Oleh: Widya Fauzi
"Pemerintah menjamin kebebasan ulama untuk terus berdakwah amar makruf nahi munkar. Dan Saya menginstruksikan agar semua aparat menjamin keamanan kepada para ulama yang berdakwah dengan tetap mengikuti protokol kesehatan di era COVID-19,” ungkap Mahfud. (Viva.co.id, 13/9/2020). Namun apa yang dinyatakan pak Mahfud tidaklah menjadi parameter perlindungan terhadap ulama yang melakukan tugas dakwah. Karena fakta justru menegaskan, banyak ulama dipersekusi karena mendakwahkan Islam dan mengoreksi praktik kezaliman rezim. Pada Kamis (20/8/2020) beberapa waktu lalu, Kyai Zainullah dan Abdulhalim dipersekusi di Pasuruan. Keduanya digeruduk sekelompok ormas karena mendakwahkan Khilafah yang merupakan ajaran Islam.
Lalu kasus penganiayaan pun terjadi pada
Ulama Syekh Ali Jaber. Penusukan terhadap beliau terjadi di Bandar Lampung,
Minggu sore, 13 September.
Masyarakat pun mulai melakukan protes atas
kejadian tersebut. Di antaranya datang dari Ormas Persatuan Islam (Persis)
sebagaimana dikutip Radar Majalengka (13/9/2020), mengutuk keras atas tindakan
percobaan pembunuhan terhadap Syekh Ali Jaber. Ketua PD Persis Kabupaten
Majalengka, Drs H Ustaz Acep Saepudin MEd menegaskan pihaknya menolak cap gila
kepada pelaku. Pemberian label gangguan jiwa pada pelaku, disebutkan Acep
terkesan terburu-buru dan tanpa melihat hasil pemeriksaan medis dari ahli
kesehatan jiwa.
Pernyataan dari Kepolisian yang dinilai
terburu-buru, yang menyebutkan bahwa pelaku penyerangan itu mengalami gangguan
jiwa, juga mendapatkan kritik keras. Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia Danardi Sosrosumihardjo merasa, penyebutan pelaku
penyerangan sebagai penyandang gangguan jiwa atau orang gila terlalu cepat
dilakukan. Untuk mengatakan itu perlu pembuktian melalui diagnosis dokter. “Itu
rasanya perlu dikoreksi menurut saya,” katanya sebagaimana dikutip Republika
pada (14/2/2018) lalu.
Tentu berbagai kasus yang terjadi tersebut harus ditangani oleh aparat negara secara serius, seksama dan transparan. Di sini masyarakat menunggu keseriusan Pemerintah dalam menangani berbagai kasus penyerangan ini. Bukankah salah satu tugas negara adalah memberikan jaminan rasa aman kepada rakyatnya? Siapapun mereka. Apalagi bila yang harus dijaga keamanannya adalah ulama. Serangan terhadap ulama menunjukkan bahwa jaminan rasa aman di negeri ini masih mahal. Aparat pun malah terkesan meremehkan berbagai peristiwa tersebut. Peristiwa ini pun dianggap sebagai kebetulan belaka.
Perlakuan buruk terhadap ulama sering
terjadi saat ini karena sistem sekuler tidak menghormati ulama. Sistem sekuler
meminggirkan agama dari kehidupan manusia. Semua keputusan ekonomi, politik,
pemerintahan, dan sebagainya diambil tanpa merujuk pada petunjuk dari Sang Khalik.
Dalam kehidupan seperti ini, ulama seolah tak punya peran. Ulama hanya didengar
jika memberi tausiyah yang menyenangkan. Namun saat ulama meluruskan yang
bengkok, pemuja kebatilan pun murka dan membuat makar pada sang ulama.
Sedemikian beratnya beban yang dipikul para
ulama. Di satu sisi mereka memiliki tugas untuk menjadi penerang umat ke jalan
Islam. Di sisi lain mereka pun harus menghadapi teror yang sedemikian dahsyat.
Di sinilah ujian bagi para ulama untuk tetap istiqamah mengemban predikat pewaris
para nabi. Ulama harus tetap menjalankan amanah dan fungsinya. Mereka harus
tetap menunjukkan bahwa mereka adalah pewaris nabi dari segi keilmuan,
ketakwaan, keberanian, keikhlasan, ketawakalan, dan lain-lain. Mereka pun harus
tetap menunjukkan diri sebagai penjaga dan pengayom umat.
Sedemikian pentingnya ulama, dapat
disebutkan bahwa tanpa keberadaan ulama manusia akan bodoh dan mudah tergoda
setan, baik dari jenis manusia maupun jin. Karena itu keberadaan ulama
merupakan nikmat Allah SWT yang diberikan kepada penduduk bumi. Merekalah
lentera-lentera yang menerangi, para pemimpin yang memberi petunjuk dan hujjah
Allah di atas bumi. Merekalah yang akan memusnahkan segala pemikiran sesat
serta segala bentuk keraguan dari dalam hati dan jiwa manusia. Merekalah
pondasi keimanan dan kekuatan umat. Mereka laksana bintang-bintang di langit
yang memberi terang dalam kegelapan dunia.
