Moderasi Beragama dalam Instansi Pendidikan


Oleh Yunita M
 (Anggota Komunitas Sahabat Hijrah Balut, Sulteng)

Ide moderasi beragama semakin masif dikampanyekan penguasa saat ini. Dari berbagai elemen masyarakat dan instansi-instansi pemerintahan, tidak terkecuali instansi pendidikan. Semua ini bertujuan untuk menyemai ide moderasi itu sendiri agar tumbuh subur di tengah masyarakat.

Masih segar diingatan kita bersama mengenai dikeluarkannya surat keputusan bersama (SKB) oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri serta Menteri Agama terkait penggunaan pakaian seragam dan atribut di lingkungan sekolah negeri jenjang pendidikan dasar dan menengah beberapa bulan lalu.

SKB Tiga Menteri tersebut mencakup 6 (enam) keputusan utama yang salah satu poinnya berisi tentang keharusan bagi pemerintah daerah dan kepala sekolah untuk mencabut aturan terkait larangan penggunaan seragam maupun atribut keagamaan di lingkungan sekolah negeri.

Pada poin tertentu menegaskan bahwa peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan berhak memilih, menggunakan atribut dengan kekhususan agama atau tidak. Ini berarti menggunakan atribut keagamaan adalah keputusan individu, murid, guru dan orang tua bukan sekolah tersebut. (kompas.com, 3/2/21)

SKB Kental Moderasi Beragama

Surat keputusan bersama (SKB) Tiga Menteri ini memang telah dicabut beberapa bulan lalu. (Kompas.com, 8/5/21). Hal ini karena penolakan berbagai elemen masyarakat. Namun, salah satu poin aturan ini membuat kita berdecak. Bagaimana tidak, sekolah tidak mewajibkan juga tidak melarang siswa maupun tenaga pendidik untuk berseragam sesuai dengan aturan agamanya. Dalam hal ini, sekolah menyerahkan keputusan tersebut kepada  masing-masing individu.


Namun, hal ini justru sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Pasalnya, Islam adalah agama yang pemeluknya  mayoritas di negeri ini. Hal Ini akan mengerdilkan syariat Islam yang mewajibkan bagi setiap individu muslim untuk berpenampilan sesuai dengan ketentuan syariat, terutama bagi seorang wanita. 

Meskipun SKB tersebut tidak sepenuhnya melarang siswa atau tenaga pendidik untuk memakai atribut keagamaan atau lebih tepatnya berseragam sesuai dengan ajaran Islam, namun pada kenyataannya ini akan mencederai wajah pendidikan itu sendiri. Bagaimana tidak, instansi pendidikan apalagi setara SD dan Menengah selayaknya menjadi tempat pembentukan habits sejak dini. Seperti memakai Jilbab dan kerudung bagi wanita. 

Namun, pada faktanya hal ini bertentangan dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Jika aturan berpakaian dikembalikan pada individu dan orang tua siswa masing-masing, lantas bagaimana fungsi pendidikan bisa berjalan dengan baik? Padahal, kita tahu bersama bahwa fungsi pendidikan bukan hanya seorang siswa mampu menguasai berbagai jenis ilmu, melainkan juga bagaimana ia mampu mengamalkan ilmunya sekaligus menjadi insan bertakwa kepada Khaliknya.

Ada apa dengan salah satu point SKB tiga Menteri tersebut? Sebegitu berpengaruhkah atribut dan seragam keagamaan yang dikenakan siswa maupun tenaga pendidik sehingga mengharuskan pemerintah mengeluarkan peraturan untuk melarang mengenakan jilbab di lingkungan sekolah?

Rupanya, hal ini sejalan dengan ide moderasi beragama yang saat ini digaungkan penguasa. Artinya penguasa menyeruh agar setiap masyarakat untuk tidak ekstrim mengamalkan ajaran agamanya terutama umat Islam. Umat digiring untuk mengamalkan syariat Islam sesuai dengan nilai-nilai kehidupan yang bebas saat ini. Kaum muslimin juga dikondisikan agar tidak mengamalkan ajaran agamanya secara kafah.

Melalui dicabutnya peraturan akan kewajiban menggunakan atribut atau seragam keagamaan di sekolah-sekolah negeri, nyatanya inilah salah satu cara mengkampanyekannya moderasi beragama dalam instansi pendidikan. Kebebasan berekspresi sekalipun melanggar ketentuan syariat difasilitasi. Moderasi Islam menggambarkan ketakwaan hanyalah milik individu, taat kepada syariat adalah pilihan bukan keharusan. itu pun saat umat mengamalkan syariat seolah-olah dibatasi gerak geriknya dengan dalih ekstrimisme.

Kebijakan apapun yang dikeluarkan oleh penguasa jika itu bertentangan dengan syariat maka, selayaknya tidak dibenarkan. Umat seharusnya mampu berpikir jernih akan upaya orang-orang yang membenci Islam dalam mengkerdilkan ajaran Islam. Umat dikondisikan agar berpikir pragmatis dan liberal yang hasil akhirnya menjadikan umat Islam anti dengan syariat agamanya sendiri.

Tujuan dikampanyekan moderasi beragama melalui kebijakan yang telah dikeluarkan, tidak lepas dari bagaimana pandangan mereka terhadap syariat Islam itu sendiri. Syariat Islam yang begitu apik membahas mulai dari bangun tidur sampai bangun negera dikerdilkan keberadaannya. Umat Islam dihambat dalam menerapkan syariat Islam secara kafah. 

Inilah salah satu cara yang ditempuh oleh penguasa di dalam sistem kapitalis sekuler saat ini dalam mencegah kebangkitan Islam. Mulai dari umat muslim yang digiring untuk tidak menerapkan ajaran agamanya secara kafah, sampai dengan digaungkannya moderasi beragama mencampuradukkan antar hak dan batil.

Pemikiran-pemikiran liberal ini, sejatinya lahir dari rahim kapitalisme sekularisme yang saat ini mencongkol dibenak kaum muslimin. Jika terus membiarkan sistem ini menggerogoti kaum muslimin maka, sampai kapanpun syariat tidak akan terterapkan secara total, akan selalu ada cela untuk terus menerus didiskriminasi.

Saatnya umat kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya. Melawan pemikiran batil yang dijajahkan para pembenci Islam. Dengan cara senantiasa berpegang pada syariat, mengkaji Islam ideologis melalui kelompok-kelompok dakwah yang senantiasa ikhlas berjuang mengembalikan kehidupan Islam dengan menegakkan Khilafah Islamiyah sebagai jati diri umat yang sejati.

"Wahai orang-orang yang beriman jadilah kalian para penolong agama Allah Swt." (TQS. as-Shaf: 14)

Wallahua'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post