Benarkah, Usulan Revisi RUU ITE Hanya Sekadar Pencitraan?

Oleh: Rizka Fauziah, S. Pd. I.

 Aktivis Dakwah di Kota Depok

 

Sudah dua belas tahun UU ITE diterapkan.  Southest Asian Freedom of Expression Network (SAFEnet), lembaga nirlaba yang berfokus pada kebebasan berekspresi, mencatat 271 laporan kasus UU ITE sejak 2008. Banyak masyarakat terjerat dalam aturan ini. Umumnya, para pelapor menggunakan pasal 27 ayat 1 (memuat konten melamnggar kesusilaan), pasal 17 ayat 3 (pencemaran nama baik), pasal 28 ayat 2 (menyiarkan kebencian) dan pasal 29 (ancaman kekerasan. 2013, pelaporan kasus UU ITE meningkat empat kali lipat dan sepanjang 2019, upaya kriminalisasi lewat pasal-pasal karet UU ITE 2019 makin merajalela.

 

Menurut Anton Muhajir dari SAFEnet, setidaknya ada sekitar 3.100 kasus. Sepanjang 2019 ada pola lebih luas dan lebar bagi korban-korban pasal karet UU ITE. Di tahun-tahun sebelumnya banyak menyasar kepada jurnalis dan aktivis, tetapi pada 2019 rentan menyasar kepada akademisi dan dosen.

 

Kini, Jokowi meminta agar impelementasi UU tersebut menjunjung prinsip keadilan. Ia meminta DPR untuk merevisi UU tersebut jika implementasi UU ITE yang berkeadilan itu tidak dapat terwujud dan meminta menghapus pasal-pasal karet yang ada di dalamnya karena pasal-pasal itu menjadi hulu dari persoalan hukum UU ITE.

 

Sebenarnya, revisi UU ITE bukan pertama kali ini saja bergulir. Pada 2016, UU tersebut telah direvisi oleh DPR dengan disahkan UU Nomor 19 Tahun 2016 sebagai perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Namun, tidak serta merta mencabut pasal-pasal dalam UU ITE yang dianggap sebagai pasal karet.

 

Pasal yang dianggap bermasalah antara lain Pasal 27 Ayat (1) soal kesusilaan, Pasal 27 Ayat (3) soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan Pasal 2 Ayat (2) soal ujaran kebencian. Dalam Pasal 45 UU Nomor 11 Tahun 2008, pelanggaran atas tiga pasal di atas terancam pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

 

Revisi UU ITE  Tahun 2016 tidak memberikan banyak perubahan terkait ketentuan pidana tersebut. UU Nomor 19 Tahun 2016 hanya menurunkan ancaman pidana bagi pelanggar Pasal 7 Ayat (3) terkait penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dari paling lama 6 tahun penjara dan/atau Rp1 miliar menjadi 4 tahun penjara dan/atau Rp740 juta.

 

UU tersebut juga menyatakan ketentuan pidana soal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik merupakan delik aduan. Sementara, ancaman pidana bagi pelanggar pasal kesusilaan dan pasal ujaran kebencian tetap paling lama 6 tahun penjara dan/atau denda Rp 1 miliar.

 

Dengan perubahan itu, maka tersangka kasus penghinaan atau pencemaran nama baik tidak dapat ditahan selama masa penyelidikan karena ancaman hukumannya penjara di bawah lima tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

 

Dari sisi Menteri Komunikasi dan Informatika saat itu, Rudiantara, meyakini tidak akan ada lagi kriminalisasi kebebasan berpendapat setelah revisi UU ITE tersebut. Revisi tersebut akan memberikan kepastian pada masyarakat. Salah satunya terkait Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang kerap menimbulkan pro kontra di masyarakat.

 

Selain mengurangi ancaman hukuman terkait penghinaan atau pencemaran nama baik di atas, setidaknya ada dua perubahan signifikan lainnya dalam UU ITE hasil revisi 2016. Pertama,  adanya penambahan pasal hak untuk dilupakan atau “the right to be forgotten”. Hak tersebut ditambahkan pada pasal 26. Tambahan pasal ini mengizinkan seseorang untuk mengajukan penghapusan berita terkait dirinya pada masa lalu yang sudah selesai, tapi diangkat kembali. Salah satu contohnya, seorang yang sudah terbukti tidak bersalah di pengadilan, berhak  mengajukan permintaan agar pemberitaan tentang dirinya yang menjadi tersangka dihapus.

 

Kedua, adanya penambahan ayat baru pada Pasal 40, memberikan hak bagi pemerintah untuk menghapus dokumen elektronik yang terbukti menyebarkan informasi melanggar undang-undang, terkait pornografi, SARA, terorisme, pencemaran nama baik dan lainnya.