Rasulullah SAW bersabda: Sungguh
perumpamaan para ulama di bumi seperti bintang-bintang di langit yang dengan
cahayanya menerangi kegelapan di darat dan di laut (HR Ahmad). Merekalah
pewaris nabi, sebagaimana sabda Rasulullah SAW: Sungguh ulama itu adalah
pewaris para nabi (HR Abu Dawud dan Baihaqi).
Semua keutamaan itu diperuntukan bagi para
ulama yang berjalan di atas kebenaran, mencintai kebaikan, melaksanakan amar
makruf nahi munkar, mengoreksi dan menasihati para penguasa, bekerja
siang-malam demi kemaslahatan kaum Muslim, memperhatikan urusan-urusan umat dan
siap menanggung kesulitan.
Semua kemuliaan ini diperuntukkan bagi para
ulama pembela dan penjaga Islam; yang menyeru para penguasa untuk menerapkan
Islam dalam seluruh aspek kehidupan dengan lisan yang jujur dan hati yang
kokoh; yang menghiasi dirinya dengan akhlak para nabi; yang perbuatannya
merupakan terjemahan hukum al-quran dan as-sunnah.
Mereka adalah orang-orang yang berkata
kepada orang-orang yang zalim tentang kezalimannya. Mereka memperbaiki apa yang
rusak dan meluruskan apa yang bengkok. Mereka tidak gentar terhadap siapa pun
dan tidak takut celaan para pencela karena Allah SWT. Mereka tidak takut kepada
para penguasa zalim atau para diktator karena mereka mengimani sabda
Rasululullah Muhammad SAW:
“Siapa saja yang melihat penguasa zalim,
menghalalkan apa yang Allah haramkan, melanggar janji-Nya, menyalahi
Sunnah-Nya, memperlakukan hamba-Nya dengan dosa dan permusuhan, kemudian dia
tidak mengubah semua itu baik dengan perbuatan maupun ucapan, maka hak Allah
untuk memasukan mereka ke dalam neraka.” (HR ath-Thabrani dalam At-Târîkh dan
Ibnu al-Atsir dalam Al-Kâmil). Mereka pun mengimani firman Allah SWT:
(Ingatlah) ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi
kitab (yaitu), “Hendaklah kalian menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan
jangan kalian sembunyikan.” (TQS Ali Imran [3]: 187)
Karena itu umat, khususnya penguasanya,
wajib menjaga ulama mereka. Tidak boleh umat dan penguasa berdiam diri terhadap
teror yang ditujukan kepada para ulama. Umat dan penguasa harus menjaga ulama
mereka secara fisik dan langsung, karena betapa penting dan berharganya keberadaan
ulama di tengah-tengah umat. Bila ulama ini hilang maka hilanglah mutiara dan
penerang kebaikan di tengah umat.
Karena itu umat dan penguasa wajib
memuliakan para ulama dan siapapun khususnya penguasa haram memusuhi mereka.
Pasalnya, Rasulullah SAW. telah bersabda: Siapa saja yang memusuhi waliku maka
Aku memaklumkan perang kepada dirinya (HR al-Bukhari).
Di dalam sistem Khilafah Islam yang tegak
atas akidah Islam. Pemerintahan dijalankan sesuai syariat Islam. Sehingga
Khilafah butuh orang-orang yang paham ilmu agama, yakni para ulama. Dalam
Khilafah, ulama dimuliakan. Mereka dijadikan rujukan dalam berbagai urusan
kehidupan. Bukan hanya urusan akidah, ibadah, dan akhlak. Tapi juga politik,
ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Para penguasa dalam Khilafah senantiasa
mendekat pada ulama dan mendengarkan nasihat mereka. Prof Dr Ali Muhammad
Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah menyebutkan, Sultan
Muhammad Al Fatih memiliki sebuah kebiasaan di bulan Ramadan. Beliau datang ke
istananya setelah salat zuhur bersama rombongan ulama ahli tafsir Al-quran.
Salah seorang dari mereka menafsirkan ayat-ayat Al-quran yang kemudian didiskusikan oleh semua ulama. Sultan ikut terlibat dalam diskusi itu dan mendorong para ulama dengan memberikan hadiah dan santunan uang yang cukup banyak. Setiap kali ulama memberikan nasihat, penguasa Islam akan memperhatikannya.
Demikianlah seharusnya sikap terhadap ulama, memuliakan dengan cara mengikuti ajaran mereka. Ini juga yang menjadi rahasia terjaganya kecemerlangan peradaban Islam selama ribuan tahun. Karena para Khalifah memuliakan para ulama. Wallahu a’lam bishshawab.
Post a Comment