Saatnya Pulang Kampung



Oleh : Fadhliyah Ahfa
(Ibu Rumah Tangga)

Ramainya isu pulang "kampung vs mudik", membuat kita ingin kembali mempelajari bahasa Indonesia. Pasalnya hal ini mencuat usai wawancara pemimpin negeri ini, menyoal larangan mudik sebagai upaya pemutusan rantai penyebaran Covid-19, akan tetapi membolehkan pulang kampung kepada masyarakat.

Sekalipun, jika mudik yang dilarang, maka tetap pulang kampung akan berjalan seperti biasa. Mengingat masyarakat perkotaan di Indonesia banyak dihuni warga pendatang. Lantas, apakah hal ini akan menghentikan laju wabah? Kita sudah bisa menjawabnya sendiri.

Namun, tulisan ini bukan untuk membahas hal tersebut. Mendengar kata pulang kampung, penulis teringat akan ungkapan, "Sistem kapitalisme-sekuler dan sistem sosialis-komunis bukanlah habitat/kampung halaman seorang muslim. Kampung halamannya adalah sistem Islam atau disebut khilafah".

Disadari atau tidak, kaum muslimin hidup hampir satu abad lamanya di kampungnya kapitalisme-sekuler. Berharap hidup lebih baik pasca diruntuhkannya institusi khilafah oleh Mustafa Kemal Attarturk, 1924, nyatanya jauh panggang dari api. Hidup kaum muslim bagaikan ikan yang terkapar di daratan, sekarat! 

Kemuliaan yang mereka tawarkan, ternyata hanyalah fatamorgana. Semakin dikejar semakin terhina umat Muhammad. Hingga kaum muslim tak lagi ditakuti lawan, mereka mencabik-cabik kehormatan kaum muslimin, selalu menghinakan syariat Islam bahkan menjadikannya sebagai lelucon kaum kuffar penjajah.

Ramadan mubarak menyapa, seolah kembali mengingatkan kita arti sebuah kampung halaman yang sesungguhnya, khilafah. Terbukti khilafah pernah menguasai ⅔ dunia selama hampir 13 abad. Waktu yang sangat lama bagi umat Muhammad merasakan keagungan hukum dan syariat Islam dalam sebuah institusi.

Khilafah mampu menyejahterakan hidup manusia, bahkan orang kafir sekalipun. Semua kebutuhan primer terlayani dengan baik, rasa aman terjamin, darah dan kehormatan individu terjaga, bahkan di tengah wabah pun khilafah menjadi pengayom nomor wahid.

Ketika pemberlakuan karantina wilayah, khilafah benar-benar memastikan kebutuhan pokok warga terpenuhi dengan makruf. Bahkan tak ragu, khalifah menggelontorkan dana yang sangat besar dari kas Baitul Mal untuk mengcover pembiayaan selama wabah. Semuanya dilakukan dengan asas akidah Islam, bukan asas kepentingan materialis semata.

Khilafah juga laksana perisai (junnah) yang senantiasa melindungi warganya dari berbagai ancaman. Khalifah Umar bin Khattab pernah mengkritik kebijakan salah satu wali yang menggusur rumah seorang Yahudi, hingga wali tersebut membatalkan pembangunan masjid di atas tanah warga tersebut.

Bayangkan, bukan hanya warga muslim saja. Warga non-muslim pun tetap diperlakukan dengan makruf tanpa diskriminasi. Sungguh, inilah perlindungan sempurna tanpa pamrih dan hanya berharap rida Allah Ta'ala. Sebab, para khalifah sadar bahwa tanggung jawab kepemimpinan sangatlah berat di hadapan-Nya.

Dalam sebuah hadits dituturkan bahwa: 

مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ إِلاَّ لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ

"Tidak seorang hamba pun yang diserahi oleh Allah untuk mengurusi rakyat, lalu tidak menjalankan urusannya itu dengan penuh loyalitas, kecuali dia tidak akan mencium bau surga." (HR. al-Bukhari)

Rasulullah saw. juga bersabda :

مَا مِنْ عَبْدٍ اِسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوْتُ وَ هُوَ لَهَا غَاشٌ إِلاَّ حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ اْلجَنَّةَ

"Tidaklah seorang hamba diserahi oleh Allah urusan rakyat, kemudian dia mati, sedangkan dia menelantarkan urusan tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya." (HR. Muslim)

Kesadaran akan hubungannya dengan Allah (idrak sillah billah) inilah yang menjadi tameng bagi para penguasa untuk selalu berlaku adil pada setiap warga. Sehingga, penguasa akan selalu bermuhasabah atas setiap kebijakan.

Oleh karenanya, wajar jika kaum muslimin saat ini sangat rindu "kampung halamannya". Rindu menggebu, ingin segera bertemu. Ingin hidup berlama-lama di sana dan merasakan nikmatnya syariat Islam. Memperjuangkannya merupakan keniscayaan. Hingga Allah Ta'ala memperkenankannya seraya berkata: "Saatnya Pulang Kampung". []

Post a Comment

Previous Post Next Post