 

Dengan banyaknya korban yang sudah mencapai ribuan, bahkan menyasar semua kalangan, menjadi tanya akan permintaan presiden yang mendadak minta dikritik dan merevisi UU ITE. Maksudnya apa? Apakah Jokowi tidak sadar selama ini telah banyak kritik yang ditujukan pada kebijakan pemerintah, yang justru pemberi kritik berakhir di bui? Begitu pula pernyataan Jokowi seolah tak kompak dengan jajarannya sendiri, Jika ingin dikritik, lalu mengapa polisi siber akan diaktifkan pada 2021 ini?

 

Dengan fakta-fakta tersebut, apa maksud presiden meminta dikritik? Tuluskah minta dikritik atau? Atau benarkah usulan revisi RUU ITE hanya sekadar pencitraan?

 

Beberapa pengamat menengarai, permintaan kritik dan usulan revisi UU ITE dari presiden hanyalah sekedar pencitraan. Kecurigaan tersebut muncul sebab gagasan revisi UU ITE mencuat di tengah terpaan berbagai kritik dari dalam negeri dan internasional.

 

Salah satu yang terbaru, survey The Economist Intelligence Unit (EIU) mendapati mendapati indeks demokrasi menurun. Merosotnya indeks demokrasi Indonesia seolah menegaskan menurunnya kualitas demokrasi di negeri ini. Menurut versi EIU, dari 109 negara yang disurvei, posisi Indonesia anjlok 17 peringkat dari peringkat ke-85 (2019) ke posisi 102 (2020). Dengan skor 6,8, posisi Indonesia tertinggal dari Malaysia, Timor Leste dan Filipina. Ini merupakan yang terendah selama 14 tahun terakhir.

 

Dalam laporannya, EIU mencatat lima instrumen penilaian indeks demokrasi, yakni proses pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintah, partisipasi politik, budaya politik dan kebebasan sipil. Skor untuk kebebasan sipil paling rendah ketimbang empat instrumen lainnya, yakni 5.59. Merosotnya kualitas demokrasi Indonesia juga terlihat dari survei Indikator Politik Indonesia yang dilakukan pada Oktober 2020.

 

Hasil survei tersebut menunjukkan mayoritas masyarakat setuju mereka semakin takut menyampaikan pendapat. Sebanyak 47,7 persen responden menyatakan agak setuju bahwa warga makin takut menyampaikan pendapat. Kemudian sebanyak 21,9 persen responden menyatakan warga sangat setuju makin takut menyatakan pendapat.

 

Oleh karenanya, menurut pengamat, jika Jokowi serius dengan ucapannya (bukan pencitraan), seharusnya langsung menggunakan hak ekslusif dengan mendeponir UU ITE serta merespons dengan berlakunya retroaktif UU ITE. Caranya dengan menghentikan penahanan orang-orang yang terlibat pada UU ITE.

 

Menurt data SAFEnet, 38 persen pelapor UU ITE adalah pejabat publik, termasuk di dalamnya kepala daerah, kepala instansi, menteri dan aparat keamanan. Untuk pelapor awam 29 persen, kalangan profesi 27 persen dan kalangan pengusaha 5 persen.

 

Said Didu, Mantan sekretaris Kementerian BUMN meminta setiap pejabat pemerinta harus siap menerima kritikan dari pihak manapun, termasuk rakyat Indonesia.  Jika mereka anti terhadap kritikan, dirinya meminta pejabat tersebut untuk mundur dari jabatan publik.

 

Pejabat publik seharusnya bermental baja, tidak baperan dan tidak menjadi pengecut yang berlindung di balik UU. Sebagai pejabat publik wajarlah jika mereka disorot, dilihat, dibaca, dan dianalisis masyarakat atas setiap kebijakan yang mereka terapkan ditengah masyarakat. Apalagi dalam sistem demokrasi, gaji dan semua fasilitas dari pejabat publik semua itu dari rakyat. Harusnya tidak menjadi masalah kalau rakyat mempertanyakan itu.

 

Sudah cukup bangsa ini belajar dari kejatuhan rezim Orde Baru. Kejatuhan Orde Baru telah memberikan pelajaran bagaimana perlunya melibatkan kritik dalam dinamika pemerintahan. Kritik sebagai pengawas dan kontrol sosial. Jika tidak ada kritik, kemungkinan terjadi penyelewengan kewenangan pejabat, para elite politik yang menjalankan negara  ini sebagai oligarki (pemerintahan yang dijalankan beberapa orang yang berkuasa dari golangan atau kelompok tertentu). Seenak hati dan perampasan hak-hak rakyat.

 

Pembungkaman atas kritik sesungguhnya adalah pembungkaman atas prediksi masa depan rezim pemerintahan yang anti kritik. Runtuhnya rezim Soeharto hanyalah satu dari sekian banyak contoh negara otoriter yang jatuh akibat dari sikap apatisnya  terhadap kritik rakyat. []

Post a Comment

Previous Post Next Post