Mengapa Korupsi Terus Terjadi?


Oleh Nur Fitriyah Asri
Pengurus BKMT Kabupaten Jember, Penulis Ideologis AMK

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Menpan-RB), Tjahjo Kumolo mengakui masih mendapati PNS atau ASN yang terjerat korupsi. Menurut Cahyo setiap bulan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terjerat korupsi 20 hingga 30 persen, terpaksa diambil tindakan dengan diberhentikan secara tidak hormat. (merdeka.com, 18/4/2021)

Dari hasil riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) mendapati bahwa mayoritas Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak mengetahui terjadinya perilaku korupsi di instansinya bekerja. Menurut Direktur eksekutif LSI Djayadi Hanan mengatakan 69,6 persen kurang tahu atau sama sekali tidak tahu. Sedangkan 22,4 persen cukup tahu, dan 3,1 persen sangat tahu.

Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan juga menyebutkan ada lima tempat paling korup di instansi pemerintah, yakni pengadaan barang, perizinan usaha, bagian keuangan, bagian pelayanan, dan bagian personalia. (republika.co.id, 18/4/2021)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain.

Bukan menjadi rahasia umum, bahwa di negeri ini sudah lama berlangsung praktek Korupsi-Kolusi-Nepotisme (KKN), suap-menyuap, gratifikasi (pemberian hadiah),  perbuatan curang, pemerasan, memanipulasi data, penggelapan laporan keuangan, dan lainnya. Meski tampuk kekuasaan silih berganti dan berbagai kebijakan dikeluarkan, tetapi nyatanya kasus korupsi masih tumbuh subur di negeri ini. Bahkan, beberapa kasus di antaranya hilang bagaikan ditelan bumi.

Sejatinya semua itu disebabkan karena diterapkannya sistem yang buruk, yang berasal dari akal manusia yakni sekularisme. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama dilarang mengatur dan mencampuri urusan publik, baik bermasyarakat maupun bernegara.

Jadi, wajar jika dalam semua aktivitasnya tidak ada ruh. Artinya, tidak ada hubungan dengan Allah dan tidak merasa diawasi oleh Allah Swt. Inilah, penyebab iman menjadi lemah tidak takut berbuat dosa, termasuk melakukan korupsi.

Di samping itu, para koruptor selalu menuruti hawa nafsunya, keinginan hidup bergelimpangan harta membuatnya rakus dan tamak. Akibatnya semua cara dihalalkan. Sebab, menurut paham sekuler kebahagiaan ditentukan dan diukur oleh banyaknya materi.

Ditambah sikap negara yang abai dan kurang peduli. Menyebabkan pengawasan lemah dan sanksi hukum yang ringan, sehingga tidak memberikan efek jera. Ini semua ada korelasinya dengan faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas (pertanggungjawaban). Walhasil, korupsi dalam sistem demokrasi-sekuler tidak bisa diputus dan terus terjadi. 

Cara Islam Memutus dan Menghentikan Korupsi

Negara (khilafah) berlandaskan akidah Islam. Maka semua aktivitas yang dilakukan oleh individu, masyarakat, maupun negara harus berdasarkan akidah Islam.

Akidah Islam ini yang mendorong dan memunculkan ruh, yakni hubungannya dengan Allah. Sehingga merasa diawasi dan yakin di akhirat akan dimintai pertanggungjawaban Allah. Oleh sebab itu, membuat dirinya takut dan mencegah untuk tidak berbuat dosa, termasuk melakukan korupsi.

Syariat Islam mewajibkan khalifah untuk mengatur urusan umat dengan hukum-hukum Allah secara sempurna. Termasuk di dalamnya cara mengatasi dan menangani masalah korupsi, antara lain:

1. Memberikan sanksi yang tegas. Perbuatan korupsi tidak termasuk definisi mencuri, tetapi merupakan tindakan pengkhianatan karena menggelapkan harta yang diamanahkan kepadanya. Oleh sebab itu sanksinya bukan dipotong tangannya. Namun, sanksi ta'zir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. (Abdurrahman Al Miliki, Nizhamul Uqubat, hlm.31)

Bentuk sanksinya bisa ringan, seperti diberikan nasihat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, didenda, diumumkan di publik atau media masa, hukuman cambuk, hingga hukuman mati (digantung atau dipancung).

Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. Namun, sanksi hukum yang tegas bisa bersifat jawabir, yakni untuk penghapusan dosa besok di akhirat tidak dihisab. Juga bersifat zawajir yaitu bisa menimbulkan efek jera bagi yang lainnya.

2. Untuk pencegahan korupsi syariat Islam memberikan tuntunan, yakni:
Pertama, untuk merekrut aparat negara berasaskan profesionalitas, integritas, dan berkepribadian Islam. Tidak boleh dengan cara-cara Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Kedua, negara wajib memberikan pembinaan kepada seluruh aparatnya.

Ketiga, melakukan perhitungan kekayaan aparat negara/pejabat di awal dan di akhir jabatannya.

Keempat, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,
"Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tidak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tidak punya istri, hendaklah dia menikah. Kalau tidak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan." (HR Ahmad)

Kelima, semua aparat negara dilarang menerima suap atau hadiah. Sebagaimana sabda Rasulullah, "Barang siapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang." (HR. Abu Dawud) 

Dalam hadis lain Nabi saw. bersabda, "Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah haram dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran." (HR. Ahmad)

Keenam, harus ada pengawasan dari negara dan masyarakat.

Ketujuh, pemimpin harus menjadi contoh yang baik bagi karyawannya. 

Kedelapan, harta hasil korupsi harus disita dimasukkan ke baitulmal, untuk kesejahteraan rakyat.

Demikianlah cara syariat Islam memberantas korupsi, agar tidak berulang. Namun, syariat hanya bisa diterapkan secara sempurna, jika ada institusi khilafah. Oleh sebab itu, ganti demokrasi-sekuler dengan khilafah.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post