Sekolah Tatap Muka, Sudah Amankah?

Oleh  Nibrazin Nabila
Praktisi Pendidikan

Sudah  setahun lebih pandemi virus corona melanda dunia, wabah ini menyebar dan memakan korban tanpa pandang bulu. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari seruan menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan hingga menerapkan PSBB. Berbagai aktivitas di luar rumah pun dibatasi, termasuk kegiatan pembelajaran di sekolah. Selama pandemi terjadi siswa full belajar dirumah melalui daring dan penugasan. 

Namun per Juli 2021 mendatang, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung mencanangkan siap untuk kembali menggelar pembelajaran tatap muka di sekolah, dengan syarat pembelajaran dan pra sarana yang ada harus berbasis protokol kesehatan. Mekanisme yang digunakan pun memiliki pola yang terbatas, misalnya hari belajar, jam belajar dan jumlah siswa dibatasi. Kemudian juga diberlakukan sistem shift atau pembagian waktu di sekolah. Hal ini dilakukan karena 70 persen guru di Kabupaten Bandung  sudah menjalani vaksinasi Covid-19. 

Kadisdik Kabupaten Bandung, Juhana menyampaikan pihaknya tinggal menunggu keputusan pemerintah pusat terkait pembukaan sekolah tatap muka. Pihaknya tengah menunggu kebijakan Mendikbud, Menag, Menkes, dan instruksi Mendagri yang mengukur terus pekembangan penyebaran Covid-19. Juhana menjelaskan, perkembangan dalam kegiatan belajar tatap muka harus terus dipantau. Apabila dalam pelaksanaannya nanti muncul gejala-gejala penularan, maka harus dihentikan untuk sementara waktu. (JabarEkspres.com, 20/05/21) 

Sebelumnya, Mendikbud Nadiem Anwar Makarim sempat mengimbau kepada satuan pendidikan, bagi guru dan tenaga pendidik yang sudah menjalani vaksinasi Covid-19 untuk segera memenuhi daftar periksa dan menawarkan opsi pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas. 

Namun jika ternyata sekedar mengandalkan guru sudah tervaksin saja tidak cukup, karena siswa yang hadir untuk belajar tatap muka belum mendapatkan halnserupa. Terlebih, vaksinasi saja tidak bisa mencegah penularan Covid-19 dan ini bisa berpotensi membahayakan siswa. Apalagi berdasarkan prediksi epidemiolog, pasca Idul Fitri lonjakan kasus covid akan semakin bertambah. Oleh karenanya tidak mungkin jika Juli mendatang, bisa diadakan pembelajaran tatap muka. 

Namun, Pemerintah tidak memperhatikan issu ini. Banyak masyarakat yang merasa sudah di vaksin cenderung abai dengan protokol kesehatan yang berlaku. Terjadi pro kontra di antara masyarakat tentang keamanan vaksin ini. Maka dari itu, pemerintah perlu melakukan peninjauan ulang tentang pelaksanaan belajar tatap muka ini. 

Disisi lain, kebijakan belajar tatap muka tersebut banyak menuai respon yang beragam. Pihak sekolah bakal kerepotan jika harus menangani pembelajaran tatap muka yang terikat dengan berbagai protokol kesehatan. Utamanya soal physical distancing yang mengharuskan kelas hanya terisi setengahnya. Tentu ini akan berimbas kepada kurikulum dan kinerja guru. Belum lagi jika ada siswa yang tidak mendapat izin orang tua belajar di sekolah. Maka pasti sekolah juga harus bertanggung jawab terhadap pembelajaran jarak jauh siswa-siswa tersebut. Dipastikan pekerjaan sekolah pun akan dobel dan jauh lebih berat. 

Beban berat juga bertambah karena pemerintah tidak juga mengeluarkan kurikulum darurat saat pandemi, baik untuk pembelajaran jarak jauh maupun belajar tatap muka saat pandemi. Guru kebingungan karena ketidakjelasan kurikulum dan metode pencapaiannya. Siswa dan orang tua pun sama, galau. Meski siswa akan terobati kangennya untuk belajar di sekolah, namun mereka tetap was-was akan risiko penularan Covid-19 yang begitu cepat dan tak terduga. 
Mengapa ini bisa terjadi? Jika kita telusuri, semua kegalauan diatas muncul karena negara tidak mempunyai panduan yang lengkap dan shahih tentang penyelenggaraan pendidikan. Karena, pendidikan yang selama ini diterapkan adalah pendidikan sekuler kapitalis yang menyimpang dari Islam. Memang, Mendikbud telah melonggarkan masalah capaian pendidikan agar tak terfokus pada kurikulum yang telah ditetapkan. Namun sayang, yang terjadi ternyata kebingungan pada guru. Ini karena negara senyatanya pemerintah tidak mampu memberikan gambaran kurikulum pendidikan yang tepat. 

