BuzzerRp Semakin Berulah dan Meresahkan


Oleh Nur Fitriyah Asri
Pengurus BKMT Kabupaten Jember, Member Akademi Menulis Kreatif (AMK)

Setelah Presiden Jokowi meminta masyarakat untuk lebih mengkritisi kebijakan pemerintah, posisi BuzzerRp (buzzer bayaran) di media sosial kembali menjadi sorotan. Belakangan keberadaan para pendengung alias buzzer bayaran semakin marak dan meresahkan masyarakat. Pasalnya, para buzzerRp sering kali membuat kegaduhan di media sosial, menjadikan ajang adu domba, saling menghujat, membully, dan memfitnah.

Buzzer artinya pendengung. Merupakan sebuah gerakan bayaran yang terorganisir, menggunakan sosial media untuk mengungkapkan dan menyebarkan informasi secara luas. Mendukung program penguasa, tidak peduli menguntungkan atau merugikan masyarakat luas.
Adapun tujuan dari pembentukan buzzer ini adalah untuk menciptakan disinformasi yaitu informasi palsu yang sengaja disebarkan untuk menipu. Menekan hak dasar manusia, mendiskreditkan oposisi politik, dan membenamkan pendapat yang berlawanan. 

Dari hasil temuan riset, membuktikan para buzzer di Indonesia menyebarkan pesan propaganda untuk mendukung pemerintah menyerang oposisi dan menciptakan polarisasi publik yakni memicu retaknya persatuan umat Islam.
 (http:// www.law-justice.co/artikel/73449/terbongkar-tujuan-buzzer-di-indonesia-untuk-menyesatkan-publik/)

Sementara, di salah satu artikel berjudul  "Pemerintah Tidak Punya Buzzer" yang berisi klaim Juru Bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman mengatakan, bahwa pemerintah tidak menggunakan buzzer di media sosial untuk menghadapi kritik dari masyarakat.

Menanggapi hal tersebut, ahli telematika Roy Suryo, tersenyum melihat kontradiktif yang menyebut pemerintahan tidak punya buzzerRp. Padahal menurutnya, Denny Siregar telah mengaku dirinya adalah salah satu buzzer (twitter.com/dennysiregar7). Senada dengan Abu Janda yang mengaku dibayar Jokowi saat Pilpres, viral di video  (https://youtu.be/4SSsuzg9UUU). Seperti dikutip suara.com  (12/2/2021).

Terkait ramainya isu buzzerRp ini, Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI)  KH. Cholil Nafis, merasa heran dan aneh melihat kelakuan buzzerRp yang semakin merajalela dan meresahkan masyarakat. Padahal MUI sudah mengeluarkan fatwa UU Nomor 24/2017, mengatur tentang hukum dan pedoman bermuamalah melalui medsos. Dalam poin 9, dituliskan termasuk mengatur soal buzzer. Baik yang menyuruh hingga pemberi fasilitas,  buzzerRp yang menyebar hoaks hingga fitnah, hukumnya haram. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

 يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اجْتَنِبُوْا كَثيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمُ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُم أَنْ يَأكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ ۚ وَاتَّقُوْا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوّابٌ رَحيمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah kamu mencari kesalahan orang lain dan jangan di antara kalian menggunjing sebagian yang lain. Apakah di antara kalian suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kalian akan merasa jijik. Bertakwalah kalian pada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat dan Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat [49]: 12)

Namun faktanya, fatwa MUI tidak digubris. Sebab negara Indonesia mengadopsi paham sekularisme, yakni  sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga agama dilarang turut campur mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Wajar, jika sistem ini gagal mencetak penguasa yang dapat menyejahterakan rakyatnya. Justru sekularisme penyebab kerusakan di seluruh aspek kehidupan. Karena pilarnya kebebasan, maka semua cara dihalalkan. Adapun tolok ukur perbuatan bukan halal dan haram, melainkan manfaat.

Demikian pula aktivitas para buzzerRp, yang dipikirkan hanya imbalan berupa rupiah dan rasa kepuasan, karena bisa mengalahkan lawannya secara beramai-ramai menyerang pribadi pengritik. Mereka tidak takut berdosa, meskipun harus menyebarkan kabar bohong, memfitnah,  membully, dan mengadu domba.

Salah satu contoh dari sekian banyak buzzer adalah Gerakan Anti Radikalisme-Alumni ITB (GAR-ITB) yang melaporkan Prof. Din Syamsudin, selaku Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), ke Komisi Aparatur Sipil Negara dengan tuduhan radikal. Akhirnya terungkap bahwa, Fadjroel Rachman adalah salah satu anggota GAR-ITB yang  masih aktif hingga saat ini. Publik merasa geram sehingga ITB diplesetkan menjadi Institut Teknologi Buzzer. Padahal ITB juga korban atas pencatutan nama.

