Remaja Sadis Buah Sistem Liberalis



Oleh: Elis Trusina, ST.
(Member AMK) 

"Laa haulaa wa laa quwwata Illa billah”
Innalillahi wa inna ilaihi roojiu’uun. Langsung terlontar mengucap kalimat itu ketika menonton berita di salah satu stasiun televisi yang menginformasikan bahwa telah terjadi  pembunuhan berencana dan sadis yang dilakukan remaja perempuan berusia 15 tahun di Jakarta.

Korbannya adalah balita yang merupakan tetangganya, dan biasa bermain bersama dengan pelaku. Pelaku dikenal memiliki perilaku kasar dan sadis pada binatang dan memiliki latar belakang keretakan rumah tangga, juga sering menonton film kekerasan. Kedua perilaku itu  dianggap menjadi pemicu tindak brutalnya terhadap balita. (cnnindonesia.com, 15/03/2020)

Kasus di atas menunjukkan bahwa pada saat ini remaja butuh penanganan khusus dari segala aspek, baik aspek spiritual dan iptek, dimana mereka hidup di era digital ini tentu membutuhkan modal banyak untuk mengarungi hidup. Di era digital informasi apapun bisa sangat cepat diterima, yang menyebabkan seseorang akan mudah untuk menirunya. 

Secara spontan, apabila merujuk pada kedua pemicunya yaitu tontonan kekerasan dan juga kondisi keluarganya, komentar yang langsung keluar dari mulut kita, "Oh, pantas saja!". Seolah–olah menyalahkan dua kondisi ini 100%. Padahal seharusnya kita memandang kasus ini seperti orang yang sedang terbang, dimana jika orang terbang itu mampu melihat dari bawah sampai atas secara utuh terlihat dengan jelas.

Dari sisi tontonan, memang realita saat ini tontonan banyak mengandung halusinasi, kekerasan, yang tergolong aktivitas negatif. Dari sanalah hilangnya rasa kemanusiaan dan menghasilkan perempuan tanpa belas kasihan. Ini bukti sekaligus realisasi dari program liberalisasi atau kebebasan berekpresi yang lahir dari aturan yang memisahkan agama dari kehidupan.

Dari segi kondisi keluarga memang setiap keluarga ada ujiannya, dan setiap keluarga tentu ada permasalahan. Suami-istri cerai dengan mengabaikan kondisi anak. Kadang hidup utuh satu atap, namun komunikasi tidak berlangsung hangat, pertahanan keluarga terasa semakin rapuh. 

Terkait tontonan, jika ditinjau dari aspek spiritual, maka merujuk pada agama yang sempurna yaitu Islam, bagaimana menyoal dua pemicu tersebut? Maka jelas dibutuhkan standarisasi tontonan yang memicu berbuat kebaikan sesuai dengan ~pos~ perbuatan setiap insan yang standar perbuatannya adalah hukum syara', yaitu halal dan haram. dimana media akan diisi tayangan islami, semisal pembelajaran Al-Qur'an, Hadis, Fikih, Sains, dll. Semua upaya ini merupakan kolaborasi yang kompak antara individu, masyarakat, dan Negara.

Terkait keluarga, jika ditinjau dari aspek spiritual, maka membutuhkan visi-misi keluarga. Standar visi-misinya adalah halal dan haram. Hakikatnya sebagai orang tua harus mempunyai program kehidupan yang merujuk pada apa yang dicontohkan baginda Nabi Muhammad saw. untuk mengurusinya, yaitu mengembalikan semua pada posisinya masing–masing.  Dalam hal ini, ayah berfungsi sebagai kepala keluarga yang bertanggungjawab dunia akhirat dimana harus menyelamatkan keluarga dari api neraka sebagaimana yang termaktub dalam Qur'an Surah at-Tahrim, ayat 6. Ayah menjalankan fungsinya dengan program kerja yang jelas, dan ibu bertugas mengatur segala hal yang ada dalam keluarga.

Maka ayah sebagai kepala keluarga harus memiliki aturan yang jelas dan benar yang berasal dari Al-Khaliq. Lalu mengkolaborasikan visi-misinya dengan anggota keluarga. Kemudian mengkomunikasikan program tersebut kepada anggota keluarga. Terlebih kepada seorang anak yang membutuhkan sentuhan rasa dan sikap yang luwes dari kedua orang tuanya. Oleh karena itu, kembalikan tontonan dan fungsi keluarga tersebut pada tempatnya sesuai aturan Ilahi, yaitu aturan Islam yang mengatur seluruh aturan kehidupan.

Wallaahu a'lam bi ash-shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post