Kesejahteraan Guru Hanya Ada dalam Sistem Islam


Oleh Yuli Ummu Raihan
Member AMK dan Aktivis Muslimah

Nasib guru di negeri ini masih sangat memilukan terutama yang berstatus guru honorer. Harapan muncul saat pemerintah melakukan seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun, ribuan guru honorer terutama yang telah berusia senja, merasa keberatan dengan bentuk soal dan passing grade yang ditetapkan. 

Meski telah mengabdi puluhan tahun, nasib mereka harus dipertaruhkan karena harus berkompetisi dengan guru honorer muda yang memiliki nilai lebih. 

Peran guru sangatlah penting. Di tangan gurulah masa depan bangga ini dititipkan. Seharusnya semua guru mendapat kehidupan yang layak baik statusnya ASN atau honorer. Bukankah tugas dan tanggung jawab mereka sama? 

Sayangnya guru honorer hari ini dipandang sebelah mata. Padahal guru honorerlah yang banyak mengisi ruang-ruang kosong di sekolah, khususnya di daerah dan pelosok. 

Dilansir dari data.kemdikbud.go.id, 25/11/2020, bahwa terdapat 3.357.935 guru yang mengajar di 434.483 sekolah. Sementara jumlah siswa mencapai 52.539.935 siswa. Artinya rasio rata-rata perbandingan guru dan murid adalah 1:16. Namun, ternyata baru 47.8% guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), sementara sisanya adalah guru honorer baik Guru Yayasan Tetap (GYT), Guru Tidak Tetap (GTT), Guru Bantu Pusat dan kategori lainnya. 

Sudah menjadi rahasia umum, besaran gaji guru honorer sangat jauh di bawah guru yang berstatus PNS. Padahal pemerintah telah menganggarkan dana yang begitu besar untuk pendidikan yaitu Rp541. 7 triliun dalam RAPBN 2022. Namun sayang, hanya 14,8% yang dikelola Kemendikbud. Presiden Joko Widodo juga mengatakan pembangunan SDM telah menjadi agenda prioritas pemerintah guna memanfaatkan bonus demografi dan diskusi teknologi. (Kompas.com, 16/8/2021) 

Bagaimana guru akan bisa mendidik generasi dengan baik, jika kesejahteraan mereka masih sangat jauh. Sistem hari ini tidak memberikan jaminan kesejahteraan untuk mereka. Belum lagi berbagai permasalahan dalam dunia pendidikan lainnya. 

Semua ini akan berbeda saat Islam diterapkan secara kafah oleh sebuah institusi negara. Dalam Islam,  semua guru statusnya sama. Semua berstatus pegawai negara. Mereka mendapat gaji yang sangat layak. Imam ad-Damsyiqi meriwayatkan dari Al-Wadliyah bin Atha bahwa dulu di Kota Madinah Khalifah Umar bin Khaththab pernah menggaji seorang guru sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas). 

Dengan gaji yang layak ini ditambah semua kebutuhan pokok dicukupi negara, maka para guru akan fokus mendidik generasi dengan ilmu terbaiknya. Mereka tidak perlu lagi memikirkan kebutuhan hidup keluarganya. 

Semua ini sangat mungkin terjadi karena negara Islam punya mekanisme pembiayaan pendidikan. Kepemilikan negara dan umum menjadi sumber utama pembiayaan pendidikan negara Islam. Jika dua sumber ini ternyata tidak mampu mencukupi, maka negara akan mengambil opsi utang yang kemudian dilunasi dengan dana pajak yang dipungut dari kaum muslimin. 

Tidak akan ada lagi gaji guru yang tertunda hingga berbulan-bulan. Semua fasilitas pendidikan juga akan disediakan. Kesejahteraan guru hanya akan terwujud jika Islam diterapkan secara kafah. 

Dalam Islam, pendidikan adalah kebutuhan dasar yang harus dijamin ketersediaannya bagi rakyat. Negara akan menyediakan secara gratis dengan mengelola sumber daya alam secara mandiri. Negara juga mendapatkan anggaran dari kharaj, fai, dan lainnya. 

Tidak akan ada lagi rakyat yang putus sekolah karena tidak ada biaya. Tidak akan ada lagi perbedaan fasilitas pendidikan di kota atau desa. Tidak akan ada lagi guru yang bekerja sampingan agar bisa mencukupi kebutuhannya. Kesejahteraan guru akan didapatkan jika kita mau menerapkan Islam secara kafah. Wallahu a'lam bissawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post