Kebijakan Nanggung, Masalah Tak Berujung

Oleh: Wity Ummu al-Khonsa 
(Aktivis Dakwah)

Sebulan sudah kita #DiRumahAja. Kerja di rumah, belajar di rumah, bahkan belanja pun dari rumah. Namun, wabah Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Satu hal yang pasti, wabah ini tak hanya merenggut korban jiwa, tapi juga merenggut pendapatan rakyat. Terutama rakyat lapisan bawah yang mengandalkan hidup dari pendapatan harian. Mereka adalah pekerja warung, toko kecil, pedagang asongan, pedagang di pasar, hingga para pekerja di pusat-pusat perbelanjaan dan pengendara ojek online. 

Ketua Asoasasi UMKM Indonesia, Ikhsan Ingratubun, mengungkapkan pendapatan usaha UMKM "pupus" gara-gara wabah Covid-19, sehingga mereka kesulitan untuk membayar biaya-biaya dan gaji atau honor pekerja. (bbc.com/30/03/2020)

Di tengah kondisi ini, maka wajar bila rakyat menuntut pemerintah untuk menopang kebutuhan mereka selama terjadi wabah. Menanggapi desakan rakyat, pemerintah pun mengeluarkan program Jaring Pengaman Sosial, diantaranya adalah memberi kelonggaran atau relaksasi kredit selama satu tahun, penambahan jumlah tunjangan Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, dan Kartu Pra Kerja, bantuan untuk korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pengurangan Pajak Penghasilan (PPH) bagi pekerja bergaji besar, serta menggratiskan listrik selama tiga bulan bagi pelanggan 450 Va dan diskon 50 persen bagi pelanggan 900 Va. (kompas.com/31/03/2020)

Kebijakan Tambal Sulam

Jika kita amati, barbagai kebijakan yang diberikan pemerintah dalam mengatasi wabah Covid-19 ini tidaklah efektif. Kebijakan yang dikeluarkan hanya sebatas kebijakan tambal sulam yang tak menyentuh akar permasalahan. Pemerintah hanya mencoba mengatasi masalah-masalah cabang yang ditimbulkan oleh masalah utama, yakni wabah Covid-19. Sementara, tidak ada upaya serius dalam menghentikan wabah tersebut.

Masalah utama yang dihadapi Indonesia bahkan dunia saat ini adalah merebaknya wabah Covid-19. Berbagai kalangan telah mendesak pemerintah untuk mengambil langkah lockdown atau karantina wilayah sebagai cara efektif untuk menghentikan pandemi ini. Namun, alih-alih lockdown, pemerintah lebih memilih memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang akan dibarengi dengan penerapan UU Darurat Sipil. Jelas, pemerintah tak mau menanggung konsekuensi atas penerapan Pasal 55 ayat 1 UU No. 6 tahun 2018, yaitu Pemerintah Pusat harus menjamin kebutuhan dasar orang dan makanan hewan ternak bila karantina wilayah atau lockdown diberlakukan.

Bila pemerintah tak mau memberlakukan lockdown, maka penyebaran wabah Covid-19 akan semakin meluas. Saat ini saja telah terjadi fenomena mudik berskala besar dari Jakarta (yang merupakan zona merah) ke daerah asal. 
Dikutip dari bbc.com (30/03/20), bahwa sepanjang pekan akhir Maret, tercatat 876 armada bus antar provinsi yang membawa kurang lebih 14.000 penumpang dari Jabodetabek, menuju Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja informal yang mencari nafkah di ibu kota. Bila hal ini terus terjadi, penyebaran wabah ini akan semakin tak terkendali.

Lalu, sampai kapan sosial distancing ini diberlakukan? Sampai kapan orang-orang harus berdiam di rumah? Sampai kapan pemerintah sanggup menjalankan program Jaring Pengaman Sosial?

Jangankan untuk waktu yang lama, untuk saat ini saja bila diperhitungkan, insentif yang diberikan tidak terlalu mendongkrak ekonomi rakyat apalagi mampu mengatasi dampak wabah secara ekonomi. Program ini pun hanya menyasar sebagian kecil rakyat, dan tidak menjamin tepat sasaran. Alih-alih memberi solusi, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tak lebih hanya sebatas pencitraan. Tak ingin dianggap diam saja. Tak ingin disebut lalai. Tak ingin digugat karena tak becus mengurus rakyat. Meski nyatanya semua itu benar adanya.

Islam Ajarkan Solusi Tuntas Hadapi Wabah

Islam telah mengajarkan bagaimana cara mengatasi pandemi. Metode karantina adalah cara yang tepat untuk menghentikan penyebaran wabah. Metode ini telah lebih dahulu diterapkan Islam jauh sebelum negara-negara lain menerapkannya. Bahkan Rasulullah saw. pernah membangun tembok di sekitar wilayah yang terjangkit wabah kusta. Rasulullah saw. bersabda:
“Jika kalian mendengar wabah di suatu wilayah, janganlah kalian memasukinya. Jika wabah terjadi di tempat kalian berada, jangan kalian tinggalkan tempat itu”. (HR. al-Bukhari)

Ketika wabah telah menyebar di suatu wilayah, negara Islam bertindak cepat untuk menghentikan penyebarannya dengan mengkarantina wilayah yang terjangkit. Negara juga wajib memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi seluruh rakyat, menyediakan fasilitas kesehatan yang terbaik dan tenaga medis ahli agar wabah segera teratasi. Bagi wilayah yang dikarantina, negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Adapun orang-orang yang di luar wilayah karantina, mereka bebas melakukan aktivitas seperti biasa tanpa perlu khawatir akan tertular.

Sayangnya, hari ini kita hidup ditengah-tengah sistem kapitalisme-sekuler. Sistem yang melahirkan pemimpin dzalim dan tak bertanggung jawab. Pemimpin yang hanya memikirkan pencitraan dan mengkhawatirkan jabatan. Pemimpin yang lebih mengutamakan masalah ekonomi dari pada keselamatan rakyat. Inilah saatnya kita menyadari pentingnya dipimpin oleh orang yang cakap dan amanah. Pemimpin yang hanya takut kepada hisab Allah SWT. bukan yang lain. Pemimpin seperti ini hanya akan kita dapati dalam sistem Islam yang sempurna. Wallahu’alam.[]

Post a Comment

Previous Post Next Post