Politik Dinasti Mengebiri Demokrasi

Oleh: Wini Oktavia Fitri
Ini nyata terjadi di abad 21. Di era demokrasi, eksistensi politik dinasti nian pasti. Mulanya dicela akhirnya dipuja dan semakin didamba. MIRIS. 

Bila sistem pewarisan putra mahkota yang jelas wujud kesalahan penerapan syariat pada masa dinasti kekhilafahan dicaci maki, berbeda dengan politik dinasti era demokrasi, kini dianggap wajar dan semua pihak diminta memahami itu bagian proses berdemokrasi. Sungguh ironis. 

Praktik politik dinasti makin lazim terjadi dalam sistem demokrasi, bahkan seolah-olah menjadi tren. Suami, istri, anak, dan keponakan beramai-ramai masuk kedalam dunia politik, baik dalam kurun waktu yang bersamaan atau saling menggantikan. Tentu polanya tak sama dengan zaman kerajaan yang terkesan otoriter. Politik dinasti sekarang ini dibuat tampak humanis dan prosedural. Yakni disiapkan oleh partai politik, lalu disaat musim pemilu mereka turut ikut ambil bagian dalam kontestasi, seolah-olah naiknya mereka ke panggung pemilu adalah keinginan rakyat juga. 

SEBUAH riset yang dilakukan Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Northwestern, Amerika Serikat Yoes C. Kenawas, menunjukkan bahwa fenomena dinasti politik meningkat tajam di Pilkada 2020 dibanding tahun 2015.  Pada 2015, hanya ada 52 peserta pilkada yang memiliki kekerabatan dengan pejabat. Namun di Pilkada tahun 2020 ini, ada 158 calon yang memiliki hubungan erat dengan elit politik, dan 67 diantaranya diperkirakan memenangi kontestasi Indonesia (cnnindonesia, 16/12/2020). 
Fenomena seperti ini tidak hanya di Indonesia. Bahkan di negeri kampiun demokrasi, AS, juga terjadi. Setelah Brush Senior, presiden AS ke-41, anaknya, Bush Junior naik sebagai presiden ke-43 begitu pun Hillary Clinton, istri Bill Clinton presiden ke-42, maju mencalonkan diri sebagai presiden ke-45 namun kalah dari Trump (muslimahnews.com).

Wajar saja jika praktik kolusi, nepotisme dan korupsi begitu marak terjadi dalam sistem demokrasi yang meniscayakan politik dinasti ini. Bahkan Mendagri dan KPK sendiri mengakui bahwa sejak pilkada berjalan secara langsung, sudah 300 kepala daerah yang terkena kasus korupsi. Hingga karenanya, di bulan November lalu Indonesia didaulat menjadi juara ketiga negara terkorup di dunia. Dan hari ini sekali lagi sangat niscaya karena demokrasi memang cacat dari asasnya yakni Sekulerisme. Asas pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme) telah menghilangkan nalar sehat para pemburu kuasa, bahwa apa yang mereka perbuat berkonsekuensi berat.

Demokrasi harga mati menjadi kultus keimanan. Ayat konstitusi diatas ayat suci. Bagi demokrasi suara rakyat (sewalaupun hasil manipulasi politik uang) menempati suara Tuhan. Demokrasi diliputi arogansi kuasa. Demokrasi menjadi sistem yang haram dikritik walaupun hanya setitik.  Fenomena ini tentunya menimbulkan pertanyaan, di manakah demokrasi yang katanya memberi akses luas dan adil bagi seluruh masyarakat untuk masuk kedalam kekuasaan? Fakta yang terjadi saat sekarang ini adalah negara tidak lagi memberikan kebebasan bagi masyarakat untuk ikut andil dalam menata pemerintahan.

Demokrasi menghasilkan politik dinasti. Karena meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, sehingga kepentingan bisa saja di kendalikan oleh pemangku jabatan dan para pemilik modal. Politik demokrasi juga sangat mahal. Lantaran duduk di kekuasaan butuh biaya yang tidak sedikit untuk iklan dan juga sogokan. Sehingga tak sedikit para pemburu kuasa yang menghambur-hamburkan uang demi membeli hati dan suara rakyat. Dan rata-rata mereka disokong para pemilik modal yang berharap mendapat keuntungan di belakang. 

Bisa kita katakan bahwa demokrasi ini layaknya “sistem bunglon” yang selalu berubah-ubah warna tergantung kepentingan politik dari pemilik kekuasaan. Ironisnya pemilik kekuasaan ini bukan rakyat, karena suara mereka telah terbeli para pemilik modal. 

Melihat fenomena ini, semestinya sistem demokrasi layak untuk dicampakkan. Namun banyak kalangan umat Islam sendiri yang masih terus berharap pada demokrasi , berharap bisa memperbaiki sistem ini sehingga menjadi sistem ideal bagi umat Islam. 

Berbeda halnya dengan paradigma Islam yang menegaskan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang harus siap dipertanggungjawabkan. Ma’qil Bin Yasar ra. Berkata, aku mendengar Rasulullah Saw. Bersabda; 
“Tidaklah seorang hamba pun yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga atasnya”. (Mutafaq Alaih)
Paradigma inilah yang membuat kepemimpinan dalam Islam menjadi hal yang tak dinginkan, apalagi menjadi target perburuan. Bahkan mereka yang mendapatkannya akan menangis lantaran beratnya beban. Dan mereka takut kelak tak bisa dipertanggungjawabkan. Betapa tidak, dalam Islam, pemimpin diangkat untuk menjadi pengurus dan penjaga umat dari kebinasaan. Bukan penguasa yang mempunyai previlese dan hak pelayanan. 
Dan kepemimpinan ini sepaket dengan tugas mereka sebagai penegak syariat Islam sebagai satu-satunya aturan yang diterapkan dalam kehidupan. Bukan sebagai penjaga kepentingan para pemilik modal. 

Post a Comment

Previous Post Next Post