IndonesiaTerserah, Curahan Hati Kami



Oleh: Neng Ranie SN
(Member Akademi Menulis Kreatif)

Persatuan, bahu membahu dan gotong royong menjadi tajuk gerakan solidaritas menghadapi pandemi Corona. Pilihan kata yang indah untuk didengar, bermakna mendalam, tetapi ternyata sulit diterapkan. Karena, semua itu butuh kesadaran, keikhlasan, kepedulian, dan kepekaan dari semua pihak, guna mencapai tujuan bersama. 

Bersama menghadapi wabah Corona, berarti bersama melawan wabah ini. Social distancing merupakan upaya jangka pendek untuk memperlambat penularan, menjadi upaya melandaikan kurva. Meski, data laju penurunan kasus virus yang klaim pemerintah masih diragukan oleh Tim Peneliti Eijkman-Oxford Clinical Research Unit (EOCRU). Karena hingga saat ini pemerintah belum menampilkan kurva epidemi. (theconversation, 8/5/20)

Meski virus Corona makhluk yang sangat kecil, tak terlihat nyata. Namun, dampak yang ditimbulkan wabah ini terbilang dahsyat. Kesengsaraan dan penderitaan rakyat telah terasa, disebabkan penanganan wabah sistem sekuler-kapitalis yang diterapkan pemimpin negara. Konfirmasi kasus penularan, hingga laju kematian menghadirkan situasi dramatis.  Korban terus bertambah, saat ini total jumlah kasus virus Corona.di seluruh dunia tercatat sebanyak 4,88 juta kasus. (kompas.com, 19/05/2020)

Dalam perang melawan virus Corona, kita dihantui banyak ketidakpastian. Segudang ketidaktahuan. Kepanikan kolektif terus meningkat. Kapan pandemi ini akan berakhir? Bagaimana kehidupan kita setelah ini berakhir?

Setelah seluruh aktivitas dialihkan demi keselamatan. Bekerja, belajar dan ibadah di rumah mencegah penyebaran. Jalanan yang sebelumnya sepi, mendadak mulai bising. Memilih diksi-diksi aneh nan membingungkan, mulai dari perbedaan mudik dan pulang kampung, ajakan untuk berdamai hingga hidup berdampingan, digaungkan. Bahkan, diksi “new normal” dimaknai sebagai kemampuan kita beradaptasi hidup di tengah wabah.

Padahal, virus terus mengembangkan kemampuan bermutasi, menciptakan jenis yang lebih mematikan, entah jenis virus mana di negeri ini. Berharap pada vaksin dan obat penawar? Jelas, membutuhkan proses yang panjang dan waktu yang tidak sebentar. 

Pandemi hadir sebagai kejadian yang tidak pernah diduga, tetapi mampu menyingkap perlakuan penguasa pada rakyatnya. Terlihat jelas, sebagian kebijakan dikonstruksi dengan fondasi untung rugi, begitulah cara berpikir sekuler-kapitalis. Apa boleh mengatakan bahwa mereka yang duduk di kursi jabatan tidak cukup cakap mengatasi persoalan ini atau mungkin tidak memiliki komitmen yang tinggi menghadapi wabah ini? Wallahu a'alam. Seleksi alam, solusinya? Menuju Herd Imunity? Sungguh, solusi yang tidak manusiawi.

Perjalanan mudik dilarang, tetapi bandara penuh sesak. Anjuran ibadah di rumah, tetapi mall dan pasar kembali berdenyut. Keputusan PSBB, tetapi interaksi massal terjadi, konser diizinkan, bahkan rela berjejal hanya demi bernostalgia di restoran cepat saji. Kebal dan bebal?

Ke mana harus mengadu? Siapa yang mau mendengarkan curahan hati kami? Sedangkan, pemilik wewenang  seakan tak peduli. Kepedulian dan keberpihakan mereka pada kami belum terlihat jelas. Beragam kebijakan plin plan dan tanpa koordinasi sering dipertontonkan, kebijakan blunder bin ngawur kerap dilakukan. Bahkan, tega menyakiti rakyatnya demi korporasi, asing dan aseng melalui pengesahan UU Minerba, kenaikan iuran BPJS, harga BBM yang tak kunjung turun dan TKA diperkerjakan di saat rakyat banyak di PHK.

