Salah Kelola, RI Terancam Krisis Multidimensi


Oleh : Luluk Kiftiyah
Muslimah Preneur

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai, tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman

Itulah penggalan lirik lagu "Kolam Susu" yang populer pada awal 1970-an karya Yok Koeswoyo kelahiran  Tuban - Jawa timur. Lirik lagu ini menggambarkan ironinya negeri Indonesia yang konon subur, gemah ripah loh jinawi tetapi semua serba mahal.

Belum selesai masalah mahalnya minyak goreng, kini pemerintah menaikkan Bahan Baku Minyak (BBM) jenis bensin Pertalite (RON 90), solar subsidi, dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kilogram (kg). Tentu naiknya Pertalite, solar dan LPG ini akan berimbas pada kenaikan harga-harga barang kebutuhan pokok lainnya. (liputan6.com, 19/4/2022)

Mengingat Pertalite, solar dan LPG adalah kebutuhan pokok untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Bisa kita lihat nanti efek terburuknya adalah penutupan pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) pada sektor makanan dan minuman, karena tidak kuat menanggung naiknya biaya produksi. Jika UMKM gulung tikar, kita bisa perkirakan sendiri berapa banyak yang jadi pengangguran baru. Apalagi 97% serapan tenaga kerja ada di UMKM.

Padahal, Indonesia punya beberapa kilang minyak, terutama Blok Cepu yang lokasinya berada di antara Kabupaten Blora provinsi Jawa Tengah dengan Bojonegoro provinsi Jawa Timur. Kilang minyak di Blok Cepu ini adalah ladang minyak raksasa, sebab penghasil minyak terbesar di Indonesia dan di Asia Tenggara. (cnbcindonesia.com, 10/8/2019)

Pertanyaannya, kenapa BBM dan sejenisnya bisa mahal dan langkah?

Inilah permainan sistem demokrasi kapitalis, negeri penghasil minyak terbesar se-Asia Tenggara tetapi minyak langka dan mahal. 

Lucunya, Indonesia mengekspor bahan mentahnya dan mengimpor bahan jadinya dengan harga yang jauh lebih mahal. Hal ini terjadi bukan karena generasi di Indonesia tak bisa mengelolanya, melainkan tidak diberikan kesempatan untuk mengelola. 

Sebab saham terbesar di Blok Cepu dikuasai oleh perusahaan ExxonMobil milik Amerika Serikat. Lagi-lagi karena kebijakan sistem yang memihak para pemilik modal. Alhasil, rakyat Indonesia hanya gigit jari di tengah melimpah ruahnya kilang minyak.
 
Inilah watak asli kapitalisme, yang seharusnya sumber daya alam dikelola untuk kepentingan umat, namun dikelola oleh pemilik modal untuk kepentingan pribadi. 

Sedangkan dalam Islam, bab kepemilikan telah dijelaskan secara jelas, antara kepemilikan pribadi, umum, dan negara. Juga harta yang boleh dinikmati oleh individu ataupun untuk umum.

Dalam hal ini, jelas kilang minyak adalah kepemilikan umum yang seharusnya dikelola oleh negara dan manfaatnya dikembalikan kepada umat. Negara hanya boleh menarik pengganti upah produksi bukan berbisnis dengan rakyatnya.

Sebagaimana Rasulullah bersabda, 

اَلْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلاَثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ 

"Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api."
(HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Dari hadis tersebut, minyak bumi masuk dalam kategori api atau energi yang seharusnya digunakan untuk kepentingan umum dengan daya beli yang relatif murah, bukan di privatisisasi oleh individu ataupun para pemilik modal.

Sehingga rakyatlah yang jadi korban kerakusan para cukong. Selama sistem yang diterapkan adalah sistem buatan manusia, meskipun berganti-ganti pemimpin hasilnya tidak akan jauh berbeda. Karena permasalahan yang terjadi di negeri ini tidak hanya pada pemimpinnya melainkan juga pada sistemnya.

Jadi keberkahan akan terwujud jika sistem yang diterapkan adalah Islam, sistem yang langsung datang dari Allah yang Maha Adil, keadilan dan kesejahteraan akan terwujud.

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post