Beban berat kurikulum tersebut bertambah parah dengan minimnya kualitas guru dan sarana prasarana penunjang, apalagi pada kondisi pandemi. Baik tatap muka maupun jarak jauh ternyata sama-sama beratnya. Semua ini sebenarnya berpulang pada sistem pendidikan yang diberlakukan. Selama kapitalisme yang dijadikan pijakan bagi dunia pendidikan, permasalahan tidak akan kunjung tersolusikan.

Islam sebagai agama dan tatanan hidup bernegara yang bersumber dari Allah Swt. sebenarnya memiliki solusi bagi seluruh permasalahan manusia. Problem pendidikan saat pandemi pun sangat bisa diselesaikan mengikuti aturan Islam. Kita meyakini bahwa aturan yang berasal dari Allah pasti baik untuk manusia. Dalam situasi pandemi, Islam telah menetapkan kebijakan penguncian areal yang terjangkiti wabah saja. Oleh karena itu, bagi wilayah yang tidak terjangkiti wabah, masyarakatnya berhak untuk mendapatkan pendidikan di sekolah atau belajar tatap muka.

Masyarakat pun tidak perlu khawatir perluasan wabah melalui imported case karena negara telah melakukan tindakan penguncian. Sementara itu, di area wabah yang sudah dikunci, negara menerapkan secara simultan beberapa kebijakan penanganan wabah. Yakni, prinsip isolasi orang terinfeksi dari yang sehat, social distancing, pengujian cepat serta akurat, pengobatan hingga sembuh dan peningkatan imunitas warga yang sehat. Hal ini dilakukan dengan menjamin pemenuhan semua kebutuhan pokoknya secara langsung termasuk kebutuhan pokok individu seperti pangan, perumahan, dan pakaian. Semua itu akan membuat pemutusan rantai penularan yang efektif sehingga wabah tidak meluas dan segera berakhir. 

Dengan model penanganan wabah seperti ini, persoalan pendidikan di masa pandemi tidak akan berkepanjangan. Wilayah yang tak terjangkiti tak perlu galau dengan sekolahnya. Dan pada wilayah yang terjangkiti, negara tetap menjamin hak pendidikan selaras dengan kebijakan penanganan wabah.

Penanganan Islam berbeda jauh dengan cara  kapitalistik dalam menangani pandemi. Hitung-hitungan ekonomi lebih dominan dari pada keselamatan atau nyawa manusia. Demi berjalannya roda ekonomi, tempat wisata dan mal atau pusat perbelanjaan umum dibuka. Dampaknya tentu saja kepada dunia pendidikan atau siswa. Anak-anak yang statusnya tidak bekerja pun bisa terkena dampaknya. Menerapkan kebijakan belajar tatap muka di zona hijau tentu tetap berisiko. 

Inilah, mengapa sistem pemerintahan Islam menjadi kebutuhan umat sepanjang masa. Sebab, ia menjadi penjaga dari segala kondisi yang mungkin terjadi pada manusia. Terlebih kebutuhan pendidikan, yang tak boleh terjeda oleh wabah. Prosesnya harus terus berjalan. Institusi Islam akan menetapkan kebijakan yang tepat sesuai ketetapan Allah. Walhasil, kegalauan sekolah bisa teratasi jika saja negara menerapkan sistem pendidikan Islam dan menerapkan hukum Islam secara kaffah. Oleh karena itu, sistem pemerintahan Islam menjadi kunci jawaban atas problem pendidikan di masa pandemi ini. Semoga hal ini menjadi pembelajaran terbaik untuk mengembalikan pengaturan hidup kita hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala saja.

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin.”  (QS. Al Maidah :50) 

Wallahu a’lam bis shawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post