Serba salah, bingung, ketika kami mengkritik karena peduli disamakan dengan makar, memberi usulan dikatakan selalu mencari kesalahan, menasihati dituduh membenci. Lantas, apa pilihan terakhirnya? Indonesia Terserah!

Hastag Indonesia Terserah  menggema di jagat media sosial. Tenaga medis mulai bersuara, mencurahkan isi hati. Mereka garda terdepan, berkoran demi   kemanusiaan. Terikat sumpah profesi dan kode etik profesional, tak dapat mundur ke belakang. Kecewa, jengah, lelah, campur aduk melihat tingkah polah masyarakat yang ngeyel, pembiaran dan terkesan abainya pemerintah atas rakyatnya. Hal ini sama dengan apa yang dirasakan oleh sebagian orang yang masih punya akal sehat dan nurani.

Apa jadinya jika tenaga media menyerah? Kita tidak berharap mengibarkan bendera putih, lantas disusul bendera kuning di setiap rumah. Beginilah, nasib rakyat yang dipimpin dengan berbagai kebijakan yang mencla-mencle.

Hastag Indonesia Terserah memberi isyarat, bahwa keputusan konyol berspekulasi dengan bahaya, satire bagi kegagalan pengelolaan urusan publik dan harta, tidak adanya jaminan keamanan dan keselamatan,  kekecewaan melihat pengabaian publik dan pemerintah, hingga hilangnya rasa empati dan saling menjaga yang tersisa egoisme. Hal ini, disebabkan oleh paradigma  yang salah di dalam penanganan wabah ini. Paradigma sekuler-kapitalis merupakan sistem rapuh, rusak, invalid, gagal, dan tidak layak dijadikan solusi, karena tidak akan mampu menyelesaikan masalah dan tidak sesuai dengan fitrah manusia. Hanya menghasilkan solusi semu. Allah ﷻ berfirman:

مَثَلُ ٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُوا۟ مِن دُونِ ٱللَّهِ أَوْلِيَآءَ كَمَثَلِ ٱلْعَنكَبُوتِ ٱتَّخَذَتْ بَيْتًا ۖ وَإِنَّ أَوْهَنَ ٱلْبُيُوتِ لَبَيْتُ ٱلْعَنكَبُوتِ ۖ لَوْ كَانُوا۟ يَعْلَمُونَ



Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (Qs. Al-‘Ankabut Ayat 41)

Ini sebagai bentuk penyadaran, bahwa kita butuh paradigma yang benar, yaitu sistem Islam. Solusi hakiki yang berasal dari Sang Pemilik Kehidupan, yang mampu memanusiakan manusia. Di dalamnya terdapat seperangkat aturan yang mengatur segala bentuk interaksi antar sesama manusia, seperti sistem sosial, ekonomi, politik, pemerintahan, keuangan, muamalah, dan sebagainya. Islam memiliki sistem pemerintahan yang khas, yaitu khilafah.

Khilafah hadir sebagai pelaksana syariat Islam secara totalitas (Kaffah) di setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sistem pemerintahan Islam (khilafah), berbeda dengan semua bentuk sistem pemerintahan yang dianut negara di dunia.  Perbedaannya terletak dari segi : asas dasarnya, pemikiran, pemahaman, maqāyīs (standar), serta hukum-hukum yang digunakan untuk mengatur berbagai urusan,  konstitusi dan undang-undang yang dilegislasi untuk diimplementasikan dan diterapkan, serta bentuk negara yang mencerminkan Daulah Islam. Negara independen, yang mampu menyejahterakan rakyatnya, tanpa tergantung pada negara asing. 

Khilafah akan siap dan sigap mengantisipasi berbagai situasi, termasuk wabah penyakit. Hal tersebut merupakan kewajiban negara sebagai bagian dari ri’ayah-nya terhadap rakyat. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya: “ Imam/ khalifah/ kepala negara adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas pengurusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari). 

