Kebijakan PSBB dan Darurat Sipil Tidak Menguntungkan Rakyat


Oleh : Erni Ummu Hamzah
(Pemerhati Kebijakan Publik)

Di tengah mewabahnya virus corona yang semakin tidak terkendali. Kini masyarakat dipenuhi dengan berbagai perasaan yang tidak menentu. Semenjak virus ini ditetapkan sebagai pandemik oleh WHO, banyak negara yang kemudian mengambil kebijakan lockdown untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Namun, tidak dengan Indonesiaku, penanganan pemerintah dalam menyikapi pandemik ini terasa sangat lambat. Sehingga membuat masyarakat dilingkupi rasa takut dan cemas, karena  penularan virus ini bersifat masif, bahkan bisa ditularkan oleh penderita yang tidak bergejala, sehingga dalam keadaan merasa sehat ia akan bebas berinteraksi dan menularkannya kepada orang lain.

Kebijakan pemerintah untuk tidak mengunci interaksi di masyarakat, dan lebih memilih PSBB, bukan karena pemerintah tidak memiliki dana untuk membiayai masyarakat dalam masa lockdown, tetapi karena dalam pengambilan keputusan, pemerintah lebih mengutamakan aspek untung dan rugi, ketimbang nyawa dan keselamatan rakyatnya. 

Belum reda rasa takut dan cemas yang menyelimuti masyarakat, kini perasaan khawatir juga dirasakan oleh sebagian besar masyarakat yang terdampak kebijakan PSBB, terutama mereka yang memiliki penghasilan harian. Banyak pegawai kantoran dan buruh harian yang dirumahkan tanpa  kompensasi dan banyaknya para  pedagang yang mengeluh karena menurunnya daya beli masyarakat, membuat sebagian besar masyarakat semakin sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Adanya jaring sosial yang dijanjikan oleh pemerintah sebesar Rp110 triliun, dari total anggaran untuk penanganan Covid-19 yang lebih dari Rp400 triliun, belum bisa dirasakan secara merata oleh masyarakat, karena sampai hari ini pemerintah masih terkendala sistem penyaluran dan pendataan. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, anggaran ini masih berbentuk gelondongan, karena pihaknya masih mencari data pekerja di sektor informal. “Data mengenai itu belum lengkap. Indonesia tidak seperti negara lain yang NIK-nya sudah lengkap,” ujar Sri Mulyani (1/4/2020).

Artinya bantuan dari pemerintah masih berupa konsep yang belum tuntas. Sementara kesulitan hidup di tengah masyarakat sudah dirasakan sejak lama. Ketakutan dan kekhawatiran masyarakat ini bisa dilerai manakala pemerintah sigap dan bertanggung jawab kepada rakyatnya. Namun, jauh dari harapan semua pihak, pemerintah malah mengeluarkan kebijakan yang berubah-ubah, simpang siur, aneh dan penuh dengan  kontroversi. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam menyelesaikan kasus corona. 

Salah satu kebijakan pemerintah yang kontroversi di tengah mewabahnya virus corona adalah, dibebaskannya 35 ribu narapidana dan akan diberlakukannya darurat sipil, manakala negara dalam keadaan bahaya. Dengan adanya fakta kesulitan hidup di tengah masyarakat yang terdampak Covid-19, serta pembebasan 35 ribu napi, sepertinya pemerintah memprediksi akan terjadinya kerusuhan, sehingga pemerintah mengantisipasi dengan diberlakukannya darurat sipil, berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

Mengingat dalam Pasal 1 disebutkan, bahwa status darurat sipil, darurat militer, hanya diumumkan oleh presiden atau panglima tertinggi angkatan perang yaitu apabila negara berada dalam keadaan bahaya, perang, terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam. Jadi penetapan darurat sipil dalam kondisi pandemik sangatlah tidak tepat. Pemerintah seolah tidak dapat membedakan mana pandemik dan mana keadaan yang mengancam keamanan negara.

Salah satu konsekuensi diterapkannya darurat sipil ini adalah, menambah sejumlah kewenangan kepada presiden sebagai penguasa darurat sipil pusat, dan kepala daerah sebagai penguasa darurat sipil daerah. “Penguasa Darurat Sipil Pusat berhak mengadakan segala peraturan-peraturan yang dianggap perlu untuk kepentingan ketertiban umum dan untuk kepentingan keamanan.” Klausul itu tercantum dalam Pasal 10 ayat 2 UU ini.

