Antara Ulama dan Islam Moderat


Oleh : Ummu Adi
Ibu Rumah Tangga dan Member AMK

Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode kepengurusan 2020-2025 resmi mengumumkan Miftachul Akhyar sebagai Ketua Umum MUI periode 2020-2025. Sedangkan jabatan Ketua Dewan Pertimbangan MUI diemban oleh Wakil Presiden RI, Ma'ruf Amin, menggantikan Din Syamsuddin.
Selain nama Din Syamsuddin, beberapa tokoh seperti mantan bendahara Yusuf Muhammad Martak, mantan wasekjen Tengku Zulkarnaen dan mantan sekretaris Wantim Bachtiar Nasir hilang dari kepengurusan MUI. Keempatnya dikenal sebagai tokoh yang keras mengkritik pemerintah dan tiga nama terakhir adalah pentolan Aksi 212.

Hal ini membuat pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, menilai dominasi dan kekuatan Ma'ruf Amin di MUI sangat kentara. Sehingga bisa dikatakan ada semacam campur tangan pemerintah di payung besar para ulama tersebut, karena Amin kan wakil presiden. Tentu pemerintah ingin majelis ulama dalam kendali. Sehingga kekritisannya akan hilang dan bisa dikendalikan," ujar Ujang kepada CNNindonesia.com, jumat (27/11).

Terpisah, peneliti LIPI, Siti Zuhro menilai ada upaya penyeragaman suara di MUI. Ia berpendapat seharusnya kelompok-kelompok yang berbeda pandangan tidak didepak dari kepengurusan MUI. "Naif menurut saya memaksakan organisasi lembaga tertentu dengan  penyeragaman seperti ini. Demokrasi kita partisipatoris, bukan lagi perwakilan. Masyarakat tidak lagi diwakili oleh sejumlah kalangan," tutur Siti. (cnnindonesia.com, 27/11/2020)

Menyikapi hal tersebut, Wakil Presiden Ma'ruf Amin menegaskan bahwa sampai saat ini di Indonesia belum ada satu orang pun yang mampu tampil sebagai imam umat Islam. Sejauh ini yang ada adalah imam atau pimpinan dari Organisasi Masyarakat ormas seperti FPI, NU, maupun Muhammadiyah. Untuk itu, perlu ada lembaga besar yang dapat menaungi umat Islam di Indonesia, dan MUI diharapkan memberikan contoh dan teladan dalam karakter organisasi terutama dalam rangka menjaga kesatuan dan persatuan. 
(Tribunnews.com, 27/11/2020)

Sementara itu Wakil Ketua komisi VIII DPR, yang memiliki ruang lingkup tugas bidang keagamaan, Ace Hasan Syadzily menyatakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukan organisasi politik.
"MUI itu tempat berhimpunnya ormas-ormas Islam yang tujuannya bukan untuk kepentingan politik, tetapi untuk kemaslahatan umat," ungkapnya, yang juga menjabat Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai Golkar itu.
"MUI (juga bisa) terus mengedepankan Washatiyatul Islam atau Islam moderat. Islam yang rahmah dan ramah, bukan yang marah," tutur Ace.
(cnnindonesia.com, 28/11/2020)

Istilah Islam moderat, akhir-akhir ini memang kerap terdengar disuarakan oleh beberapa tokoh agama untuk memberikan gambaran wajah Islam yang damai, rukun, toleran, tidak berlebih-lebihan (fanatik), dan tidak radikal.

Di dalam Islam moderat, tidak dibenarkan mengklaim agamanya saja yang benar, dengan kata lain semua agama adalah benar (plural). Menolak ide pluralisme bisa dikategorikan radikal. Ide inilah yang saat ini sedang dipaksakan ke dalam ajaran Islam, oleh pihak-pihak yang membenci Islam dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan menggandeng tokoh-tokoh agama yang memiliki pemikiran liberal.

Pandangan Islam tentang Islam Moderat

Istilah moderat muncul di Eropa di abad pertengahan, diawali dari adanya perbedaan pandangan antara pihak gerejawan dan para filosof terkait dengan ada tidaknya peran agama dalam kehidupan. Sehingga muncullah istilah sekularisasi (pemisahan antara agama dan kehidupan) dengan menjadikan jalan tengah (moderat) sebagai solusi dari perdebatan tersebut.

Dilihat dari awal kemunculannya, bisa dikatakan bahwa moderat (jalan tengah) bukanlah muncul dari ajaran Islam. Islam adalah agama rahmat yang diturunkan kepada seluruh umat manusia melalui Rasul-Nya sebagai petunjuk dalam hidup. Tidak ada pemisahan antara hakikat penciptaan dengan kehidupan, karena semua hubungan antara Al-Khaliq dan makhluknya dari sebelum kehidupan, adanya kehidupan dan sesudah kehidupan sangat berkaitan erat. Untuk itu, memisahkan agama dari kehidupan adalah pemikiran yang batil.

Allah Swt. berfirman yang artinya:

"Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar, agar dimenangkannya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi." (QS. al-Fath [48] : 28)

Dijelaskan juga dalam QS. al-Hasyr [59] : 18 yang artinya:

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan."

Inilah yang seharusnya dipahamkan kepada umat oleh para pengembannya. Terlebih para ulama, karena ulama adalah pewaris nabi (Waritsatul Anbiya') yang melanjutkan dakwah Rasul untuk mengeluarkan umat dari kegelapan. Ulama harus berdiri di garis terdepan untuk menentang kezaliman dan melakukan muhasabah kepada penguasa, mengkritik setiap kebijakan yang bisa menimbulkan kerusakan pada umat.

Rasul saw. bersabda: 

"Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewarisi ilmu. Barangsiapa mengambil warisan tersebut, ia telah mengambil bagian yang banyak." (HR. At-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi dan Abu Dawud)

Karena itulah, seorang ulama tidak diperbolehkan mendekati penguasa untuk mendukung kebijakan yang menzalimi rakyat, terlebih lagi ketika terbukti melakukan penyimpangan hukum syara'.

Rasul saw. bersabda:

"Siapa saja yang mendatangi pintu-pintu sultan (penguasa), maka dia akan terkena fitnah dan godaan." (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad)

Namun di negeri sekuler, semua kebijakan yang menyangkut pemerintahan, diputuskan berdasarkan akal manusia, dengan mengambil voting dan mengabaikan syariat, inilah paham demokrasi. Sehingga berharap pada sistem buatan manusia untuk penjagaan syariat Allah adalah hal yang mustahil.

Dan MUI sebagai Lembaga Ulama terbesar di negeri mayoritas Islam ini wajib menentang kezaliman dan muhasabah kepada penguasa untuk menjaga kemuliaan Islam.
Namun demikian, tidak cukup menghentikan kerusakan akibat sistem rusak ini hanya kepada umat atau ormas saja, tapi harus dijalankan sempurna oleh sebuah institusi negara (khilafah).

Allah Swt. berfirman, yang artinya:

"Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim." (QS. al-Maidah [5] : 45)

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post