Sejahtera Tanpa Pajak, Mungkinkah?


Oleh : Sari Asih

Pemerintah bersama DPR RI sepakat menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara bertahap sampai dengan tahun 2025.  Tarif sebesar 11% akan berlaku pada 1 April 2022 mendatang, dan tarif 12% akan diberlakukan paling lambat Januari 2025. Dalam UU Perpajakan saat ini pemerintah dapat mengubah tarif PPN paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Di samping itu pemerintah juga menetapkan tarif PPN 0 % atas ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud dan ekspor jasa kena pajak.

Kenaikan PPN ini seiring dengan disahkannya  UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Undang- Undang ini menambah fungsi Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) untuk Wajib Pajak (WP) Orang Peribadi (OP). Berdasarkan UU HPP setiap wajib pajak orang pribadi yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan perpajakan wajib mendafarkan diri pada Kantor Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan  (Kemenkeu). Dalam keterangan resminya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa tujuan dibentuknya UU HPP ini adalah untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian yang inklusif dan sekaligus mendukung percepatan pemulihan perekonomian serta mengoptimalkan penerimaan negara disamping untuk mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum. (bisnis.com, 12/9/2021).

Dengan adanya sinkronisasi NIK dan NPWP ini maka setiap warga negara siap – siap menjadi wajib pajak walaupun tidak lantas mereka membayar pajak, sedangkan kenaikan PPN ini jelas akan menambah beban hidup rakyat. Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual beli barang dan jasa yang dilakukan oleh wajib pajak pribadi atau wajib pajak badan, yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP), jadi yang berkewajiban memungut, menyetor dan melaporkan PPN adalah para pedagang/penjual, namun pihak yang kewajiban membayar PPN adalah konsumen akhir. Oleh sebab itu kenaikan PPN akan berdampak kepada naiknya harga barang dan jasa dan meningkatkan resiko turunnya daya beli masyarakat, karena hampir semua barang yang dijual akan terkena PPN,

Menurut peneliti Institue for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus kenaikan PPN sebesar 11% pada tahun depan akan menurunkan pertumbuhan ekonomi 0,02%, sedangkan konsumsi bisa turun 2,05%, jadi kenaikan PPN ini justru memperlambat proses pemulihan ekonomi. Ia juga mengatakan bahwa INDEF sudash mengkalkulasi perhitungan kenaikan tarif pajak menjadi 12% pada tahun 2025, hasilnya seluruh indikator makro ekonomi akan berantakan, inflasi akan meningkat, PDB (Produk Domestik Bruto) akan turun dan upah riil akan meningkat dan impor akan turun. (cnbcindonesia, 6 Oktober 2021).  

Walaupun kenaikan pajak akan berdampak negatif, tetapi mengapa tetap diberlakukan? Hal ini dilakukan untuk menurunkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi di bawah 3% pada tahun 2023. Menurut  Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara terdapat dua cara yang bisa dijalankan pemerintah untuk menurunkan defisit anggaran ke angka 3 persen yaitu reformasi perpajakan dan penajaman belanja pemerintah. (liputan6, 14 Oktober 2021). Jadi adanya kenaikan PPN ini merupakan bagian dari reformasi pajak yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak, karena dalam sistem kapitalisme pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara, bahkan menjadi tulang punggung, sehingga wajar jika pemerintah begitu gigih menaikkan pendapatan dari sektor pajak dengan berbagai variasinya. Hal ini berbeda dengan sistem Islam yang hanya pajak hanya ketika dalam kondisi darurat.

Dalam sistem Islam ada banyak pos pendapatan negara diantaranya adalah bagian fa’i dan kharaj, bagian shadaqah, dan kekayaan alam yang secara syariah menjadi milik umat seperti minyak dan gas bumi, perairan, hutan. Apabila semua ini dikelola sesuai dengan syariah tentu akan menghasilkan pendapatan yang besar bahkan surplus. Prof. Dr. Fahmi Amhar pernah mencoba meramu APBN syariah dengan menghitung pos penerimaa/pendapatan dan pengeluaran, hasilnya adalah surplus, mengingat kekayaan alam negeri muslim yang sangat besar yang saat ini belum optimal dikelola oleh negara. Dengan adanya surplus ini akan berdampak kepada kesejahteraan rakyat walaupun pemerintah tidak memungut pajak.

Sementara pajak  atau dharibah merupakan sumber pendapatan yang bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental karena Islam menetapkan kepada kaum muslim fardhu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada lagi di baitul mal, karena itu menjadi instrumen untuk memecahkan persoalan yang dihadapi negara yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut insidental, karena tidak diambil secara tetap, bergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara’ untuk mengambilnya. Dengan demikian , adanya berbagai jenis pajak dan tarifnya yang semakin naik seharusnya umat Islam menyadari bahwa ini adalah konsekuensi logis dari diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme yang tidak akan membawa kesejahteraan kepada rakyat, dan seharusnya kita kembali kepada sistem Islam yang diterapkan secara kaffah agar hidup menajdi berkah. Wallahua’alam.

Post a Comment

Previous Post Next Post