Anak-Anak Terpapar, Bagaimana Nasib Generasi Negeri?


Oleh : Rina Tresna Sari, S.Pd.I
Pendidik Generasi Khoiru Ummah dan Member AMK

Tren dunia akibat kematian Covid-19 semakin mengkhawatirkan. Walaupun ada beberapa negara yang mulai melandai grafiknya, bahkan sudah tidak ada kasus baru. Namun, sebagian besar negara-negara di dunia masih menunjukkan tren yang meningkat.

Termasuk Indonesia yang hingga kini belum mencapai puncaknya. Bahkan, kini Indonesia menjadi negara tertinggi se-ASEAN dalam hal penambahan kasus baru corona. Korban terus berjatuhan tak pandang usia, tua dan muda .

Dilansir oleh Swamedium.com pada hari Sabtu, 23/05/2020 bahwa Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta pemerintah untuk memikirkan secara matang sebelum memutuskan membuka kembali sekolah di tengah pandemik Covid-19. Jangan jadikan lingkungan sekolah klaster baru penularan virus corona bagi siswa murid. 

Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengatakan, berdasarkan catatan lebih dari 800 anak di Indonesia terpapar Covid-19. Bahkan, 129 anak meninggal dengan status pasien dalam pengawasan (PDP) Covid-19 dan 14 anak meninggal dengan status terkonfirmasi positif Covid-19.

“Penularan virus yang mewabah itu terjadi melalui kontak dari orangtua ataupun keluarga terdekat,” ujar Retno. (Swamedium.com, 23/05/2020)

Sungguh disayangkan. Ketika anak-anak banyak yang terpapar, pemerintah malah berencana membuka sekolah saat pandemi belum mencapai puncaknya. Dikhawatirkan sekolah justru  akan menjadi klaster baru penularan virus corona bagi murid.

Jika ini terjadi dan dipaksakan, dampaknya kita akan kehilangan generasi. Kita sudah banyak kehilangan dokter, nakes dan guru besar yang butuh waktu panjang untuk lahirkan mereka.

Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian juga mengingatkan Kemendikbud harus berhati-hati menerapkan kebijakan ini. Sebab menurutnya, saat ini penyebaran virus corona justru telah terdeteksi di seluruh provinsi di Indonesia.

Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Agus Sartono turut bersuara, ia mengatakan masih berisiko jika membuka sekolah pada pertengahan Juli 2020.

Sikap pesimis yang ditunjukkan para pejabat negeri menggambarkan pada publik bahwa ide sekolah dibuka kembali hanya bagian dari upaya pemulihan kondisi sosial ekonomi. Tanpa melihat aspek keamanan bagi rakyat karena dilakukan tanpa diiringi pemastian bahwa virus tidak lagi menyebar dan mereka yang terinfeksi sudah diisolasi.

Faktanya untuk memastikan siapa saja yang terinfeksi melalui tes massal dan PCR saja belum dilakukan. Pemerintah selalu beralasan kekurangan alat. Jika rakyat mau melakukan tes secara mandiri, biaya harus ditanggung sendiri dan tak murah. Jelas semakin menambah kesulitan rakyat di tengah pandemi.

Begitu sulit  rasanya untuk menyambut optimis atas kebijakan pemerintah membuka sekolah lagi pada pertengahan Juli. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan ketidakjelasan pemerintah menangani wabah corona hingga saat ini. Meski diberlakukan PSBB, jumlah rakyat yang terpapar virus masih terus bertambah. Bahkan hal ini juga mengundang kebingungan kepala negara menghadapinya.

Belum usai drama mudik dan pulang kampung yang dilematis, antara dilarang dan diperbolehkan,  kini muncul lagi wacana pembukaan sekolah di tengah pandemi. Bahkan kini diberlakukan the new normal dimana semua kegiatan akan berjalan kembali. Sontak hal itu  mengundang keraguan dari berbagai pihak. Terutama para orang tua siswa yang mengkhawatirkan keamanan kesehatan anak-anak mereka.

Pemerintah terus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang kontroversial. Semua kebijakan tersebut tentu muncul dari rezim ruwaibidhah. Orang-orang bodoh yang mengurusi urusan umat. Di samping itu, sebagai negara pengekor, Indonesia dengan mudah ikut termakan propaganda. Narasi berdamai dengan corona yang digaungkan Amerika, sontak diadopsi tanpa memikirkan resikonya.

Padahal sejatinya, narasi ini adalah sebuah jebakan. Agar rakyat tertutup mata, bahwa ada begitu banyak persoalan, yang berujung pada kerusakan sistem yang dijalankan.

Namun, ‘ala kulli haalin, wabah corona memang telah memberi kita banyak pelajaran. Salah satunya bahwa kekuasaan yang tak berbasis pada akidah Islam hanya akan melahirkan kefasadan. Bahkan kefasadan yang jauh di luar nalar.

Berbeda jauh dengan kekuasaan yang tegak di atas landasan iman. Kekuasaan Islam telah terbukti membawa kebaikan dan keberkahan bagi seluruh alam. Karena sistem hidup yang diterapkannya berasal dari Sang Maha Pencipta Kehidupan.

Kekuasaan Islam yang disebut sebagai khilafah, senantiasa menempatkan urusan umat sebagai urusan utama. Harta, kehormatan, akal, dan nyawa rakyatnya dipandang begitu berharga. Pencederaan terhadap salah satu di antaranya, dipandang sebagai pencederaan terhadap Allah dan Rasul-Nya. Karena semuanya adalah jaminan dari penegakan hukum syara’.

Fakta akan hal ini akan tampak saat negara dalam keadaan ditimpa kesulitan. Baik karena bencana maupun karena serangan musuh-musuhnya. Didalam situasi seperti ini, kekuasaan selalu tampil sebagai perisai utama. Di mana penguasa siap membela rakyat dan mendahulukan kepentingan-kepentingan mereka dibanding kepentingan dirinya.

Tak heran jika benih-benih peradaban cemerlang bermunculan demi memberi jalan keluar terhadap berbagai persoalan. Berbagai penelitian, teknologi, sistem administrasi, pembangunan suprastruktur dan infrastruktur, semua didedikasikan khilafah Islam untuk kepentingan mengurus dan menjaga umat serta demi kemuliaan agama mereka. Bukan demi memuaskan kerakusan para pemilik modal sebagaimana dalam sistem sekarang.

Itulah yang sempat digambarkan sejarawan Will Durant secara jelas dan lugas dalam bukunya:
“Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang bagi siapa pun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga berbagai ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.” (Will Durant – The Story of Civilization).

Waallahu a'lam bishshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post