Khalifah akan menerapkan beberapa mekanisme standar pencegahan penyebaran wabah sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat, di antaranya menjaga kebersihan diri, dilarang masuk ke wilayah wabah dan keluar dari wilayah wabah (lockdown) serta berusaha menghindari wabah dengan tidak berkerumun. Rasulullah ﷺ bersabda,

فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ، فَلاَ تَقْدَمُوا عَلَيْهِ، وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ، وَأَنْتُمْ بِهَا فَلاَ تَخْرُجُوا، فِرَارًا مِنْهُ
Artinya: "Jika kalian mendengar tentang thoún di suatu tempat maka janganlah mendatanginya, dan jika mewabah di suatu tempat sementara kalian berada di situ maka janganlah keluar karena lari dari thoún tersebut." (HR Bukhari)

Dan juga, anjuran untuk isolasi bagi yang sedang sakit dengan yang sehat agar penyakit yang dialaminya tidak menular kepada yang lain. Dari sahabat mulia radhiyallahu’ anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,
 “Janganlah yang sakit dicampurbaurkan dengan yang sehat.” (HR Bukhari dan Muslim)

Seorang khalifah pun harus memikirkan, apa kebijakan ekonomi yang akan ditempuh?. Sebab, penyebaran virus Corona pastilah berdampak pada penurunan ekonomi. Kebijakan ekonomi dalam Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan politik pemerintahan. Kebijakan ekonomi yang ditempuh saat wabah, di antaranya: (1) Jika wabah berada di wilayah khilafah, khalifah memastikan ketersediaan dan pendistribusian kebutuhan vital pada zona merah (wilayah isolasi), seperti kebutuhan pangan, minuman, alat kesehatan pribadi (masker, hand sanitizer, dan lain-lain), asupan bergizi penguat daya tahan tubuh, pelayanan kesehatan (tersedianya rumah sakit, tenaga medis, obat-obatan, alat kesehatan, APD, dan lain-lain), layanan pengurusan jenazah (ambulance, plastik pembungkus jenazah, dan lain-lain), (2) Membiayai penyuluhan atau edukasi tentang wabah pada rakyat di luar wilayah wabah (pengecekan virus secara gratis, penyemprotan disinfektan, dan lain-lain), (3) Melarang dan pemberian sanksi pada praktik penimbunan (ihtikar), (4) Pendistribusian harta dan kepemilikan harta sesuai aturan syariat (5)  tidak mengimpor barang kebutuhan primer (sembako, dan lain-lain), (6) Membiayai riset dan teknologi guna menemukan penyebab penyakit, alat kedokteran dan vaksin, (7) Ikut memberikan bantuan pada negara lain yang terkena wabah.

Selanjutnya, khilafah memiliki sistem keuangan guna mengatur pemasukan dan pengeluaran negara demi kesejahteraan rakyatnya. Sumber pendanaan untuk mengatasi wabah berasal dari kas Baitul mal. Dana dikeluarkan dari Baitul mal masuk dalam dua seksi: Pertama, Seksi Mashalih ad Daulah, khususnya Biro Mashalih ad Daulah. Kedua, Seksi Urusan Darurat/ Bencana Alam (Ath Thawari), yang memberikan bantuan kepada rakyat yang tertimpa musibah. Sumber dana diperoleh dari pendapatan fai’ dan kharaj. Apabila tidak terdapat harta dalam kedua pos tersebut, maka kebutuhannya dibiayai dari harta kaum muslim (sumbangan sukarela atau pajak).

Demikianlah gambaran khilafah jika menghadapi wabah penyakit. Dengan kebijakan tersebut, secara cepat dan efektif akan memutus rantai penyebaran virus dan mengoptimalkan upaya penyembuhan dan perawatan pasien. Lantas, masihkah kita membiarkan penanganan wabah ini dengan sistem sekuler-kapitalis?. Tentu tidak, karena membiarkan penanganan wabah ini tetap berjalan dengan sistem sekuler-kapitalis adalah sebuah konspirasi sistematis untuk memperpanjang peradaban sekuler-kapitalis yang rusak, sehingga menyebabkan menunda kembalinya peradaban Islam.  Hanya sistem Islam yang mampu mengatasi problematika umat dan menghilangkan kesengsaraan umat serta membawa keberkahan dari langit dan bumi.

Wallâh alam bi ash-shawâb.

Post a Comment

Previous Post Next Post