POLITISASI AGAMA MENJELANG PEMILU


OLEH:HJ.PADLIYATI SIREGAR,ST

Tidak lama lagi Pilkada serentak akan digelar di seluruh Indonesia. Sampai saat ini, tahapan kampanye masih berlangsung.
Menjelang Pilkada, terkait dengan politisasi agama dan money politic (politik uang) sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Bahkan hampir di setiap pemilihan (Bupati/Wali Kota/Gubernur dan Presiden/Legislatif) selalu tercium dan terkabar praktek politisasi agama dan uang serta sejenisnya seperti sembako. Tujuannya tentu saja untuk mempengaruhi para pemilik suara.

Bawaslu dan Panwaslu yang bertugas mengawasi jalannya proses pemilihan agar bersih dan bebas dari politisasi itu memang sudah bekerja, tetapi hasilnya masih terasa kurang maksimal. Mereka memang kadang juga berhasil menemukan dan membuktikan adanya politik uang, tetapi banyak juga yang lolos. 

Apalagi menjelang pemungutan suara, masing-masing pasangan calon melakukan berbagai cara agar mereka bisa merangkul umat agama dan gereja tertentu untuk memilihnya. Modusnya ada yang minta didoakan, ada yang silaturahmi dan ada juga yang memberikan cinderamata baik kepada calon maupun kepada pimpinan-pimpinan agama.

Ketua Umum Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar Cabang Indonesia TGB Muhammad Zainul Majdi mengingatkan bahwa politisasi agama semata untuk mendapatkan kekuasaan atau memenangkan kontestasi politik akan berdampak buruk dan berbahaya.

"Menurut saya, politisasi agama bentuk paling buruk dalam hubungan agama dan politik. Sekelompok kekuatan politik menggunakan sentimen keagamaan untuk menarik simpati kemudian memenangkan kelompoknya. Menggunakan sentimen agama dengan membuat ketakutan pada khalayak ramai. Menggunakan simbol agama untuk mendapatkan simpati," katanya, saat webinar Moya Institute bertema "Gaduh Politisasi Agama", Kamis.

TGB memaknai politisasi agama merupakan pemanfaatan agama semata untuk mendapatkan kekuasaan atau memenangkan kontestasi politik, atau agama jadi instrumen untuk mendapatkan hasil politik.

Hal ini terlihat jelas bahwa fakta menunjukkan  politisi Islam dalam ranah demokrasi tidak sungguh-sungguh menggunakan Islam sebagai standar. Para politisi Islam cenderung pragmatis yang minus visi dan ideologis dalam sistem demokrasi. 

Dilihat dari deal-deal politik yang mereka lakukan dengan parpolnya untuk kepentingan. Terjadilah transaksi-transaksi politik yang  akhirnya, tidak ada teman abadi dalam politik. Tetapi yang ada kepentingan abadi. Menjadi wajar jika negara kacau karena diatur oleh orang-orang yang tidak kapabel dan hanya mementingkan kepentingannya sendiri.

Sementara ulama juga rentan masuk dalam jebakan penguasa dan dijadikan sebagai legitimasi kebijakan. Hal ini harus diwaspadai oleh umat Islam yang menjadi basis massa para ulama itu. Jika umat dan ulama terjebak dalam jebakan penguasa, maka mereka akan menjadi korban. Bukan hanya mereka, tetapi juga negeri ini.

Maka ulama tidak boleh menjadi stempel kekuasaan yang buruk dan bertentangan dengan Islam. Tidak boleh menjadi alat penguasa untuk memecah-belah umat. Tidak menggadaikan agamanya untuk kepentingan diri sendiri dan penguasa yang tidak amanah yang menerapkan nilai-nilai Islam.

Agama dan politik tidak dapat dipisahkan, sebab politik merupakan bagian integratif dari ajaran agama Islam. Meski demikian, dalam Islam tidak dibenarkan adanya politisasi agama.Dalam Islam, politik menempati peran yang cukup penting bagaikan saudara kembar yang saling membutuhkan.Ibarat dua sisi mata uang, keduanya memang mustahil untuk dipisahkan. 


