Mengapa ngotot Pilkada, Meski Banyak Madharat


Oleh : Rosna Bahar

Setiap lima tahun sekali akan ada pergantian kepala daerah (pilkada) yang dipilih langsung oleh masyarakat, tetapi pilkada tahun ini mendapat kecaman dari berbagai pihak yang meminta untuk ditunda atau diundurkan mengingat pandemi covid-19 dengan jumlah korban yang terus meningkat.

Salah seorang dari partai DPP H Djafar Badjeber mengatakan tidak ada kepentingan dalam penundaan pilkada hanya melihat fenomena covid-19 yang terus meningkat dikarenakan pilkada kali ini berpotensi menjadi sarang baru tersebarnya covid_19. Inilah salah satu alasan yang di lontarkan dari sekian banyak orang agar pilkada ditunda dulu, dikhawatirkan korban semakin banyak berjatuhan.

"Karena itu Komisi II DPR, Mendagri, KPU diminta kembali melakukan tela'ah serta kajian dampak negatif dari proses pilkada sampai pelaksanaannya. Jangan semata-mata pertimbangan demokrasi tapi rakyat jadi korban" ujar Djafar Badjeber kepada Beritasatu.com, Rabu (9/9/2020).

Tetapi tidak bagi seorang mentri dalam penyampaian beliau menegaskan untuk penundaan pilkada itu sulit diwujudkan dengan alasan bahwa penundaan pilkada membutuhkan waktu untuk merubah UU dan penerbitan Perppu juga perlu persetujuan dari DPR itupun belum tentu disetujui.

Wacana penundaan pilkada pernah dibahas oleh pemerintah, KPU, dan DPR. Namun, waktu itu, kata Mahfud MD, diputuskan pilkada bahwa akan tetap digelar 9 Desember 2020. Ada dua alasan. Pertamac, pemerintah dan DPR tidak mau 270 daerah di Indonesia serentak dipimpin oleh pelaksana tugas. Kedua, jika ditunda karena Covid-19, maka kapan Covid-19 akan berhenti dan tidak lagi berbahaya? sampai hari ini, angka positif Covid-19 masih terus menunjak. Mahfud MD menjelaskan diawak media kalau hal Ini bukan alasan saya, tetapi alasan pemerintah dan DPR saat mereka memutuskan, saya hanya menyampaikan kembali.

Lebih jauh, Qodary menyatakan pilkada 9 Desember bisa menjadi superbig spreader alias bom atom kasus Covid-19. Dari simulasi yang dilakukan, kata Qodari, pilkada berpotensi melahirkan kerumunan di 305.000 titik. Itu berdasarkan estimasi jumlah tempat pemungutan suara (TPS) dalam pilkada serentak.

Jumlah orang yang terlibat di 305.000 titik TPS tersebut jika memakai target partisipasi 77,5% oleh KPU adalah 106 juta pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) x 77,5% = 82,15 juta orang. Jika positivity rate kasus Covid-19 di Indonesia mencapai 19%, kata Qodari, maka potensi orang yang terinfeksi dan menjadi agen penularan Covid-19 pada hari "H" mencapai 82,15 juta orang x 19% = 15,6 juta orang.

Jika pemerintah tetap ngotot dalam melaksanakan pilkada, justru itu lebih memperparah keadaan. Sekalipun pemerintah sudah menetapkan aturan yang nanti diberlakukan selama masa pilkada. 
Menurut Qodari, setidaknya ada empat syarat untuk mencegah penyebaran Covid-19 dalam proses pilkada. Pertama, membagikan masker ke seluruh rakyat Indonesia. Paling tidak 80% warga Indonesia sudah memiliki masker dan memakainya setiap hari.

Kedua, pemerintah harus merevisi UU untuk menghapus semua bentuk kampanye dengan kerumunan, pengaturan jam kedatangan pemilih, dan mengatur jaga jarak di luar TPS oleh aparat Polri dan TNI.
Ketiga, adanya sanksi yang tegas dan jelas kepada para calon kepala daerah yang melanggar larangan pengumpulan massa di pilkada sebagaimana diatur dalam UU Pilkada yang sudah direvisi.

Keempat, KPU harus melaksanakan simulasi pilkada di 270 wilayah pilkada, mulai dari distribusi surat pemberitahuan kepada pemilih, mengecek jam kedatangan pemilih ke TPS, sampai dengan penghitungan suara.
Namun tidak ada yang bisa menjamin bahwa aturan yang dibuat oleh pemerintah akan berhasil dan meminimalisir masalah yang akan terjadi. Ini menegaskan bahwa Pilkada menjadi instrument penting mempertahankan demokrasi. Kerusakan dan kezaliman kepemimpinan demokrasi akan diperpanjang nyawanya melalui Pilkada.

Seharusnya dengan ini membuat kita semakin tersadarkan bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah semata-mata atas dasar kepentingan mereka.

Post a Comment

Previous Post Next Post