Sistem Demokrasi Melahirkan Dinasti Politik

Oleh: Ambarwati

Mahasiswi/Anggota Komunitas Muslimah Menulis Depok

 

‘Keluarga Berjaya’ begitulah tulisan yang tercantum dalam Cover  Story-Koran Tempo. Di  gambar terpampang  Presiden Jokowi dan istrinya menggandeng Gibran dan Bobi di antara keduanya. Setelah Banten, lebih dulu lahirnya dinasti politik  itu di sana. Kini, anak dan menantu Presiden Joko Widodo, Gibran dan Bobi, keduanya telah dipastikan memenangi pemilihan Wali Kota Solo, Jawa Tengah dan Medan Sumatera Utara. Hal ini, mencetak sejarah baru dinasti politik di Indonesia  jika dibandingkan dengan presiden sebelumnya belum ada yang begitu.

Di Banten, meski mantan Gubernur Ratu Atut Chosiyah, kini mendekam di penjara karena kasus suap korupsi, tidak lantas meluruhkan eksistensi dinasti politik yang masih langgeng hingga saat ini. Setidaknya 3 calon wali kota dari keluarga Atut dipastikan menyapu  kemenangan Pilkada 9 Desember lalu, yang dilakukan serentak di seluruh Indonesia meskipun di tengah wabah pandemi yang belum menunjukkan akan berakhir.

Dalam  sistem demokrasi bisa melahirkan dinasti politik. Padahal, dinasti politik sangat berbahaya karena mengarah kepada oligarki (kekuasaan berpusat hanya pada sekelompok orang dan sarat akan kepentingan pribadi atau kelompok) karena dia dipilih berdasarkan sistem kekerabatan. Kebijakan  pun akan berpihak pada si pemangku kepentingan. Maka, dinasti politik yang terjadi menunjukkan slogan sistem demokrasi ‘kedaulatan di tangan rakyat omong kosong belaka.

Seperti yang kita tahu, sistem demokrasi dalam hal pemilihan kepemimpinan, baik kepala negara, maupun kepada daerah, dilakukan dengan cara pengambilan suara terbanyak. Sesuai semboyannya, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sehingga, dalam hal pemilihan disesuaikan dengan aturan yang sesuai dengan standar manusia, bukan standar kebenaran. Memangnya manusia enggak benar? Jawabannya manusia bisa benar bisa salah. Manusia benar jika mengambil hukum berdasarkan Wahyu Allah. Dan salah jika mengambil hukum yang bukan dari Allah.

Dalam Islam, memilih pemimpin ada aturan dan kriterianya. Jika dalam demokrasi, seorang perempuan boleh menjadi pemimpin, maka dalam  Islam harus laki-laki, Muslim, adil dan amanah. Dalam Islam pun, tidak masalah jika seorang pemimpin itu dari kerabatnya sendiri, selama dia masih berpedoman dan menerapkan hukum-hukum Allah, masanya tidak dipatok harus 5 tahun sekali, selama si pemimpin masih pada jalur yang Islam benarkan, serta yang dipimpin ridha, maka selama itu pula ia memimpin. Tetapi ketika sang pemimpin telah nyeleweng dari aturan Islam, maka secepatnya harus diganti.

Dalam Islam sebaik-baiknya pemimpin bukanlah mereka yang mengajukan diri untuk menjadi pemimpin, sejatinya mereka tahu, begitu beratnya pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Seperti kisah Umar bin Khattab yang dengan pundaknya sendiri ia membawa gandum untuk rakyatnya yang kelaparan, atau kisahnya yang mengusir burung sehingga si burung di makan ular saja dia begitu takut kelak dihisab.

Begitu jelas perbedaan seorang pemimpin yang lahir dari pemikiran Islam dan pemimpin yang lahir dari pemikiran yang kufur. []


Post a Comment

Previous Post Next Post