Jika dilihat dari beberapa pasal, penetapan darurat sipil dalam masa pandemik ini, berpotensi terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Dalam Pasal 13 dikatakan, “Penguasa Darurat Sipil berhak mengadakan peraturan-peraturan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apa pun juga, lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar-gambar”.

Dalam situasi sulit, dan minimnya perhatian negara, sangat mungkin akan banyak kritik dan ungkapan kekecewaan yang akan disampaikan oleh masyarakat, dengan berbagai cara, dan bisa dipastikan bahwa rakyatlah yang akan menjadi sasaran dari diterapkannya darurat sipil. Jadi maksudnya, yang mengancam keamanan negara adalah rakyat itu sendiri. Rakyat dalam keadaan lapar, cemas, kecewa, dan entah perasaan apalagi, kini terancam oleh UU yang ditetapkan pemerintah yang dipilihnya sendiri. Sangat miris.

Solusi Dalam Islam

Faktanya, sudah sangat jelas bahwa pemerintah tidak mampu mengurusi rakyatnya. Pemerintah seolah tidak memiliki konsep yang jelas dalam mengurusi masyarakat, terutama dalam keadaan sedang terjadi wabah penyakit. Ketidakmampuan ini karena sistem kapitalis yang diadopsi oleh negara kita memang tidak mampu menjawab dan menuntaskan masalah apa pun yang berkaitan dengan kemaslahatan umat. Sistem yang didominasi oleh para kapitalis, hanya mempertimbangkan aspek untung dan rugi. Sementara urusan kemaslahatan rakyat ada di urutan terakhir, itu pun mereka lakukan demi menjaga eksistensi mereka sebagai penguasa.

Berbeda jauh dengan ajaran Islam. Dimana kekuasaan dipandang sebagai sebuah amanah, yang akan dimintai pertanggungjawaban di sisi Allah Swt. Oleh karena itu, penguasa dalam sistem Islam akan sangat memperhatikan kemaslahatan umat. Terutama yang berkaitan dengan nyawa. Karena dalam ajaran Islam nyawa terkategori “al-Dharuriyat al Khamsyah” (lima hal primer yang wajib dipelihara). Setiap warga negara baik muslim ataupun non muslim, akan dilindungi keselamatan jiwanya oleh khalifah (kepala negara dalam sistem Islam). Allah berfirman dalam QS al-Maidah ayat 32 :

مَن قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعاً وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعاً

“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.”

Jadi dalam kondisi pandemik, sudah pasti khalifah akan mengambil kebijakan lockdown. Karena hal itu sudah dicontohkan pula oleh Rasulullah saw., dan para khalifah setelahnya. Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat dalam masa lockdown, sudah tercatat dalam sejarah peradaban Islam, bahwa perhatian pemerintah terhadap kebutuhan pokok masyarakat, sangat dirasakan oleh warga negara daulah, baik muslim maupun non muslim, baik di masa pandemik ataupun tidak. Karena pemenuhan kebutuhan pokok individu, berupa sandang, pangan, papan. Juga pemenuhan kebutuhan pokok publik seperti sekolah dan rumah sakit adalah kewajiban pemerintah.

Terlebih lagi dalam masa lockdown, khalifah secara pasti akan memenuhi setiap kebutuhan pokok masyarakat baik muslim maupun non muslim. Hal ini sudah terjadi pada masa kekhilafahan Umar bin Khattab, yang memberi makan setiap warga negara dalam masa lockdown. Dana yang dikeluarkan, diambil dari baitul mal (kas negara).

Namun, saat ini umat Islam tidak dipimpin oleh seorang khalifah yang menerapkan seluruh aturan Al-Qur’an dan Hadits.  Sehingga kezaliman demi kezaliman terus dirasakan oleh umat Islam dan juga non muslim. Namun, di tengah-tengah umat ini masih tersisa nilai-nilai ukhuwah, kecintaan dan kepedulian terhadap sesama, yang dirangkai oleh akidah Islam. Sehingga, tanpa menunggu komando dari penguasa, umat langsung bergerak menyalurkan bantuan apa pun
yang mereka punya, demi membantu saudaranya yang sedang kesusahan. Aktivitas lockdown juga dilakukan oleh umat, semata-mata dalam rangka melaksanakan perintah Rasulullah saw, untuk memisahkan orang yang sehat dengan orang yang sakit. 

Tak lupa, para ulama yang menjadi bagian dari umat Islam, senantiasa menyirami qolbu umat ini dengan anjuran lebih meningkatkan ketakwaan, tawakal dan rida dengan ketentuan dari Allah Swt.

Wallahu a’lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post