Generasi Menjadi Tumbal Sekulerisasi Pendidikan


Oleh: Yanna Ash-Shaffiya
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Ilmu adalah bekal yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Dengan ilmu, manusia akan mendapatkan pengetahuan dan pemahaman akan suatu hal, sehingga memberi kemudahan menjalani hidup. Belajar di bangku sekolah pun menjadi salah satu kebutuhan bagi setiap orang.

Dengan ilmu, derajat seseorang akan meningkat. Ilmu ibarat sinar yang menerangi di tengah kegelapan. Ilmu bukan hanya ditransfer akan tetapi harus ditancapkan dalam pemahaman sehingga seseorang dapat menjalankan setiap aktivitasnya di dunia sesuai dengan pemahamannya. Peran guru merupakan peran penting dalam proses pendidikan. Sebab, guru merupakan cerminan murid. Menginginkan murid yang sholih dan sholihah, juga tak lepas dari peran guru yang sholih dan sholihah pula. Sayangnya atas nama toleransi, kebijakan guru non Islam di sekolah Islam dibuat dan akhirnya menjadi polemik di tengah masyarakat. Masyarakat pun meragukan bahwa sekolah berbasis Islam akan mampu mencetak generasi sholih/sholihah, jika gurunya saja tidak akan memenuhi kriteria sholih/sholihah karena agamanya non Islam.

Analis Kepegawaian Kementerian Agama (Kemenag) Sulsel Andi Syaifullah mengatakan, kebijakan penempatan guru beragama kristen di sekolah Islam atau madrasah sejalan dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) Republik Indonesia. Tentang pengangkatan guru madrasah khususnya pada Bab VI pasal 30. PMA nomor 90 tahun 2013 telah diperbaharui dengan PMA nomor 60 tahun 2015 dan PMA nomor 66 tahun 2016, dimana pada Bab VI pasal 30 dicantumkan tentang standar kualifikasi umum calon guru madrasah (khususnya pada poin a), yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. "Tidak disebutkan bahwa harus beragama Islam," terang Andi Syaifullah, dikutip dari laman resmi Kementerian Agama Sulawesi Selatan, Sabtu 30 Januari 2021. "Kan guru non muslim yang ditempatkan di madrasah ini akan mengajarkan mata pelajaran umum, bukan pelajaran agama. Jadi saya pikir tidak ada masalah. Bahkan ini salah satu manifestasi dari moderasi beragama, dimana Islam tidak menjadi ekslusif bagi agama lainnya," ungkapnya. (SuaraSulsel.id)

Tujuan seorang murid datang ke sekolah adalah untuk mendapatkan pengetahuan baru dan memahami ilmu yang disampaikan guru. Jadi ada proses penanaman pemahaman di sana. Indikasi seseorang faham adalah orang tersebut melakukan apa yang menjadi pengetahuan yang telah ditancapkan sebelumnya. Setiap ilmu hendaknya bisa diaplikasikan dalam kehidupan. Ketika seseorang mengaplikasikan ilmunya, maka tidak boleh bertentangan dengan pemahamannya, yaitu pemahaman tentang konsep kehidupan, dari mana manusia diciptakan, untuk apa dia hidup di dunia dan mau ke mana setelah dia meninggal nanti.

Apabila seseorang sudah punya konsep dalam kehidupannya, apapun ilmu yang diadapatkan tidak boleh bertentangan dengan pemahamannya tentang konsep kehidupan tersebut, baik itu berkaitan dengan ilmu agama ataupun berkaitan dengan ilmu terapan (sains dan tekhnologi) dan yang semisalnya.

Apabila ada seorang guru yang mempunyai pemahaman konsep dalam kehidupan berbeda dengan siswanya, maka hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap pemahaman siswa dalam memahami kehidupan. Dan yang lebih fatal adalah tidak adanya ruh (keterikatan hubungannya dirinya dengan penciptanya) dalam beraktivitas, akibatnya akan ada pemisahan antara agama dengan kehidupan. Ilmu agama diajarkan oleh guru agama yang mempunyai konsep yang sama dalam memahami kehidupan, sedangkan ilmu terapan (selain ilmu agama), tidak mengapa diajarkan oleh guru yang tidak mempunyai pemahaman yang sama atas konsep kehidupan. Pemahaman seperti ini adalah pemahaman salah yang mengakibatkan ummat semakin jauh dengan pemahaman agamanya.

