Ada Kebohongan Dibalik Polemik Impor Beras


Oleh Nur Fitriyah Asri
Pengurus BKMT Kabupaten Jember, Penulis Opini AMK

Kasak-kusuk rencana pemerintah mengimpor beras satu juta ton menuai polemik.
Tentu saja para petani melakukan protes penolakan impor beras karena dinilai merugikan pihak petani. Sebab, akan berpengaruh terhadap harga gabah kering panen yang saat ini turun dari Rp4.300 menjadi Rp3.500 per kilogram. Akibat rendahnya penyerapan yang berbarengan dengan panen raya pada bulan Maret 2021 ini. Hingga Presiden Jokowi meminta semua pihak menghentikan polemik impor beras.

Ternyata alasan impor beras, adalah untuk melihat kapasitas produksi, menjaga stok beras yang tidak sesuai target, dan untuk kepentingan stabilitas harga. Ini merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, alias akal-akalan. Sebab, terkait dengan prediksi panen dan ketersediaan beras menurut pihak Kementerian Pertanian (Kementan) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, Maret-Mei 2021 merupakan masa panen raya sehingga produksi diproyeksi surplus. Oleh sebab itu tidak perlu mengimpor beras.

Hal senada sebagaimana disampaikan oleh Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas), sejak masa panen raya awal Maret hingga 25 Maret 2021, stok beras di Bulog telah mencapai 923.471 ton, terdiri dari cadangan beras pemerintah (CBP) 902.353 ton dan beras komersial 21.119 ton. Hingga bulan April serapan beras hanya untuk CBP bisa mencapai 390.000 ton. Sehingga, jika diakumulasikan  dengan stok saat ini total CBP pada akhir April sudah di atas satu juta ton. Lalu Mei akan serap lagi. Jadi kalau stok CBP di Bulog harus ada 1 juta-1,5 juta itu amat sangat bisa dan tidak perlu impor. (Kompas.com, 26/3/2021)

Ombudsman juga ikut menyoroti. Merujuk data stok pangan dan potensi produksi beras nasional 2021, menilai relatif aman. Begitu juga harga beras relatif stabil, sejak pertengahan 2018 hingga 2020. Seharusnya rencana impor diputuskan berdasarkan data yang valid dengan memperhatikan sistem peringatan dini. "Sehingga kami melihat bahwa ini jangan-jangan ada yang salah dalam memutuskan kebijakan impor." Aneh bukan?

Tudingan juga datang dari Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto;

"Ada mafia impornya, mereka punya kekuasaan untuk mempengaruhi kebijakan, dan menaikkan harga," lebih lanjut mengatakan bahwa rencana impor beras satu juta ton untuk cadangan beras pemerintah (CBP) akan menguntungkan mafia, diduga tiap tahunnya memperoleh keuntungan hingga triliunan, kata Kristiyanto dalam Repdem, (25/3/2021).

Akhirnya Presiden Joko Widodo turun tangan meminta semua pihak menghentikan perdebatan atas kebijakan impor beras. Ini justru membuat harga jual gabah di tingkat petani turun atau anjlok. Kepala Negara menegaskan hingga Juni 2021 tidak ada beras impor yang masuk ke Tanah Air.

"Kebijakan ini masih sama seperti tiga tahun terakhir yang mana Indonesia tidak mengimpor beras." 

Sontak pernyataan Presiden Jokowi menuai kritikan pedas dari seluruh elemen masyarakat. Sebab, data resmi BPS menunjukkan sebaliknya, yakni pada Tahun 2018 Indonesia mengimpor beras 2.253.824 ton. Tahun 2019, mengimpor beras 444.508 ton. Tahun 2020, ada wacana impor tetapi tidak jadi direalisasikan, karena mendapat kecaman dari semua kalangan dan situasinya mirip saat ini.

Ironis. "Maaf, Jokowi ini makin tidak punya malu lagi untuk berbohong tingkat tinggi. Mengaku sudah tiga tahun Indonesia tidak impor beras, tapi fakta dan datanya impor," ujar analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun kepada Kantor  Berita Politik RMOL, (28/3/2021).

