Tangani Corona, Negara Tak Punya Dana?

Oleh : Ummu Khansa 
(Muslimah Bangka Belitung)

Pandemi virus Corona di Indonesia masih terus berlanjut. Korban yang terinfeksi dan meninggal dunia pun semakin bertambah. Virus yang diduga berasal dari Wuhan, China ini tidak saja banyak memakan korban jiwa, namun tentu juga membutuhkan banyak dana untuk penanggulangannya. Pemerintah pun diminta untuk segera mengalokasikan anggaran besar untuk mengatasi wabah virus ini. 

Ketua Dewan Pengurus LP3ES Didik J. Rachbini dan Peneliti LP3ES Fachru Nofrian,  mengatakan instrumen APBN sangat penting dalam menangani dampak virus ini. Mereka menilai sejauh ini pemerintah ragu dan maju mundur dalam mengalokasikan dana APBN untuk menangani virus Corona. Alokasi dana yang terus berubah mencerminkan kebijakan yang lemah dari pemerintah. (detik.com).

Kepemimpinan di DPR juga disebut mengalami kebingungan karena minim interaksi. Padahal menurut mereka di tangan DPR ada sumber daya yang besar untuk membantu rakyat yang sedang kesusahan terhantam virus Corona. Sudah saatnya alokasi anggaran harus melibatkan DPR dalam skala khusus dan besar. Mereka meminta pemerintah dan DPR memutuskan dengan tegas untuk memangkas anggaran hingga 20 persen, kemudian dialihkan untuk membantu masyarakat miskin, pekerja sektor informal, industri mikro, dan penanganan virus Corona lainnya. Selain itu, proyek besar strategis nasional yang menelan anggaran besar harus dibatalkan atau ditunda demi penghematan. 

Senada dengan hal itu, Wakil Ketua Policy Center Ikatan Alumni Universitas Indonesia Harryadin Mahardika, mengatakan pemerintah harus jujur terkait anggaran untuk memerangi Covid-19. Seperti Amerika Serikat, Italia, Denmark yang menggelontorkan dana hingga miliaran dollar AS. Menurutnya, pemerintah bisa menggunakan berbagai sumber keuangan untuk mendapatkan dana segar, seperti dengan menerbitkan Surat Utang Negara. Dalam keadaan darurat seperti sekarang, pemerintah bisa mengeluarkannya dan kemudian Bank Indonesia bisa membelinya.

Selain itu, sumber dana lainnya yakni relokasi anggaran di kementerian lembaga hingga pemerintah daerah dan anggaran dari bendahara umum negara. Presiden punya kewenangan penuh mengalokasikannya karena kondisi darurat. Selanjutnya dana ini juga harus dialokasikan untuk bantuan tunai kepada masyarakat yang menjadi pekerja harian karena kebijakan physical distancing atau bahkan kalau ada lockdown. Karena itu, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk menunda dan tidak mengambil keputusan cepat atas wabah yang terus meluas dan memakan jumlah korban jiwa ini. (vivanews.com).

Sementara itu, merebaknya virus Corona juga membuat prospek perekonomian Indonesia melambat. Beberapa sektor sudah terpukul. Karenanya, anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun meminta pemerintah mengambil kebijakan alternatif untuk melindungi perekonomian rakyat kecil. Beliau juga meminta Presiden Jokowi segera mengeluarkan bantuan langsung bagi para petani, buruh sektor perkebunan dan nelayan. Menurutnya, saat ini mereka memerlukan perlakuan khusus.

Lain lagi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mengatakan pemerintah berencana membuka rekening khusus untuk menampung donasi dari para pelaku usaha guna membantu penanganan virus Corona di Indonesia. Nantinya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai gugus tugas yang akan mengelola rekening tersebut. Menurutnya, pemerintah sebetulnya siap untuk mendukung meringankan beban APBN pemerintah. (merdeka.com).

