Tatkala Prestasi, Tak Sejalan dengan Realitas


Oleh: Mustika Lestari
(Pemerhati Sosial)
 

           Baru saja, Menkeu Sri Mulyani meraih penghargaan sebagai Finance Minister of the Year for East Asia Pacific tahun 2020 dari majalah Global Markets.Pasalnya, ini merupakan penghargaan kedua yang diterima Sri Mulyani dari majalah yang sama, setelah terakhir di tahun 2018 memperoleh penghargaan serupa. Menurut Global Markets, Sri Mulyani layak medapatkan penghargaan tersebut atas prestasinya dalam menangani ekonomi Indonesia pada pandemiCorona (Covid-19).“Gelar ini merupakan salah satu bentuk keseriusan dan kerja keras seluruh jajaran Kementerian Keuangan dalam menangani pandemi Covid-19 di Indonesia,” ujar Menkeu dalam keterangan resminya, Senin (12/10).

           Menanggapi hal ini, Politisi Partai Gerindra, Fadli Zon menyorotinya. Ia mengungkap bahwa banyak pihak yang mempertanyakan penghargaan yang didapatkan oleh Menkeu Sri Mulyani tersebut. Ia menilai bahwa pertanyaan sejumlah pihak ini sangat pantas untuk disikapi.

“Ini adalah satu pertanyaan yang menurut saya perlu disikapi, karena diberikan oleh sebuah majalah atau institusi bahwa apa yang dilakukan oleh Menteri Keuangan itu dan kebijakan-kebijakannya bisa dianggap sebagai Menteri Keuangan terbaik,” papar Fadli. “Sementara realitasnya kita merasakan bagaimana ekonomi kita semakin sulit,” sambungnya. Dipaparkannya, saat ini Indonesia banyak menghadapi masalah ekonomi (http://palu.tribunnews.com, 17/10/2020)

Ekonomi 'Kusut', Bukan Prestasi!

Jika kita melihat realitas Indonesia saat ini, kondisi perekonomiannya yang semakin terpuruk adalah fakta nyata yang terjadi, seperti melemahnya nilai tukar rupiah, defisit APBN, pembengkakan utang luar negeri hingga perekonomian negara yang resesi. Pemberitaan dari wartaekonomi.co.id, bahwa nilai tukar rupiah anjlok dihadapan banyak mata uang. Sampai dengan pukul 14.25 WIB, Jumat (4/9) rupiah terkoreksi -0,27% ke level Rp.14.710 per dollar AS. Sebelumnya, rupiah bahkan keok hingga ke level terdalam diangka Rp.14.773 per dollar AS. Lemahnya rupiah diperparah oleh tekanan dari mata uang global lainnya, seperti dollar Australia, poundstersling dan euro.

Selanjutnya, profil Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020, Kementerian Keuangan mencatat, defisit APBN 2020 mencapai Rp.500,6 triliun atau 48,2% dari patokan dalam APBN 2020 senilai Rp.1.039,2 triliun. Realisasi defisit anggaran ini setara dengan 3,05% PDB. Menkeu Sri Mulyani mengatakan defisit ini disumbang dari pendapatan negara yang mencapai Rp.1.034,1 triliun atau mengalami negative growth 13,1% dibandingkan realisasi tahun lalu. Sementara, untuk belanja negara tercatat lebih besar hingga Rp.1.534,7 triliun (economy.okezone.com).

Begitu juga utang luar negeri Indonesia yang setiap tahun semakin menumpuk. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), hingga Agustus 2020 utang luar negeri sudah mencapai USD.413,4 miliar atau sekitar Rp.6.074 triliun. Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menilai pengelolaan utang oleh pemerintah saat ini masih kurang maksimal karena banyak digunakan untuk membiayai program-program yang saling tumpang tindih (sindonews.com, 22/10).

Kemudian dalam potret terbaru, Indonesia sudah dipastikan akan mengalami resesi, mengingat selama dua kuartal berturut-turut ekonomi Indonesia sudah mengalami minus. Seperti Diketahui, pada kuartal II-2020 ekonomi Indonesia -5,32 persen secara tahunan (year on year/YoY), sementara pada kuartal III-2020, ekonomi Indonesia diprediksi berada diangka -2,9%.

           Indonesia semakin tekor. Hadirnya pandemi Covid-19 kian menampakkan krisis tersebut, dimana penerimaan negara yang anjlok, sementara kebutuhan anggaran terus melonjak. Sehingga inisiatif untuk menarik utang besar-besaran pun semakin kencang. Di negeri ini, skema rutin utang berbasis riba adalah instrumen utama untuk menambal defisit anggaran yang kian menganga lebar, baik itu berasal dari penarikan pinjaman, penerbitan surat berharga, melelang surat utang negara maupun yang lainnya. Karenanya, lilitan utang semakin membumbung tinggi akibat beban bunganya. Pada tahun ini saja, belanja bunga utang diproyeksikan mencapai Rp.338,8 triliun. Imbasnya, rasio belanja bunga utang terhadap pendapatan negara mencapai 20 persen, jauh lebih tinggi dari periode sebelumnya (tempo.co, 15/6). Walhasil, untuk menutupinya negara akan memungut pajak, dan rakyatlah yang memikul beban pajak tersebut.

Jika kita menelaah lebih mendalam, potret perekonomian negeri ini justru menunjukkan kegagalan rezim dalam menangani perekonomian negara. Ketergantungannya akan jasa asing, seperti investasi dan utang luar negeri pemerintah maupun swasta menimbulkan aliran pendapatan investasi dan pembayaran bunganya jauh lebih besar daripada pemasukan negara. Hal ini justru semakin memperburuk kondisi perekonomian negara. Bayang-bayang kegagalan pengembalian tumpukan pinjaman pun akan ditanggung oleh setiap generasi bahkan setiap kelahiran bayi di Indonesia dengan jumlah yang semakin menggunung. Faktanya, Indonesia berada dalam jurang kehancuran ekonomi. 