Siapa yang salah? Presidennya yang suka berbohong hingga menjadi habit, atau karena tidak membaca data dengan benar? Atau staf khusus presiden yang lalai tidak mengoreksi terlebih dulu apa yang akan disampaikan Jokowi pada publik?

Terlepas dari itu semua, sungguh sangat memprihatinkan karena kebohongan atas penyebaran informasi hoaks dilakukan oleh presiden. Akankah Badan Ciber Nasional menindak pelanggaran yang dilakukan presiden?

Itulah fenomena pemimpin-pemimpin hasil pemilu demokrasi-sekuler, yang memisahkan agama dari pengaturan kehidupan publik. Mereka menghalalkan segala cara, meskipun harus curang dan berbohong asalkan menang. Wajar, jika setelah menjadi pemimpin kebohongan-kebohongan selalu dipertontonkan di depan publik.

Memanipulasi data dianggap hal biasa. Ada kongkalikong sehingga kebijakan berpihak pada konglomerat dan tega mengkhianati rakyat. Wajar pula jika korupsi menggurita. Karena semua yang dilakukan itu semata-mata untuk balik modal biaya politik yang tinggi. Walhasil, sistem yang buruk bersumber pada akal manusia akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang buruk.

Berbeda dengan sistem Islam  (khilafah) yang berasal dari wahyu Allah. Agama sebagai pedoman dan petunjuk hidup, untuk mengatur semua aspek kehidupan, termasuk urusan kepemimpinan, sistem kepemimpinan, siapa yang layak menjadi pemimpin, dan dengan apa dia memimpin.

Pemimpin dalam Islam disebut imam atau khalifah. Sistem kepemimpinan berlandaskan akidah Islam, dimana seorang khalifah diwajibkan memimpin dengan menerapkan Al-Qur'an dan Sunah. Sebagaimana firman Allah Swt.:

"Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. an-Nisa [4]: 59)

Setidaknya seorang pemimpin memenuhi empat persyaratan sifat yang dimiliki Rasulullah saw. yakni:

1. Shidiq (Benar), dalam hal ucapan dan tingkah laku. Bukan berbohong untuk menutupi kegagalannya dan bohong untuk meraih kemanfaatan.

2. Amanah (dapat dipercaya, tidak berkhianat). Misalnya, tugas pemimpin antara lain, mengelola harta kepemilikan umum, hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan umat baik muslim maupun nonmuslim. Bukan pengelolaannya diserahkan kepada asing, aseng, dan swasta.

Rasulullah saw. bersabda:
“Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya: Bagaimana maksud amanat disia-siakan? Nabi menjawab: “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR. Bukhari)

3. Fathanah (cerdas), mampu menyelesaian problematika umat berdasarkan syariat Islam. Bukan malah memunculkan masalah, dengan menambah utang, utang, dan utang lagi.

4. Tabligh (menyampaikan perintah dan larangan dari Allah). Dalam penyampaiannya jujur dan bertanggung jawab. Bukan malah menyembunyikan, apalagi melarang kebenaran yang datang dari Allah Swt. misalnya  mengkriminalisasi khilafah.
Jadi, Ulil Amri mereka adalah para ulama dan para penguasa yang salih.

Masalahnya, saat ini kita tidak bisa memilih pemimpin yang siap menerapkan Islam secara kafah, dalam sistem khilafah.

Maka menjadi kewajiban setiap kaum muslimin untuk memperjuangkan dan menegakkan khilafah dengan berdakwah. Di sinilah peran ulama, dan umat Islam seharusnya, senantiasa menyadarkan dan memahamkan umat, bahwa sistem pemerintahan yang diridai Allah hanya khilafah. Khilafah inilah yang menerapkan syariat secara kafah, dengan demikian akan menjaga  agama, jiwa, harta, keturunan, akal, kehormatan, dan negara yang akan menyejahterakan seluruh umat manusia.

Akibat tiadanya khilafah, umat Islam di seluruh penjuru dunia menderita, nestapa, terpuruk, dihina dan dizalimi, karena dipimpin oleh orang-orang yang tamak, rakus, penebar janji, pembohong tingkat tinggi, dan tangan besi. Saatnya kita campakkan sistem kufur, kembali ke sistem khilafah. 

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post