Rekonstruksi Pelajaran Sejarah dan Lahirnya Manusia-manusia Boneka


Oleh: Rini Handayani
(Pemerhati Masalah Sosial)
                                                                                                  
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menempatkan mata pelajaran sejarah sebagai mata pelajaran pilihan di SMA, bahkan menghilangkannya di SMK. Wacana ini menimbulkan polemik di kalangan masyarakat pendidikan, terutama guru dan akademisi.

Rencana perubahan pendidikan sejarah di SMA/SMK tersebut tertuang dalam draf sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional tertanggal 25 Agustus 2020. Dalam draft tersebut dijelaskan bahwa mata pelajaran sejarah Indonesia tidak lagi menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa SMA/sederajat kelas 10. Melainkan digabung di mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kemendikbud Totok Suprayitno menegaskan bahwa kabar pelajaran sejarah akan keluar dari kurikulum tidak benar. Ia mengatakan bahwa Kemendikbud tengah mengkaji rencana penyederhanaan kurikulum pendidikan, guna meningkatkan kualitas pendidikan nasional (cnnindonesia.com, 19/9/2020).

Komisioner Bidang Pendidikan, KPAI, Retno Listyarti menilai wacana untuk menjadikan mata pelajaran sejarah sebagai pilihan (tidak wajib) di jenjang SMA, bahkan menghapus di jenjang SMK adalah tidak tepat. Semua anak, menurut Retno, baik di jenjang SMA ataupun SMK berhak mendapatkan pembelajaran sejarah dengan bobot dan kualitas yang sama (medcom.id, 20/9/2020).

Retno mengatakan bahwa nilai yang dipelajari dalam sejarah bangsa merupakan nilai karakter nyata dan teladan bagi generasi muda. Pembelajaran sejarah juga dapat meningkatkan apresiasi terhadap karya para pendahulu, memberikan perspektif dan ukuran untuk menilai perjalanan bangsa.

Retno juga menilai memang ada muatan-muatan kurikulum sejarah dan materi pelajaran sejarah yang harus diperbaiki karena dominasi perang dan kekerasan. Pembelajaran sejarah cenderung berbentuk hafalan bukan pemaknaan dan esensi nilai akibatnya pembelajaran sejarah cenderung membosankan.

Menilik pada muatan-muatan kurikulum dan materi pembelajaran sejarah yang berlaku saat ini, memang meniscayakan untuk dilakukan pembenahan atau rekonstruksi kurikulum. Namun rekonstruksi seperti apa yang semestinya dilakukan? Apakah langkah penyederhanaan kurikulum sudah tepat?

Upaya penyederhanaan kurikulum dengan penggabungan mata pelajaran sejarah dalam mata pelajaran IPS, jelas merugikan umat Islam. Sebab, sejak Indonesia menyatakan merdeka dari penjajahan fisik, sesungguhnya penjajahan sebenarnya belum berakhir. Penjajahan gaya baru justru baru dimulai dan terus berlangsung hingga kini.

Sejarah umat Islam di negeri ini telah dibelokkan oleh kafir penjajah dan kini sejarah yang bengkok itu pun perlahan akan dihapus.  Akibatnya, tumbuhlah generasi umat Islam yang memandang dirinya dari sudut pandang orang lain (penjajah), bukan dari pandangan Islam.

Sejarah yang dipelajari generasi Islam di negeri ini merupakan sejarah sekuler. Sejarah yang tidak menceritakan sudut pandang agama. Sejarah yang dipelajari justru menampilkan sejarah dan tokoh-tokoh di luar kalangan Islam. 

Kalau pun sejarah tersebut menceritakan tokoh-tokoh Islam, perjuangan mereka digambarkan semata demi kepentingan negara, tidak dikaitkan dengan agama yang mereka anut. Padahal, perjuangan tokoh Islam itu, karena dilandasi jihad fi sabilillah (agama). 

Walhasil generasi Islam kehilangan potret pendahulunya, yang pernah hidup dalam aturan Islam di bawah peradaban Khilafah Islamiyah. Melalui sejarah yang salah, generasi muslim dibentuk sosok baru yang beda dari pendahulunya. Hingga tak nampak lagi seperti apa jati diri aslinya. Generasi Islam pun menjelma menjadi muslim sekuler.

Dalam sistem sekuler saat ini, generasi Islam yang sadar dan ingin kembali menerapkan Islam dalam hidupnya terus diadu domba dengan generasi yang berhasil dikaburkan jati dirinya. Seolah mereka tak memiliki akar sejarah yang sama. Inilah penjajahan gaya baru, berupa penjajahan pemikiran kafir yang dipaksakan pada umat Islam. 

Perlu disadari oleh segenap elemen umat, saat ini kita hidup dalam sistem kapitalis. Upaya apapun untuk mengubah kurikulum di negeri ini tentu tak lepas dari sistem kapitalis yang berkuasa saat ini. Sistem kapitalis tak mungkin memberikan gambaran yang benar tentang sejarah suatu bangsa yang dijajahnya. Sistem kapitalis tentu akan menciptakan manusia-manusia boneka, untuk memperkokoh hegemoninya.

Padahal, sejarah dalam Islam memiliki kedudukan yang penting, darinya manusia dapat mengambil berbagai pelajaran. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Yusus ayat 111: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang berakal. …”. 

Islam memandang sejarah sebagai bagian dari tsaqofah. Tsaqofah adalah informasi dan pengetahuan yang dipengaruhi oleh akidah dan pandangan hidup tertentu. Sejarah merupakan informasi politik, mencakup sejarah umat Islam maupun umat lain. 

Sejarah hendaknya ditulis melalui metode riwayat, sebagai mana periwayatan sebuah hadist (Taqiyuddin An-Nabhani dalam Nizham Al-Islam). Sehingga layak dipercaya dan dapat dijadikan pegangan.

Hal ini bisa dilihat dari bagaimana Khilafah Islamiyah mengajarkan sejarah pada generasi Islam. Pertama, Khilafah akan melakukan validasi terhadap sejarah baik sanad maupun matan (muatan informasi), dengan mengumpulkan ahli hadist dan sejarah dari berbagai negeri Islam.

Kedua, sejarah akan diajarkan pada generasi Islam sejak dini melalui kurikulum pendidikan. Agar bisa menjadi pondasi dalam penanaman aqliyah dan nafsiyah Islam. 

Pembelajaran sejarah untuk generasi umat pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi, mereka akan mempelajari sejarah dengan lebih mendalam dan luas serta mempelajari bangsa-bangsa yang lain. Sehingga dengan mempelajarinya, mereka bisa merespon dengan tepat karakter dan sejarah bangsa lain. 

Demikianlah gambaran Khilafah dalam mengajarkan sejarah. Tanpa Khilafah kurikulum sejarah tidak mungkin dapat menghantarkan generasi Islam menemukan jati dirinya sebagai umat terbaik dan mewujudkan Islam rahmatan lil a’lamin. 
Wallahu a’lam bi showab.

Post a Comment

Previous Post Next Post