Payung Hukum Tidak Jelas, Kasus Pelecehan Seksual Kian Marak



Oleh : Dwi Sri Utari, S.Pd 
(Guru dan Aktivis Politik Islam)


Ramai diperbincangkan netizen di media sosial, kasus pegawai KPI yang mengaku menjadi korban pelecehan seksual di kantor menambah panjang deret daftar kasus pelecehan seksual di Indonesia. Hal ini sekaligus menunjukan bahwa kasus pelecehan seksual masih marak terjadi. Masih terus terulangnya kasus pelecehan seksual di negeri ini tidak terlepas dari payung hukum yang masih belum ajeg juga. Dalam hal ini adalah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual  (RUU P-KS) yang diubah menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TP-KS). 

Belum lama dari kasus pelecehan seksual di KPI Pusat. Sempat geger pula sebelumnya, adanya kasus pelecehan seksual yang menimpa mahasiswi IAIN Kendari. Panjangnya deret daftar kasus kekerasan seksual telah dihimpun dalam sistem informasi daring perlindungan perempuan dan anak, dimana hingga 3 Juni, jumlah total kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terkini di tahun 2021 telah mencapai angka 3.122 kasus.(Merdeka.com, 4/6/2021). Sementara itu, adanya glorifikasi terhadap artis pelaku pelecehan seksual di stasiun TV yang baru saja menyelesaikan masa tahanannya, membuat banyak orang merasa miris.
Berkaitan dengan payung hukum tindak pidana kekerasan seksual pengesahannya masih saja tarik ulur. Pembahasannya rumusan materi pasalnya masih menimbulkan pro dan kontra.Perubahan draf Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dinilai mengesampingkan hak korban. RUU PTKS tidak mengkategorisasi bentuk-bentuk kekerasan seksual sebagaimana yang dijabarkan dalam RUU PKS. RUU PKS sebelumnya mengkategorisasi bentuk kekerasan seksual menjadi 9 bentuk, di antaranya pelecehan seksual; eksploitasi seksual; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan aborsi; perkosaan; pemaksaan perkawinan; pemaksaan pelacuran; perbudakan seksual; penyiksaan seksual. Naskah terbaru hanya menetapkan bentuk kekerasan seksual menjadi empat jenis yaitu sebagai pelecehan seksual, pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual. (cnnindonesia.com, 8/9/2021)

Sesungguhnya ketidakjelasan landasan filosofis dan ideologis merupakan akar permasalahan suatu produk hukum sehingga menimbulkan kontroversial. Pro dan kontra terhadap produk hukum di negara demokrasi sekuler adalah keniscayaan. Selama ini pembuatan suatu produk hukum masih berpusat pada kemampuan berpikir manusia yang lemah dan terbatas.sehingga produk hukum yang dihasilkan pun memungkinkan mengandung kelemahan dan kekurangan, hal ini ditunjukan dengan sering dilakukannya revisi undang-undang.

Standar dalam membuat UU adalah akal manusia berdasarkan suara terbanyak. Kebenaran diukur dari berapa banyak produk hukum tersebut mendapatkan persetujuan. Padahal disetujui mayoritas anggota parlemen bukan berarti disetujui mayoritas masyarakat, karena kita mengetahui bahwa anggota parlemen sejatinya mewakili partai politik yang serat dengan kepentingan. Akibatnya, produk hukum yang dihasilkan hampir pasti membawa kepentingan kelompok politiknya, kelompok bisnisnya atau pihak sponsor, bukan mewakili rakyat. Tak jarang kebijakannya banyak yang tak sejalan dengan harapan rakyat. 

Pangkal kekisruhan hukum yang terjadi hingga kini disebabkan karena sistem hukum yang diterapkan saat ini berlandaskan pada sekulerisme. Paham yang memisahkan agama dari kehidupan atau memisahkan agama dari politik dan negara. Dengan dalih bahwa agama itu sakral alias suci, semetara politik itu kotor. Sesuatu yang suci akan rusak jika bercampur dengan yang kotor. Sehingga hukum agama tidak boleh mengatur kehidupan publik. 

Padahal apabila hukum berlandaskan agama akan menghasilkan produk hukum yang lengkap, padu, harmonis, dan selalu relevan dengan zaman. Hukum yang terpancar dari akidah Islam memiliki sumber yang jelas. Dengan kejelasan sumber hukumnya, maka akan terhindar dari perselisihan, karena rujukannya jelas dan baku yakni wahyu Sang Pencipta. Hal ini membuat hukum tidak bisa diintervansi oleh siapapun. Tidak mungkin seorangpun bisa dan boleh mengotak-atik dan memanipulasi hukum sesuai kepentingannya. Sehingga menjamin kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.  Apabila pembentukan suatu produk hukum berlandaskan filosofis dan ideologi Islam, maka tidak sulit untuk menyelesaikan berbagai problem kehidupan manusia, termasuk problem maraknya kasus pelecehan seksual. 
Wallahu alam bi shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post