Oligarki di Balik Penanganan Covid-19, Ciptakan Kesenjangan Menganga



Oleh : Elfia Prihastuti
Praktisi Pendidikan dan Member AMK

Penanganan pandemi Covid-19 yang membutuhkan dana tak terhingga di saat APBN defisit, membuat pemerintah memutar otak dan memeras keringat mengupayakan tersedianya dana tersebut. 

Entah kemana hilangnya rasa empati, hingga pemikiran itu berhenti pada salah satu kebijakan memangkas gaji guru guna menangani wabah Corona. Seperti dilansir oleh cnnindonesia.com (14/04/2020), Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, memprotes langkah pemerintah yang memotong tunjangan guru hingga Rp3,3 triliun lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020.

Dalam lampiran Perpres Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, dia membeberkan, tunjangan guru setidaknya dipotong pada tiga komponen, yakni tunjangan profesi guru PNS daerah dari yang semula Rp53,8 triliun menjadi Rp50,8 triliun, kemudian penghasilan guru PNS daerah dipotong dari semula Rp698,3 triliun menjadi Rp454,2 triliun.

Terakhir, lanjutnya, pemotongan dilakukan terhadap tunjangan khusus guru PNS daerah di daerah khusus, dari semula Rp2,06 triliun menjadi Rp1,98 triliun.

Tidak cukup di sini, pemerintah juga membidik dana haji. Komisi VIII DPR RI merestui Kementerian Agama (Kemenag) untuk melakukan realokasi anggaran penyelenggaraan ibadah haji untuk penanganan virus Corona (Covid-19).

Saat membacakan simpulan rapat, Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto, mengatakan dana yang direalokasi hanya yang bersumber dari anggaran penerimaan dan belanja negara (APBN).

"Anggaran penyelenggaraan ibadah haji yang bersumber dari APBN Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah dapat direalokasikan untuk mendukung percepatan penanganan dan wabah dampak wabah Covid-19 yang bentuk penggunaannya akan dibahas kemudian," kata Yandri dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VIII DPR RI bersama Kemenag, Rabu (15/4).

Lebih dari itu, pemerintah juga memar'ab dana 
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dan Sri Mulyani juga berencana menggunakan seluruh dana abadi negara, sebagaimana dikutip Bisnis.com, "Kami akan pertimbangkan menggunakan seluruh dana abadi pemerintah,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rapat virtual bersama Komisi Keuangan DPR di Jakarta, Senin (6/4/2020).

Mengapa anggaran yang dibutuhkan rakyat yang harus dipangkas, sedang anggaran untuk pindah ibukota sebesar 2 triliun dan infrastruktur sebesar 419,2 triliun yang masih bisa ditunda penggunaannya nyaris tak tersentuh.

Sementara itu, salah satu pengalokasian penanganan Covid-19 adalah progam kartu prakerja. Program ini banyak menuai polemik, disebabkan 8 perusahaan mitra  yang ditunjuk pemerintah untuk menjadi penyelenggara pelatihan online Kartu Prakerja untuk tahun ini di antaranya RuangGuru, Tokopedia, Bukalapak, MauBelajarApa, HarukaEdu, PijarMahir, Sekolah.mu dan Sisnaker tidak melalui tander.

Hebohnya lagi salah satu penyelenggara program prakerja, RuangGuru dikaitkan dengan Stafsus Milenial Presiden, Adamas Belva Syah Devara, yang juga sebagai CEO RuangGuru. Walaupun berujung pada pengunduran diri Belva karena menuai polemik. Banyak yang menilai bahwa hal ini penuh dengan konflik kepentingan. Dan usut punya usut ternyata pemegang saham terbesar RuangGuru adalah perusahaan asal Singapura dan nama Belva tak tercantum dalam daftar pemegang saham. 

Fakta-fakta tersebut menjelaskan kepada kita, betapa sulit memungkiri bahwa aroma oligarki kekuasaan merebak di masa pemerintahan saat ini. Dari masa pemerintahan jilid 1 hingga jilid 2 oligarki kekuasaan begitu kental terendus pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan.

Bagi-bagi kue kekuasaan di kursi kabinet, cepatnya proses pengesahan revisi Undang-undang Komisi  Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Undang-undang di tengah protes keras KPK dan masyarakat anti korupsi,  pengangkatan Stafsus Milenial Presiden yang sebagian besar pendukung di Pilpres 2019 dan kebijakan lainnya menunjukkan fakta telanjang yang memperkuat nuansa oligarki.

Dalam sistem demokrasi kapitalis seorang pemimpin sangat mustahil menghindari jebakan oligarki. Harga kursi kekuasaan yang mahal serta upaya   mempertahankannya, akan membuka peluang negosiasi dengan pihak-pihak yang mampu mewujudkan eksistensi kepemimpinannya. Maka, saat itulah ia mulai tersandera oleh kepentingan kelompok yang mendukung kekuasaannya. Sedang rakyat yang telah memberikan aspirasinya yang menghantarkan pada kursi kekuasaan secara perlahan akan ditinggalkan. Jika terjadi tuntutan bergejolak, janji manis dan pemenuhan sekadarnya menjadi senjata peredamnya.

Tak pelak, keberpihakan pemerintah terhadap para korporasi menciptakan kesenjangan menganga di tengah masyarakat. Misalnya saja program kartu prakerja. Insentif yang dijanjikan pemerintah ternyata harus dipindah tangan pada pihak penyelenggara pelatihan kerja yang ditunjuk pemerintah. Karena insentif tersebut ditujukan untuk pembiayaan pelatihan. Lantas siapa yang untung dan rakyat dapat apa? Padahal dari fakta kualitas pelatihan dan kondisi yang terjadi saat ini, program pengentasan pengangguran ini tak menjamin bisa memberi manfaat.

Aroma kepentingan oligarki kekuasaan terasa mengental saat kita semua menyadari, bahwa sebenarnya negeri ini memiliki instrumen untuk mengatasi wabah berupa UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU Nomor 4 Tahun 1988 tentang wabah dan penyakit menular, dan UU Nomor 6 tahun 2018 tentang karantina. 

Fokus permasalahan yang dihadapi negeri ini sebenarnya adalah wabah. Mengapa malah sibuk dengan penanganan ekonomi? Padahal jika wabah teratasi, ekonomi pun akan segera menggeliat.

Berbeda dengan sistem Islam, seluruh kebijakan yang diambil ditujukan untuk kemaslahatan umat. Maka, pemimpin akan bertindak sebagai pelayan yang mengurus segala kebutuhan umat. 

Di tengah pandemi wabah Corona saat ini tentu penguasa akan fokus pada keselamatan nyawa rakyat. Upaya-upaya pencegahan efektif, dan pengadaan sarana yang mempercepat penanganan wabah akan dilakukan. Penelitian demi terciptanya vaksin, pengecekan kesehatan, penyediaan APD dan yang lainnya. Juga jaminan kebutuhan masyarakat selama karantina diberlakukan.

Anggaran diambil dari kepemilikan umum yang bersumber dari pengelolaan SDA oleh negara. Juga dari dana fa'i dan kharaj. Jika tak mencukupi pemerintah dapat memungut dharibah (pajak) pada orang-orang kaya.

Mengingat fakta kekayaan alam negeri ini melimpah, dengan pengelolaan yang benar hasil dari   kepemilikan umum akan lebih dari cukup untuk penanganan wabah.

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post