ini kita lihat aturan larangan ekspor CPO justru membuat timbunan di pabrik dan akhirnya pabrik terpaksa menutup pabriknya. 

Inilah akibat kebijakan yang ugal-ugalan, hasil dari pelaksanaan sistem yang Kapitalistik. Sudah saatnya dan sudah seharusnya umat menggunakan kebijakan yang bersumber dari Illahi. Dengan syariat Islam yang ditegakkan melalui khilafah. 

Wallahu a'lam bishawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post