Tidak hanya Din Syamsudin yang dijadikan target, tapi para buzzer terus menyasar mencari kesalahan tokoh-tokoh kritis yang berlatar belakang agama yang kuat dan berseberangan, kemudian dituduh radikal. Demikian pula Ormas atau Parpol, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menurut kacamata mereka masuk kelompok radikal.

Sungguh,  dampaknya luar biasa. Apalagi ada UU Radikalisme dan  Ekstremisme, sudah bisa ditebak kemana arah tujuannya. Bahkan lebih dari itu, buzzerRp bisa melakukan apa saja termasuk mengadu domba antar Ormas atau golongan. Fatalnya, pihak yang benar, malah menjadi pihak tertuduh atau tersangka.

Lihat, Abu Janda dan Deny Siregar yang dilaporkan beberapa kali, tapi tidak pernah tersentuh hukum, ada apa? Muncul dugaan, bahwa para buzzerRp mendapat perlindungan dari penguasa, karena di antaranya terjalin hubungan simbiosis mutualisme.
Menurut Kajian ICW bahwa pemerintah mengeluarkan Rp1,29 triliun terkait aktivitas digital (sosmed) sepanjang Tahun 2014-2020.

Melihat wacana tersebut, langsung Presiden Jokowi menuai sindiran pedas dari sejumlah kalangan. Menilai apa yang disampaikan Jokowi minta dikritik hanya sebuah wacana dan pencitraan. Sejatinya, untuk menutupi kegagalan dan kezaliman yang telah dilakukan. 
Lihat, berapa  banyak orang yang diproses hukum, lantaran mengritik pemerintah. Faktanya banyak ulama dan aktivis yang dikriminalisasikan.

Sementara, rezim menyadari mulai ditinggalkan rakyatnya. Karena dianggap sudah tidak memiliki legitimasi dan kepercayaan publik.
Bukankah selama ini rezim suka
berbohong, tidak menepati janji, dan tidak amanah? Apalagi kezaliman yang dipertontonkan selama ini, sungguh menyakitkan hati umat Islam.

Benarkah Jokowi akan bersungguh-sungguh meminta kritikan untuk memperbaiki kebijakan pemerintah? 
Jika benar, seharusnya keberadaan buzzerRp dihapus saja, apa lagi sangat meresahkan dan menimbulkan kekacauan di masyarakat. Demikian juga tentang pasal karet UU-ITE, harusnya juga dicabut. Jika tidak dilakukan, ibarat pepesan kosong. Sebab, buzzer dan UU-ITE merupakan alat penguasa, untuk melemahkan lawan politiknya. Siapa yang diuntungkan? Tentu para buzzerRp, kembali mendapat proyek baru, yang menghabiskan uang rakyat demi kepentingan penguasa.

Masihkah sistem yang rusak dipertahankan?
Saatnya demokrasi kita campakkan, kembali pada sistem Islam.

Syariat Islam mewajibkan semua umat Islam memiliki akidah Islam yang kuat. Agar menjadi insan takwallah yaitu melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah Swt.

Demikian juga Islam mewajibkan pemimpin (khalifah/imam) dan umat Islam untuk menerapkan Islam secara kafah atau keseluruhan, sebagaimana firman Allah Swt.:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا ادۡخُلُوۡا فِى السِّلۡمِ کَآفَّةً ۖ وَلَا تَتَّبِعُوۡا خُطُوٰتِ الشَّيۡطٰنِ‌ؕ اِنَّهٗ لَـکُمۡ عَدُوٌّ مُّبِيۡنٌ

"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu." (QS. al-Baqarah [2]: 208)

Untuk menjaga agar negara tetap kondusif dan istiqamah dalam ketaatan, dan tidak membiarkan kemaksiatan. Syariat Islam mewajibkan umat Islam baik individu, masyarakat, dan negara melakukan amar makruf nahi mungkar. 
Sebagaimana firman Allah Swt.:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Ali Imran [3]: 110)

Oleh sebab itu kritikan yang berujung pada penangkapan dan kriminalisasi dalam Islam diharamkan. Sebab, di dalam Islam justru merupakan perintah atau kewajiban.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ

“Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya, jika tidak bisa juga maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman.“ (HR. Muslim)

Dengan demikian sangat jelas, bahwa dalam Islam keberadaan buzzer diharamkan. Sejatinya penguasa tidak butuh buzzer, cukup bersandar kepada Islam kafah, yakni menerapkan aturan Allah secara sempurna. Maka akan membawa kesejahteraan bagi rakyatnya. Mengingat penguasa (khalifah) adalah manusia biasa tempatnya salah dan khilaf, maka perlu dikawal. Dalam hal ini, masyarakat dituntut kritis terhadap seluruh kebijakan yang diterapkan penguasa.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post