Pertanyaannya, mengapa pemerintah sampai membuka donasi untuk menangani wabah ini? Apakah anggaran yang ada tidak memadai? Jika memang tidak, lantas mengapa rencana pembangunan ibukota negara baru tetap berlanjut di tengah situasi darurat sekarang ini? Bukankah juga menelan biaya yang sangat tinggi?.

Padahal, pemerintah sudah dua kali menyatakan sikap, menegaskan kepada publik tidak akan mengambil sikap lockdown. Bahkan solusi social distancing, herd immunity, dan semprot desinfektan disampaikan sebagai langkah-langkah alternatif yang bisa dilakukan masyarakat. Lalu untuk apa buka donasi? Ya, memang begini ketika sistem kapitalisme sudah membelenggu negeri. Rakyat pun dijadikan sebagai objek ekonomi, memperhitungkan untung rugi. Semestinya penyediaan sarana dan prasarana kesehatan, pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat merupakan kewajiban negara.

Melihat kondisi ini, nampak jelas tanggung jawab negara telah diserahkan pada individu. Mereka harus berjuang sendiri menghadapi pandemi Corona ini tanpa ada kejelasan penanganan yang pasti. Sungguh ironi. Penguasa negeri seolah berlepas tangan dari masalah ini.

Dana yang dimiliki pemerintah sebenarnya masih cukup untuk menangani wabah ini. Dengan catatan, jika anggaran yang ada benar-benar dikelola sebagaimana mestinya.  Tidak perlu lagi membuka donasi apalagi jika harus berhutang ke IMF atau World Bank. Hutang yang ada sekarang saja begitu fantastis jumlahnya. Sudah pasti jika kembali berhutang, kita akan terjebak pada bantuan IMF dan World Bank yang sering mengikat pada kebijakan dan policy ekonomi dan politik Indonesia di masa depan. Dengan memanfaatkan berbagai sumber keuangan yang ada seperti dana pungutan ekspor sawit (levy) di Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), dana lingkungan hidup di Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), dana riset perguruan tinggi, dana dari Surat Utang Negara (SUN) dan dana lainnya dinilai cukup untuk menangani wabah ini. Namun, lagi-lagi pemerintah masih memikirkan untung dan rugi. Mereka lebih mementingkan material ekonomi daripada kesehatan dan nyawa rakyatnya.

Membuka donasi seolah pengakuan tidak langsung dari pemerintah bahwa sejatinya dana untuk penanggulangan pandemi Corona ini memang tidak memadai. Bisa dikatakan sudah krisis ekonomi. Bagaimana tidak? Untuk menanggulangi dampak ekonomi akibat pandemi Corona ini, pemerintah harus merogoh kantong lebih dalam lagi untuk memberikan bantuan langsung tunai kepada 89 juta jiwa, insentif tenaga medis, serta biaya lainnya.

Lain halnya dengan Islam. Dalam Islam, pelayanan kesehatan merupakan kebutuhan dasar masyarakat yg harus dipenuhi negara secara cuma-cuma yang dibiayai dari Baitul Mal (kas negara). Jika terjadi krisis ekonomi, Islam memandang bahwa ia adalah sunnatullah, yang bisa saja dialami oleh sebuah negara. Namun Islam, telah menuntun bagaimana krisis ekonomi yang hebat tersebut dapat diatasi dengan baik dan cepat.

Islam memandang bahwa Khalifah sebagai pemimpin kaum Muslim di seluruh dunia, memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengurusi urusan umat. Rasulullah bersabda :
"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Al Bukhari).

Sebagai contoh, ketika Khalifah Umar bin Khattab r.a menangani paceklik yang menimpa jazirah Arab. Kepemimpinannya mampu mengajarkan kita bagaimana dan apa yang harus dilakukan agar itu tidak terjadi tanpa harus mengorbankan kepentingan rakyat. Di saat krisis, beliau yang pertama kali merasakan derita dibanding rakyatnya. Umar memilih untuk tidak bergaya hidup mewah, makan seadanya. Bahkan kadarnya sama dengan rakyat yang paling miskin atau bahkan lebih rendah lagi. Dengan begitu beliau bisa merasakan betul bagaimana penderitaan yang dialami rakyatnya.

