Oleh: Erna Kusuma wardani., S.Pd. (member
BMIC)
Jika ingin melihat wujud sebenarnya dari
kata ‘radikalisme’, maka inilah yang sedang dipertontonkan oleh umat hindu
radikal kepada umat Islam di India. Pasalnya mereka melakukan penyerangan
terhadap umat Islam menggunakan peralatan serta benda keras untuk melukai
muslim di sana. Berarti apa yang disematkan selama ini oleh dunia kepada umat
muslim itu fitnah yang nyata.
Tidak ada kepantasan bagi umat muslim
menyandang kata ‘radikalisme’ karena
mereka tidak memiliki implementasi kekerasan sebagaimana yang telah dicontohkan
oleh sang manusia sempurna utusan Allah yaitu nabi Muhammad saw.
Peristiwa yang tengah memanas di India
bertolak dari rezim yang ada di sana, dimana rezim India sedang berada dibawa
penguasaan sebuah partai hindu. Dikutip dari buletin Kaffah edisi 131 bahwa
pada 11 Desember 2019 rezim penguasa India yang dikuasai oleh Partai Hindu
Nasional (BJP), telah mengesahkan Undang-Undang (UU) Amandemen Warga Negara
atau Citizenship Amandement Bill (CAB) yang Anti Muslim. UU ini memberi kran
bagi imigran ilegal non-muslim dari Bangladesh, Afganistan, dan Pakistan agar
mendapatkan kewarganegaraan India, sayangnya tidak berlaku bagi imigran muslim.
UU ini tidak hanya membidik para imigran
ilegal non-muslim maupun muslim namun ternyata terhadap warga muslim juga
menjadi sasaran. Warga muslim yang telah lama tinggal di India oleh UU ini
harus membuktikan keabsahannya sebagai warga negara. Jadi ketika mereka tidak mampu
membuktikan kewarganegaraannya maka mereka akan segera disingkirkan entah
dengan cara pengusiran atau penyerangan dalam hal ini genosida.
Mungkin terlampau sering kita menyaksikan
bagaimana penderitaan saudara muslim yang ada di berbagai belahan dunia, tak
ayal Palestina, Suriah, Allepo, Uyghur, Kashmir, Myanmar termasuk India menjadi
sebuah tontonan yang disaksikan tanpa reaksi. Dunia layaknya penonton bayaran
yang akan memberikan tepuk tangan, tersenyum, bersedih, membenci serta mengecam
ketika sang sutradara mengarahkan demikian. Termasuk negeri muslim hanya tutup
mulut seolah tidak ingin memberikan suaranya dan berbalik arah seolah tidak
ingin menyaksikan bahkan menganggap tidak terjadi apa-apa.
Lantas, bagaimana dengan kecaman-kecaman
serta kutukan-kutukan yang dilakukan oleh penguasa muslim atas peristiwa ini?.
Mari kita belajar dari kecaman-kecaman
serta kutukan-kutukan terdahulu yang berulang kali dilakukan penguasa muslim
tanpa tindakan rill seperti kepada Palestina, Suriah dst. Seandainya kecaman
ini serius pasti kita akan melihat bukti dari kecaman tersebut seperti
pengiriman militer yang setidaknya memberikan kekuatan lebih kepada saudara di
sana, akan lebih baik secara totalitas menghentikan penistaan umat muslim
dengan menyeru umat muslim dunia bersatu dan memerangi rezim keji yang
menginjak-injak kaum muslim sekaligus Agama Allah.
Inilah seruan hati umat saat ini terlebih
di belahan dunia muslim yang berlinang darah dan air mata, mereka ingin umat
bersatu di bawah Panji Rasulullah untuk memerangi musuh Allah, musuh Agama
Allah yang selama ini dengan penuh kesadaran ingin membumihanguskan Islam dan
penganutnya. Maka persatuan umat Islam di bawah ad-Daulah Khilafah menjadi
cita-cita tertinggi mereka, doa-doa mereka dan harapan mereka satu-satunya bagi
umat Muslim.
Sayangnya kecaman itu hanya kedok belaka
untuk menutupi diri mereka yang pengecut terhadap mitra. Mereka takut
diputuskan hubungan dagang, takut mengalami kerugian. Tentulah hal ini tidak
luput dari andil ekonomi kapitalisme yang membolehkan segalanya, membiarkan
bahkan mengabaikan nyawa-nyawa kaum muslim melayang demi lancarnya mitra dagang
dan bisnis.
Begitulah ideologi kapitalisme men-setting penguasa menjadi meterialistik
dan individualistik. Menjadikan segalanya diukur dengan materi dan manfaat.
Jika tiada kepentingan dan manfaat di sana maka jangan coba-coba celupkan
tangan ke sana sebaliknya jika terdapat ladang laba di sana maka mandilah di
dalamnya dan ambillah apa yang membuat untung.
Jadi, jika penguasa telah demikian mengabaikan,
tidak pernah serius, pengecut, serta tunduk terhadap asing maka siapa lagi yang
menjadi harapan kita, tuntaslah kita menyaksikan penderitaan umat yang tak
memiliki ujung.
Dengan diruntuhkannya Khilafah pada 3
Maret 1924 oleh Mustafa Kemal at-Tarturk membuat kebutuhan dan kerinduan umat
kepada Khilafah semakin menguat, karena fakta menggambarkan semenjak runtuhnya
Khilafah umat Islam tercerai-berai, menderita, didera penyiksaan dan penistaan,
tak ada tempat mengadu dan berlindung, darah dan air mata tertumpah setiap
waktu.
Umat muslim tidak akan merasakan seperti
yang dirasakan wanita dari kota Amuriya keturunan Fathimah ra. yang disiksa,
dinista, kemudian wanita itu berteriak memanggil nama khalifah
al-Mu’tashimbillah yang saat itu masih berada di atas peristirahatannya
seketika mendengar teriakan tersebut beliau bangkit dan mengerahkan puluhan
ribu pasukan yang dipimpin langsung oleh sang khalifah demi menjaga kehormatan
seorang muslimah serta menjawab teriakan dan aduannya. Menakjubkannya lagi
bukan hanya ia yang dibebaskan namun kota tempat tinggalnya juga ditaklukkan
oleh sang khalifah al-Mu’tashimbillah.
Mencari pemimpin seperti
al-Mu’tashimbillah pada sistem kapitalisme layaknya mencari jarum diatas
tumpukan jerami, karena sistem ini membentuk individu-individu menjadi manusia
serakah dan individualis yang hanya perduli kepentingannya sendiri tanpa
melirik apapun yang ada di sekitarnya jika tidak ada kepentingan di dalamnya,
sedangkan pemimpin layaknya al-Mu’tashimbillah hanya akan ditemukan di dalam
sebuah institusi bernama Khilafah. Khilafah membentuk manusia dengan Syari’at
Allah menjadi manusia yang berkepribadian pemimpin, yang tinggi derajatnya,
mulia akhlaqnya serta tunduk hanya kepada titah sang Penciptanya hingga tak
heran jika umat saat ini merindukan kehadiran Pemimpin yang menjaga martabat,
kehormatan dan melindungi dengan total warga negaranya. Allahu’alam
Post a Comment