POLITIK KARDUS

Oleh : Hana Maryam

Politik kardus, yang menempatkan segelintir kaum super kaya dengan mudah menguasai sumberdaya ekonomi dan politik, ini harus dihentikan. Pesta demokrasi sebentar lagi. Tahun 2020 kita akan kembali menghadapi pemilihan Kepala daerah. Di awal pesta itu kita sudah dihadapkan dengan isu  politik kardus. Apa itu politik kardus? Politik kardus adalah kata lain dari politik mahar. Istilah itu dipopulerkan oleh mantan korban penculikan aktivis di 1998 yang kini menjadi salah satu petinggi Partai Demokrat. Orang itu adalah Andi Arief. Andi Arief melalui media sosial menyebut Sandiaga Uno memberikan mahar Rp 500 Miliar ke PAN dan PKS agar dipilih menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Seperti biasa, pihak yang dituduh pun mengelak. Perdebatan soal politik kardus pun digeser, dari mahar politik menjadi dana untuk kampanye. Alasannya sederhana, kalau dana kampanye dari pasangan calon tidak dibatasi. 

Mungkin dengan framing dana kampanye itu tidak ada ketentuan hukum yang dilanggar. Namun, adanya guyuran uang ratusan miliar hingga triliyunan rupiah jelas ini merupakan wajah demokrasi. Idealnya dalam demokrasi, suara orang miskin dan kaya itu sama, namun poliik kardus telah merusak semua itu. Dengan politik kardus kaum kaya dengan mudah menguasai sumberdaya politik, setelah sebelumnya menguasai sumberdaya ekonomi. Ketika sumberdaya ekonomi dan politik sebuah negeri jatuh dalam genggaman kaum kaya, maka mereka akan mengerahkan sumberdaya itu untuk melindungi kepentingannya.

Kaum kaya yang telah menguasai sumberdaya ekonomi dan politik itu akan membungkam suara kaum miskin untuk aksi-aksi brutal mereka dalam melangsungkan kepentingan mereka sehingga, dengan begitu mereka mudah untuk malakukan diberbagai investasi tanpa mempedulikan rakyatnya. Misalnya dalam COVID 19 yang telah melanda diberbagai Negara, salah satunya adalah Indonesia, kepentingan politik kardus tidak melihat itu sebagai bahan pertimbangan untuk menundah pilkada. Bukan hanya itu masalah-masalah yang terjadi dinegara saat ini mereka mengganggap sebagai angina lalu yang bisa usai kapan saja, belum lagi masalah perekonomian, kesehatan, kemiskinan bahkan sampai masalah pendidikan.

Inilah sistem demokrasi yang dimana para pemilik modal akan berkuasa dan rakyat menjadi lahan dan jalan dari kepentingan mereka, dan politik kardus telah menjadi budaya bangsa Indonesia. Cita-cita demokrasi sejatinya untuk membangun kesejahteraan rakyat melalui kebijakan pemimpin yang melalui pilkada ternyata hanya cerita dongeng ala lingkaran kerajaan penguasa boneka. Berbeda dengan islam melalui sistem politik mengatur dan mengurusi umat sehingga rakyat sejahtra, aman dan sentosa.
Bersambung....

Post a Comment

Previous Post Next Post