Nikmat Manalagi Yang Kamu Dustakan?

Oleh : Muslihah, S. Psi

Setelah tiga pekan dari akad nikah, Lia dan suaminya pamit kepada orangtuanya untuk menempati rumah kontrakan.Mereka melakukan itu agar bisa lebih mandiri dan lebih dekat dengan tempat kerja Hasan, suami Lia. 

Hasan cukup disiplin dalam melaksanakan sholat fardlu, meski dalam masalah ilmu agama bisa dibilang sangat kurang. Setiap mendengar adzan ia segera mengambil air wudlu lalu pergi ke masjid untuk berjamaah. Meski dalam perjalanan sekalipun, jika mendengar adzan akan segera membelokkan motornya ke masjid terdekat.

Seminggu sesudah mereka menempati rumah kontrakan, tepat sebulan usai akad nikah,  Hasan pulang terlambat. Biasanya pulang sekitar jam tiga sore. Hari itu sampai matahari terbenam dan terdengar kumandang adzan Maghrib belum juga pulang.

Lia gelisah menanti. Berulang kali ia ke jalan depan rumah, berharap mendapati sosok suaminya. Setiap ada motor lewat berharap itu motor yang dikendarai suaminya. Hingga adzan Isya berkumandang, suaminya belum juga pulang.

Dalam sholat ia panjatkan doa, semoga suaminya baik-baik saja. Selesai sholat ia menengadahkan tangan dan berdoa
"Ya Allah kutitipkan suamiku kepadaMu, lindungi ia dari marabahaya. Kuatkan hatiku menerima semuanya. Aamiin".

Lelah menanti kedatangan suami, Lia menyibukkan diri dengan membaca Al Quran di dalam kamar tidurnya. Sampai ia mendengar suara pintu kamar terbuka,  didapatinya sang suami dengan wajah kusut.

"Assalamualaikum," ucapnya
"Wa alaykumussalam," jawab Lia sambil meletakkan Al Quran di atas rak.

"Kok aku tidak mendengar suara motor?" tanya Lia sambil membantu suaminya membuka kancing baju.  Selesai membuka baju Hasan membanting tubuhnya ke kasur, sementara kaki masih menjuntai di lantai.

"Motorku hilang," desahnya.

"Bagaimana ceritanya?" tanya Lia terkejut. 

"Tadi saat mendengar adzan Asar aku mampir di masjid untuk sholat, saat rokaat kedua seakan motor itu tak kukunci. Seusai salam ternyata kudapati kunci ada di saku.  Sampai tempat parkir, motor sudah tak ada"

Lia bisa melihat betapa Hasan sangat terpukul, motor itu satu-satunya harta berharga yang dimiliki.

"Sudahlah, Mas, yang sabar, ya! Tapi mengapa sampai rumah selarut ini?"

"Ya, aku ke kantor polisi, melaporkan hal ini. Polisi banyak bertanya ini itu, selesai Maghrib, tentu aku sholat dulu baru kemudian naik angkot pulang"

"Ya, ini ujian, Mas. Semua yang kita punya adalah titipan Allah, saat ini Allah mengambilnya. Yang sabar, ya! Allah akan memberi yang lebih baik, in syaa Allah," Lia berucap dengan lembut, tak lupa mencium pipi suaminya. 

Hasan diam mendengarkan meski sebenarnya ia belum faham benar apa yang dikatakan istrinya. Tapi ciuman Lia membikin hatinya lebih tenang. 

********
Sepuluh tahun kemudian mereka sudah punya rumah sendiri, meski bukan rumah mewah. Mempunyai tiga anak yang lucu, cantik dan ganteng. Selama sepuluh tahun itu pula Hasan banyak belajar dari istrinya, tentang bagaimana menyikapi qodlo Allah yang sering dirasa sulit baginya. 

Ia merasa beruntung punya istri yang tak banyak mengeluh, tapi malah banyak menasehati. Mengingatkan bahwa harta itu titipan Ilahi. Yang tak akan dibawa mati. Bekerja itu perintah Allah, rezeki itu pemberian Allah. Jadi kalau dikasih rezeki ya dipakai di jalan Allah. Karena kelak akan ditanya darimana mendapatkan dan kemana menghabiskannya.

"Jantungku serasa berhenti saat motor itu tadi lewat," kata Hasan. Mereka sedang santai di teras rumah, saat ada sebuah motor melintas.

"Emang mengapa?" tanya Lia polos.

"Persis motorku yang hilang dulu," kata Hasan sambil mengangkat cangkir kopi.

"Mas, motor itu sudah sepuluh tahun lalu, dan sekarang sudah diganti oleh Allah, banyak hal. Coba kita renungkan, kini Mas punya rumah sendiri, tidak mengontrak lagi. Mas punya anak yang sehat, cantik dan ganteng, tak ada yang cacat sama sekali. Mas juga punya motor yang bisa dipakai ke kantor. Iya meski tak sebagus dulu. Coba kurang banyak bagaimana pemberian Allah?" istrinya bicara dengan lembut  panjang lebar.

Dalam keadaan demikian Hasan diam mendengarkan celoteh istrinya sampai selesai. Dalam hati ia membenarkan semua yang dikatakan istrinya.

"Ya, nikmat mana lagi yang kau dustakan, wahai Hasan," katanya dalam hati. Mensyukuri kecerewetan istri yang tidak bisa dipungkiri, tepat sasaran,  mak jleb dalam hati sambil nyeruput kopi.

Post a Comment

Previous Post Next Post