Islam dan Politik

Istilah politisasi agama (tasyis ad-din) sebenarnya bukanlah istilah netral, melainkan istilah yang terkait dengan suatu pandangan hidup (worldview, weltanschauung) Barat, yaitu sekularisme. Dalam masyarakat sekular Barat, pemisahan politik dari agama adalah suatu keniscayaan. Karena itu politisasi agama dipandang ilegal.

Ini tentu berbeda dengan Islam yang tidak memisahkan agama dari urusan kehidupan masyarakat, termasuk politik. Politik (as-siyasah) adalah bagian integral dari Islam. Dikatakanlah, Al-Islam din[un] wa minhu ad-dawlah (Islam adalah agama dan politik adalah bagian dari agama).

Dalam Islam, politik (as-siyasah) didefinsikan sebagai: pengaturan urusan-urusan masyarakat dalam dan luar negeri berdasarkan syariah Islam. Politik ini dilaksanakan secara langsung oleh Negara Islam (Khilafah) serta diawasi oleh individu dan rakyat (Lihat: Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Mafahim Siyasiyyah li Hizb at-Tahrir, hlm. 1).

Itulah makna politik yang di-istinbath (digali) dari berbagai dalil, di antaranya dari sabda Nabi saw.:

«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»

Dulu Bani Israil diatur urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak ada nabi sesudahku. Yang akan ada adalah para khalifah dan jumlah mereka banyak (HR al-Bukhari dan Muslim).

Saat men-syarh (mengomentari) hadis ini, Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fath al-Bari (VI/497) menyatakan, “Di dalam hadis ini ada isyarat bahwa, tidak boleh tidak, rakyat harus mempunyai seseorang yang mengurus berbagai urusan mereka, membawa mereka ke jalan yang baik dan menolong orang yang dizalimi dari orang yang berbuat zalim.”

Jelaslah, berdasarkan ini, politik bukan saja merupakan bagian integral dari Islam, tetapi juga perkara yang agung dalam Islam. Karena itu sama dengan shalat, politik—dalam makna mengurus urusan masyarakat dengan syariah Islam—tak bisa dipisahkan dari Islam.

Karena itu tidak aneh jika banyak ulama menekankan bahwa politik dan agama adalah ibarat dua saudara kembar (taw`amani) atau seperti dua sisi mata uang. Inilah yang ditegaskan oleh Imam al-Ghazali. Bahkan kata Imam al-Ghazali, “Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh dan segala sesuatu yang tanpa penjaga niscaya akan hilang.” (Lihat: Al-Ghazali, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hlm. 199).

Hal senada ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah yang berkata, “Jika kekuasaan (as-sulthan) terpisah dari agama, atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.” (Lihat: Ibnu Timiyah, Majmu’ al-Fatawa, 28/394).

Sayangnya, apa yang disyaratkan oleh Imam al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah di atas justru terjadi sekarang ini. Seluruh sendi kehidupan masyarakat saat ini rusak dan hancur akibat agama dipisahkan dari kekuasaan (sekularisasi). Sekularisme inilah—yang antara lain mewujud dalam sistem demokrasi—yang menjadi biang kehancuran kehidupan manusia di segala bidang: akhlak (moral), ekonomi, pendidikan, politik, hukum, dll. Akibat politik yang dijauhkan dari agama (Islam) wajar jika kemudian tumbuh subur kerusakan moral, korupsi, suap-menyuap, penjualan aset-aset milik rakyat oleh penguasa, jual-beli hukum, lahir banyak kebijakan penguasa yang menindas rakyat, dsb.

Ini jelas tidak dikehendaki Islam. Apalagi Islam telah menentukan sistem politik tertentu untuk mengatur kehidupan masyarakat agar menjadi baik dan diridhai oleh Allah SWT. Itulah sistem Khilafah.

Menurut Imam an-Nawawi, ulama terkemuka mazhab Syafii, dalam Syarh Shahih Muslim, seluruh imam mazhab tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan kewajiban menegakkan Khilafah ini. Hal senada juga ditegaskan oleh banyak ulama lain (Lihat, misalnya: Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, V/308; Imam asy-Syaukani, Nayl al-Awthar, 8/265; dll).

Wallahu'alam bisshowab

Post a Comment

Previous Post Next Post