Karma Ekonomi Kapitalis, Jelang Hari Besar Harga Komoditas Pasti Naik


Oleh Merli Ummu Khila 
Pemerhati Kebijakan Publik 

Pernahkah kita bertanya, kenapa setiap jelang hari besar selalu diikuti dengan kenaikan harga kebutuhan pokok? Apa yang memicu harga bisa melambung? Mungkinkah karena permintaan melonjak atau terjadi kelangkaan? Sepatutnya pertanyaan di atas menarik untuk ditelisik. Ada yang salah dalam sistem perekonomian kita? 

Seperti dikutip dari KOMPAS.com pada Kamis (8/4), Ketua Umum Ikatan Pedagang Pasar Indonesia ( IKAPPI) Abdullah Mansuri menyampaikan bahwa ada lonjakan harga dari berbagai komoditas pangan. 

"Ini terus naik ritmenya. Permintaan juga sudah mulai terlihat tinggi. Secara nasional sekitar 10 persen kenaikannya per hari ini, Ini akan kita pantau terus," ujar Abdullah kepada Kontan, Kamis (8/4/2021).

Kenaikan harga di masa pandemi saat ini tentu memberatkan masyarakat. Untuk bertahan hidup di tengah kondisi seperti ini saja sulit. Bagaimana mau menjalankan ibadah puasa dengan baik jika tuntutan hidup begitu berat? Sehingga umat menyambut Ramadan dengan rasa gembira sekaligus sedih. 

Jika diamati, pemerintah saat ini hanya berfokus pada ketersediaan komoditi. Sederhananya, hanya memastikan stok kebutuhan terpenuhi. Jika tidak, maka melakukan langkah praktis yaitu impor. Solusi instan agar ketersediaan komoditas pangan stabil sehingga kelangkaan pangan tidak terjadi. 

Padahal solusi impor merupakan kebijakan yang merugikan petani dan UMKM. Harusnya opsi ini dijadikan pilihan terakhir, setelah mengoptimalkan sumber daya yang ada dan terbukti tidak mampu. Anehnya, pemerintah justru seolah menjadikan kebijakan impor sebagai pilihan tunggal. 

Lonjakan harga juga mengindikasikan ada permainan kartel yang berkuasa penuh atas kebijakan pasar. Kelangkaan yang diduga kuat adanya penimbunan barang. Karena ekonomi kapitalis hanya bertumpu pada permintaan dan penawaran. Maka mudah bagi pemburu rente mempermainkan harga demi keuntungan sebesar-besarnya. 

Sungguh miris mengingat Indonesia sebagai negara agraris. Namun, jangankan mau swasembada pangan. Kebutuhan pokok pun harus bergantung pada impor. Padahal sumber daya manusia lebih dari cukup jika diberdayakan. Potensi alam pun sangat mendukung dengan tanah yang subur dan kaya akan sinar matahari. 

Lalu apa yang tidak mampu dilakukan negara dengan dukungan sekian banyak potensi? Mungkinkah negara tidak mampu mengatasi kekacauan perekonomian? Atau memang masalah ini sudah sedemikian rumit hingga sulit terurai? 

Semua kebijakan yang diambil negara tergantung sistem yang dianut. Pokok utama tata kelola negara akan berlandaskan ideologi tertentu. Sistem inilah yang akan menentukan nasib sebuah negara. Dan sistem ini pula yang mempengaruhi kehidupan seseorang, sejahtera atau sengsara. 

Kehidupan bernegara yang saat ini kita lihat dan rasakan adalah berlandaskan sistem buatan manusia. Demokrasi yang diagung-agungkan sebagai sistem terbaik nyatanya tidak semanis slogannya. 
Kenyataan hidup tidak perlu dijabarkan lagi, semua bisa dilihat dan dirasakan pada semua aspek kehidupan. 

Berbeda dengan Islam, menjaga keseimbangan antara penawaran dan permintaan adalah kewajiban negara. Dalam perspektif Islam bahwa pasar, negara, dan individu 
berada dalam keseimbangan. Pasar bebas menentukan cara-cara produksi dan harga, tidak boleh 
ada intervensi dari luar yang mengakibatkan rusaknya kesimbangan pasar.

Motif utama dari kelangkaan barang yang menimbulkan lonjakan harga di antaranya adalah penimbunan barang. Pada sistem saat ini, peran kartel dan swasta mendominasi pasar sehingga negara tidak banyak berperan. Sedangkan dalam Islam, penimbunan barang dilarang.

Dari Ma'mar bin Abdullah; Rasulullah bersabda, “Tidaklah seseorang melakukan penimbunan melainkan dia adalah pendosa.” (HR. Muslim)

Dari Al-Qasim bin Yazid dari Abu Umamah; beliau mengatakan, “Rasulullah melarang penimbunan bahan makanan.” (HR Hakim)
 
Negara memastikan pasokan bahan pangan dengan melakukan beberapa hal di antaranya:
> Mengoptimalkan semua potensi yang ada untuk memaksimalkan produksi sehingga tidak terjadi kelangkaan. Untuk bidang pertanian misalnya negara memfasilitasi semua kebutuhan petani dari lahan, benih, sistem pengairan, pemupukan hingga distribusi hasil panen. 

>Peran ilmuwan dalam hal ini sangat dibutuhkan dalam memberikan penyuluhan pada petani dari pengoptimalkan lahan, benih, pemupukan serta sistem irigasi. Demikian pula peran ilmuwan dalam memprediksi iklim sehingga tepat dalam menentukan masa tanam. Hal ini penting sebagai pengatahuan dasar petani untuk mendapatkan hasil panen yang optimal. 

>Mekanisme pengawasan pasar yang intensif dengan menempatkan satu profesi yang disebut al-hisba atau pengawas pasar. Pengawas pasar ini bertugas memastikan tidak ada kecurangan dalam transaksi, penipuan, penimbunan, manipulasi hingga monopoli harga.

Beberapa hal di atas sulit ditemui di negara yang tidak menjadikan Islam sebagai landasan bernegara. Dalam Islam negara berperan sebagai pelayan umat. Maka tugasnya hanya memastikan rakyat terpenuhi semua kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, serta keamanan. 

Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
"Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." (HR al-Bukhari)

Walhasil, sudah saatnya pemerintah mengakui ketidakmampuan demokrasi menyejahterakan negeri ini. Berharap dan bertahan hanyalah memperpanjang penderitaan rakyat. Dan membiarkan hegemoni Barat mencengkram negeri ini tanpa ampun. Mengulang kembali kejayaan Islam dalam sebuah institusi khilafah adalah kewajiban dan kebutuhan. 

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post