Hingga muncul pemahaman lumrah di tengah masyarakat bahwa agama hanya mengatur ranah ibadah dan kehidupan diatur oleh peraturan buatan manusia, tidak boleh agama mengatur sedikitpun di dalam kehidupan. Dan hal ini bertentangan dengan Al-Qur'an surat Al-Alaq: 1, Allah berfirman:
اِÙ‚ۡرَاۡ بِاسۡÙ…ِ رَبِّÙƒَ الَّØ°ِÙ‰ۡ Ø®َÙ„َÙ‚َ‌ۚ
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.

Jadi peran seorang muslim ketika menuntut ilmu, maka dia tidak hanya belajar, akan tetapi dia harus menghadirkan Allah (penciptanya) yang telah menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan ini. Maka, ketika seorang muslim belajar, dia tidak hanya merekam atau mendapatkan ilmu dari gurunya, akan tetapi ilmu dia dapatkan dengan mengkaitkan proses berfikir akan alam semesta, kehidupan dan manusia itu sendiri. Apabila seorang muslim menuntut ilmu dengan menghadirkan Allah (penciptanya), maka ilmu yang dia dapatkan akan menjadi ilmu yang penuh keberkahan yang bermanfaat untuk dirinya hingga terbentuk syakhsiyah Islam (kepribadian Islam) dalam dirinya. Ilmu tersebut juga harus bermanfaat untuk kemaslahatan ummat.

Jadi telah jelas bahwa peran ilmu yang dicari seorang muslim bukanlah ilmu yang tidak mengandung keberkahan, bukan ilmu yang tidak bermanfaat atau bahkan ilmu yang diperjualbelikan. Ilmu Pendidikan yang dikomersilkan dan output pendidikan yang dipersiapkan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan industri. Akan tetapi menjadi kebutuhan dan kewajiban bagi seorang muslim untuk menuntut ilmu agar mempunyai Syahsiyah Islam dan ilmunya bermanfaat untuk kemaslahatan ummat. Dan ilmu ini hanya akan didapatkan dari seorang guru yang mempunyai konsep kehidupan yang sama, yang sejalan, yang tidak bertentangan dengan konsep kehidupan muslim. Karena di sini peran seorang guru dan para siswa akan senantiasa menguatkan aqidah bahkan saling memperkuat aqidah dari konsep kehidupan yang senada.

Negera yang menerapkan aturan Islam kaffah (khilafah) tidak akan membiarkan guru non muslim menjadi pendidik bagi kaum muslimin. Karena salah satu potensi negara adalah untuk melindungi aqidah ummatnya. Sekolah-sekolah di dalam negara khilafah akan menerapkan sistem pendidikan dengan kurikulum yang dibuat sedemikian rupa dengan tujuan menguatkan aqidah serta menancapkan tsaqofah Islam. Tsaqofah asing baru dipelajari ketika siswa sudah berada dipendidikan lebih tinggi. Guru-guru yang ada di dalamnya adalah para guru yang mempunyai aqidah dan syahsiyah Islam yang kuat. Dan sekolah-sekolah asing hanya boleh berdiri jika mengikuti kurikulum yang sudah diterapkan oleh negara. Jadi seorang guru yang mempunyai konsep pemahaman tentang kehidupan yang berbeda, tidak boleh mengajar di sekolah-sekolah yang didirikan oleh negara yang menerapkan aturan Islam.

Sistem pendidikan Islam bukanlah sistem pendidikan yang main-main. Ilmu yang akan diterima oleh para siswa berasal dari guru yang mempunyai konsep pemahaman agama yang kuat, mempunyai kepribadian Islam (syahsiyah Islam) yang tangguh dan menerapkan aturan Islam dalam kehidupannya. Bukan yang lain. Wallahu ‘alam bi showwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post