Pada tahun kelabu (masa krisis) bangsa Arab dari berbagai penjuru datang ke Madinah untuk meminta bantuan pangan. Khalifah Umar pun menugaskan beberapa orang (jajarannya) untuk menangani mereka. Mereka ditugaskan untuk menghitung orang-orang yang datang. Ternyata berjumlah 70 ribu orang. Jumlah orang-orang sakit dan yang memerlukan bantuan sebanyak 4 ribu orang. Selang beberapa hari, jumlah mereka mencapai 60 ribu orang. Saat hujan turun, beliau menugaskan orang-orang untuk mengantarkan mereka ke perkampungan dan memberi mereka makanan dan pakaian. Banyak terjadi kematian di tengah-tengah mereka.

Dengan situasi dan kondisi saat peralatan dan sarana prasarana tidak semodern sekarang, beliau harus mengurus, mengelola dan mencukupi rakyatnya yang terkena dampak krisis ini. Kerja berat dilakukan dan dilalui oleh Umar sebagai bentuk tanggung jawabnya melayani urusan rakyatnya. Dapat kita lihat bagaimana beliau membagi tugas kepada para perangkat negara hingga level pekerja, bahu-membahu dan sigap menyelesaikan persoalan yang ada. Beliau langsung turun tangan menangani krisis tersebut. Beliau juga yang memerintahkan mendirikan posko untuk para pengungsi, memastikan setiap petugas memahami pekerjaan yang dilimpahkan dengan benar tanpa kekurangan secara langsung dan tidak mengerjakan pekerjaan petugas lain yang diberikan pada yang lain.

Ketika menangani krisis, bisa jadi pemerintah pusat tidak mampu menopang seluruh pembiayaan dan kebutuhan yang ada. Ini adalah hal yang lumrah. Bisa jadi karena kondisi kas keuangan dan faktor lain yang tidak mencukupi. Seperti yang pernah dialami pada masa Khalifah Umar. 

Tatkala menghadapi situasi tersebut, langkah yang beliau lakukan adalah dengan meminta bantuan ke wilayah atau daerah bagian kekhilafahan Islam yang kaya dan mampu memberikan bantuan. Ketika melihat kondisi keuangan Baitul Mal tidak mencukupi penanggulangan krisis, beliau segera mengirim surat kepada gubernurnya di berbagai daerah kaya untuk meminta bantuan. Gubernur Mesir, Amru bin al-'Ash mengirim seribu unta yang membawa tepung melalui jalan darat dan mengirim 20 perahu yang membawa tepung dan minyak melalui jalur laut, serta mengirim 5 ribu pakaian kepada Khalifah Umar. Begitu pun gubernur lainnya di Syam, Irak, Persia semuanya mengirim bantuan. Ini menunjukkan kesigapan pemimpin kaum Muslim dalam menangani krisis. Tidak hanya makanan, pakaian, bahkan obat-obatan pun mereka kirimkan. Umar pun memastikan semua bantuan yang dikirimkan ini tersalurkan. Bahkan diceritakan para korban krisis mendapat bantuan sebanyak apa yang dibawa oleh satu unta. Bayangkan betapa banyak bantuan yang mereka dapatkan.

Demikianlah, penanganan krisis yang totalitas oleh Khalifah. Kekurangan dana dalam menangani masalah kesehatan pun tidak lagi dikhawatirkan. Walhasil, kesehatan masyarakat pun terjamin. Tentu semua itu dapat dilaksanakan dalam naungan negara yang menerapkan Islam secara kaffah saja. Yang membawa keberkahan bagi seluruh alam semesta.
Wallahu a'lam bish shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post