By : Mia Fitriah Elkarimah
Teknologi informasi dan komunikasi semakin berkembang dengan pesat di seluruh penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Hal tersebut menjadikan berita dan informasi menyebar dengan begitu cepatnya dan sangat mudah didapatkannya. Hanya melalui akses internet dalam sepersekian detik, masyarakat dapat mengetahui berita terkini dari belahan dunia manapun. Bukan hanya itu, masyarakat pun dapat segera memberikan opini dan reaksinya sesaat setelah kejadian tersebut berlangsung, baik opini positif maupun negatif. Yang pasti, publik disuguhi sebuah kebebasan pemikiran dan aspirasi dalam berbagai bentuk di media sosial.
Kehadiran media sosial seperti facebook, Snapchat, Whatsaap, Telegram, twitter, instagram, flickr, path, dan sebagainya, telah mengubah secara signifikan pola-pola interaksi dan komunikasi individu saat ini. Media sosial mendominasi konten internet yang paling sering diakses oleh netizen dan dari segala kemudahannya Dan juga kemudahan ini sangat bermanfaat jika digunakan secara bijak.
Tetapi fenomena yang terjadi sekarang ini, banyak pengguna sosial media kurang bijak, seperti penggunaan sosial media sebagai sarana untuk cyber bullying, penyebaran hoax, dan hate speech; bentuk paling banyak berupa penghasutan, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, dan provokasi.
Fenomena bullying di media sosial dengan hadirnya beberapa komentar yang dilontarkan dari mulai memaki, mengucapkan kata kotor, hingga merendahkan ini cukup mengkhawatirkan.
Hal ini tentunya bisa menyerang psikis bagi yang diserang, bagi seseorang yang mempunyai sifat apatis, ia tidak akan mengabaikan bullying yang menimpa dirinya, tapi bagi seseorang yang karakternya rapuh, maka akan tertekan secara psikologis.
Sebagai pengguna media sosial harus pandai dalam menyikapi konten yang ada. Tidak semua informasi di media sosial bisa diterima dan dimakan mentah-mentah. Informasi di media sosial harus diteliti keabsahannya meski dituliskan oleh akun real sekalipun.
Sebagai pengunggah kadang biasanya menjadikan media sosial lainnya sebagai ajang eksistensi diri, yang tanpa disadari postingan tersebut akan dibaca oleh seluruh penghuni dunia virtual yang majemuk dan heterogen, seharusnya mampu memilah mana yang merupakan ranah pribadi dan ranah publik, sering sekali melupakan kesadaran pribadi, sehingga unggahan dalam media sosial mempengaruhi citra diri sendiri, sering juga memuntahkan unek-unek dan akhirnya mempengaruhi hubungan sosial dengan pihak lain.
Dalam dua hari terakhir dunia media sosial tiba-tiba dihebohkan dengan makanan tradisional Indonesia, hal ini diawali dari sebuah foto klepon dengan tulisan, "Kue klepon tidak islami. Yuk tinggalkan jajanan yang tidak islami dengan cara membeli jajanan islami, aneka kurma yang tersedia di toko syariah kami". Makanan tekstrur kenyal yang terbuat dari ketan dengan campuran daun suji dan berisi gula jawa cair ini tiba-tiba menjadi viral.
Setelah itu banyak akun-akun di media sosial yang ikut membahas soal flyer foto klepon tersebut hingga menjadi trending dengan nada-nada sentiment, yang dikaitkan dengan dua kelompok yang berbeda pandangan soal pemilihan pemimpin, di era sekarang makananpun ternyata bisa dijadikan komoditi isu sara.. Kebebasan berekspresi memang dibolehkan, tapi harus tetap berpegang pada etika pengendalian diri dan etika bersosial yang baik,
Media sosial menjadi candu terutamanya generasi muda. Gelombang teknologi yang semakin pesat menjadikan masyarakat berlumba-lumba untuk mendapatkan subscriber atau follower. Generasi muda khususnya merupakan kelompok yang paling berpengaruh dengan perkembangan teknologi ini. Sebuah bentuk hubungan sosial tanpa batasan yang akan memberi implikasi buruk dan negative jika tidak dikawal dengan sebuah aturan hukum.
Pemahaman dan sosialisasi UU ITE kepada masyarakat belum cukup efektif, tidak ada bukti kejelasanan di masyarakat tentang kepastian hukum nya bagi yang melanggar, ditambah lagi dengan ketidaktahuan masyarakat perbuatan mana yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan dilakukan menurut hukum dalam dunia cyberspace. Sebaiknya juga kemampuan SDM aparat yang menangani masalah-masalah hukum siber (cyberlaw) ditingkatkan. sebagaimana terlihat dari masih menggeliatnya pelanggaran-pelanggaran dalam penggunaan teknologi informasi khususnya media sosial.