Mengherankan! Tatkala tata kelola ekonomi negara yang amburadul, hobi menjual aset negara dan gemar berutang justru dianggap sebagai prestasi yang perlu diapresiasi. Padahal, manusia yang masih melek problematika perekonomian negeri ini sama sekali tidak melihat realitas perbaikan yang konon didengungkan oleh pemerintah dan asing selama ini. Sehingga patut diduga bahwa penobatan Menkeu Sri Mulyani sebagai Menteri terbaik adalah berdasarkan penilaian asing atas prestasinya mengobral aset negara kepada mereka, bukan penilaian masyarakat Indonesia yang selalu berjibaku dengan kesengsaraan tanpa akhir. Tujuannya, tidak lain agar negara semakin terjerat dengan jebakan kapitalisme global secara berkepanjangan. Dengan memberikan gelar kehormatan akan semakin leluasa bagi mereka untuk turut campur mengatur perekonomian Indonesia. Ini disinyalir sebagai upaya intervensi politik dan ekonomi untuk memaksakan ekonomi neoliberal di negeri ini. 

Dengannya, Indonesia yang memiliki kekayaan berupa potensi Sumber Daya Alam yang tumpah ruah, membentang dari Timur hingga Barat dalam pengelolaannya akan diserahkan kepada mereka sebagai bentuk kompensasi dari kucuran utang. Negara akan dijajah atau dikendalikan sesuai kepentingan mereka yang rakus kekuasaan, sementara rakyat tidak akan merasakan kesejahteraan sedikitpun, biaya pemenuhan kebutuhan dasar, pendidikan, kesehatan maupun yang lainnya terus saja mencekik rakyat. 

Inilah sistem kapitalis-liberalisme, sistem buntu yang senantiasa menyulitkan dan menyengsarakan rakyat juga negara yang selalu menjadi korban pemalakkan. Sistem kapitalisme tidak pernah memikirkan kepentingan rakyat, melainkan hanya memikirkan kepentingan penguasa dan pemilik modal, sehingga selalu lapang dada terhadap pemodal meski berpotensi bahaya politis atas negeri karena menjadi alat pihak asing dalam mengontrol kebijakan yang akan dibuat. Dari berbagai kesemrawutan yang ada, seyogyanya umat hari ini memerlukan sistem alternatif lain sebagai pengganti sistem buntu ini yang hanya dihiasi dengan kerusakan demi kerusakan dalam segala lini kehidupan manusia. 

Sistem Islam Membentuk Manusia Berprestasi

Islam sebagai din yang mengatur seluruh aspek kehidupan, tidak hanya mengatur hal-hal yang berhubungan dengan ibadah ritual semata, tetapi juga yang berkaitan dengan rakyat. Negara harus sigap menyikapi pendapatan dan pengeluaran negara, baik dalam keadaan sedang terjadi krisis ekonomi maupun tidak.

Terkait dengan pendapatan dan pengeluaran anggaran negara, syara’ telah menetapkannya dengan pemimpin (Khalifah) yang menetapkan besaran nilai masing-masing pendapatan dan pengeluaran tersebut, sehingga tidak berpotensi defisit besar-besaran di luar dari yang telah diperkirakan. Kalaupun negara mengalami defisit, maka sumber pembiayaannya melalui jalan yang dibenarkan oleh syariat, seperti mengambil dana dari harta kepemilikan umum yang dikelola langsung oleh negara, menarik pinjaman (utang) sesuai dengan koridor syariah (non ribawi) dan tidak merugikan negara.

Dalam sejarah panjang umat manusia, peradaban Islam terbukti mampu menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif dan menciptakan kesejahteraan tiada tara. Misalnya, pada masa Khalifah Umat bin Abdul Aziz (818-820 M), meskipun masa berkuasanya singkat hanya sekitar 3 tahun, umat terus mengenangnya sebagai pemimpin adil yang berhasil menyejahterakan rakyat. Pada masanya, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata hingga di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah. Begitu makmurnya rakyat, Gubernur Bashrah saat itu pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabur dan sombong,” (Abu Ubaid, Al-Amwal, hal. 256). Inilah prestasi sesungguhnya yang patut untuk kita contoh. 

Di sisi yang lain, bagi antek/penghianat yang digunakan untuk memuluskan penjajahan asing, maka negara akan menghukumnya sebagaimana sanksi yang telah ditetapkan oleh syara’, sebagaimana Rasulullah telah mencontohkannya kepada kita kepada Abdullah bin Ubay yang dikenalmempunyai hubungan erat dengan Kafir (yang memerangi Islam), maka Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam membiarkan Zaid bin Arqam untuk melakukan spoinase terhadap Abdullah bin Ubay (HR. Muslim).

Sungguh, peradaban Islam yang menjadikan Islam sebagai tonggak kehidupan terbukti mampu menorehkan tinta emas dan cahaya peradaban kurang lebih 14 abad lamanya bagi kehidupan manusia. Bukan hanya unggul dalam perekonomian dan teknologi, tetapi juga dalam segala bidang kehidupan. Masa sistem Islam mampu memberikan kemaslahatan, jaminan kesejahteraan dan keberkahan bagi umat di dalamnya. Tegak kembalinya Islam akan mengakhiri semua kesengsaraan yang sudah mendarah daging di dunia ini.

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Akan ada pada akhir umatku seorang Khalifah yang memberikan harta secara berlimpah dan tidak terhitung banyaknya,” (HR. Muslim). Wallahu a’lam bish shawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post