Bonus Fantastis Wamen, Politik Balas Budi?


By : Merli Ummu Khila 
Pemerhati Kebijakan Publik 

Kerja digaji besar, habis masa jabatan dikasih bonus fantastis. Ditengah krisis finansial yang berkepanjangan serta keuangan negara ini mabok utang, kok bisa-bisanya pemerintah foya-foya kucurkan bonus wamen lebih dari setengah miliar. Apa yang menjadi pertimbangan pemerintah dengan meneken kebijakan yang semakin memanjakan pejabat? Hampir tidak ada prestasi yang membanggakan dari kementerian. 

Wakil menteri itu hanya pembantunya pembantu presiden. Wamen tidak mempunyai kewenangan apapun dalam mengambil keputusan atau kebijakan. Posisinya hanyalah subordinasi menteri. Lalu apa istimewanya hingga harus diberi bonus diakhir masa jabatan? Kalaupun bonus tersebut untuk uang pesangon dalam rangka efisiensi birokrasi tetap saja tidak bisa diterima begitu saja. 


Seperti dikutip dari tirto.id, 31/08/2021, Presiden Jokowi memberikan bonus bagi para wakil menteri sebagai uang penghargaan. Bonus ini akan diterima pada akhir masa jabatan setiap periodenya. Besaran uang yang mereka terima mencapai Rp580 juta lebih. Hal ini merujuk pada  Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 77 tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wakil Menteri yang ditandatangani pada 19 Agustus 2021.


Kekuasaan Alat Memperkaya Diri Secara Legal dan Ilegal

Belum juga hilang kekecewaan rakyat atas ulah oknum Bupati yang menerima bonus atas warganya yang meninggal karena Covid dengan menjalankan SK Bupati. Para pejabat mendapatkan intensif ratusan juta dari kematian warganya sendiri. Sungguh sebuah kebijakan yang menabrak asas kepatutan dan moralitas. 

Kini pemerintah seolah hilang urat malu, menghamburkan anggaran untuk memanjakan para pejabatnya. 
Wakil menteri yang ditunjuk oleh presiden sejatinya hanyalah politik balas budi. Kedudukan wamen yang tidak masuk dalam kabinet semakin menguatkan pandangan bahwa jabatan ini hanya aksesoris politik belaka. Jabatan wakil menteri ini bahkan condong memperpanjang proses birokrasi. 

Pandemi, Pejabat Makin Kaya, Rakyat Makin Tersiksa

Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kekayaan pejabat atau penyelenggara negara mengalami kenaikan selama pandemi Covid-19.
Hal itu disampaikan Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan. 
“Kita amati juga selama pandemi setahun terakhir ini, secara umum penyelenggara negara, 70 persen hartanya bertambah,” ucap dia.

Hal ini berbanding terbalik dengan yang terjadi pada rakyat. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Jutaan kepala keluarga harus kehilangan pekerjaan, jutaan UMKM gulung tikar. Begitu juga nasib petani yang harus merugi saat panen raya. 

Lalu apa fungsinya negara sebagai pemegang amanah rakyat? Jangankan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan atau cepat tanggap menanggulangi pandemi. Pemerintah seolah lepas tangan dan membiarkan rakyat berjibaku sendirian. Para abdi negara justru sibuk mengamankan kekuasaan dan menjadikan kekuasaan untuk memperkaya diri. Melayani keinginan para kapitalis dengan membuat kebijakan yang tidak pro rakyat. 

Beginilah jika sebuah negara menganut sistem yang menyerahkan pengambilan hukum di tangan manusia. Setiap pemimpin dari tingkat desa hingga presiden bisa membuat peraturan sekehendak hati. Sebuah kebijakan mudah saja di teken karena tidak memerlukan persetujuan rakyat secara langsung. 

Hal ini tentu tidak akan terjadi pada sistem pemerintahan Islam. Kekuasaan bukan prestasi yang harus diraih namun sebuah dedikasi untuk kemaslahatan umat. Setiap jabatan akan dipertanggungjawabkan di dunia dan di akhirat. Sedikit saja melanggar hukum syara maka kelak jabatannya akan menjadi sesalan. 

Suatu hari, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku (seorang pemimpin)? Lalu, Rasul memukulkan tangannya di bahuku, dan bersabda, ‘Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya (dengan sebaik-baiknya).” (HR Muslim).

Atas dasar inilah dalam Islam tidak ada yang meminta diberikan jabatan. Apalagi sampai berkampanye menghalalkan segala cara untuk sebuah kekuasaan. Hal ini semata karena ketundukan pada hukum Allah ta'ala dan khawatir tidak bisa menjalankan amanah dengan baik. Bagi seorang muslim jabatan itu justru sebuah musibah, dan ketika harus menerima sebuah jabatan maka akan dijalankan penuh kehati-hatian dan amanah. 

Wallahu a'lam bishshawaab

Post a Comment

Previous Post Next Post