Mimpi Pengentasan Kemiskinan Ala Kapitalis



Oleh: Erna Ummu Aqilah
Member Akademi Menulis Kreatif

Badan Pusat Statistik (BPS) pada 15 Januari merilis angka kemiskinan nasional September 2019 telah mencapai angka 9,22%. Persentase ini menurun sebesar 0,9% dari kondisi Maret 2019. Jika dilihat dari jumlahnya pada September 2019, masih terdapat 24,79 juta orang miskin di Indonesia. Sementara itu, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan turun menjadi 6,56% dan untuk pedesaan menjadi 12,60%.

BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar dalam mengukur kemiskinan. Metode ini mengacu pada Handbook on Poverty and Inequality, terbitan World Bank yang juga digunakan di banyak negara berkembang.

Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan diukur dari sisi pengeluaran.

Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran, per kapita per bulan di bawah satu batas yang disebut garis kemiskinan, tergolong sebagai penduduk miskin.

Garis kemiskinan terdiri dari, Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan, yang disetarakan dengan 2100 kilo kalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan ini, diwakili oleh 52 jenis (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur, susu, sayur-sayuran, buah-buahan, dan lainnya).

Sementara itu, GKNM adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditas kebutuhan dasar non makanan, diwakili oleh 51 jenis di perkotaan dan 47 jenis di pedesaan. Sumber data yang digunakan untuk mengukur garis kemiskinan adalah hasil survei Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan BPS setiap Maret dan September. (detiknews.com, 29/01/2020).

Sementara Bank Dunia, merilis laporan bertajuk "Aspiring Indonesia Expanding the Middle Class" pada 30/01/2020. Dalam riset itu, 115 juta masyarakat Indonesia dinilai rentan miskin.

Tingkat kemiskinan di Indonesia saat ini di bawah 10% dari total penduduk. Rata-rata pertumbuhan ekonomi diprediksi 5,6% pertahun selama 50 tahun ke depan.

Di satu sisi, 52 juta masyarakat Indonesia tergolong kelas menengah. Mereka memiliki pendapatan Rp 1,2 juta sampai Rp 6 juta per bulan.

Untuk meningkatkan jumlah kelas menengah dan mengurangi penduduk rentan miskin, Bank Dunia merekomendasikan empat hal.

Pertama, meningkatkan gaji dan tunjangan guru. Di satu sisi, sistem manajemen kinerja guru juga perlu diperbarui. Memulai sertifikasi ulang guru yang dilakukan secara berkala.

Kedua, meningkatkan anggaran kesehatan. Salah satu caranya dengan mengejar sumber pendapatan baru, dari peningkatan pajak tembakau dan alkohol.

Ketiga, memperluas basis pajak. Caranya bisa dengan menurunkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan menaikkan tarif pajak tertentu seperti, alkohol, tembakau, kendaraan dan lainnya.

Keempat, menyeimbangkan kembali transfer fiskal seperti, meningkatkan propori dana desa dan mengembangkan peraturan baru, untuk mengoperasionalkan penyediaan layanan lintas daerah. (katadata.co.id, 2/02/2020).

Menurut Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah, informasi dari Bank Dunia itu tidak mengejutkan. Pasalnya klaim menurunkan jumlah penduduk miskin memang harus dikritisi.

Sebab, penurunan jumlah penduduk miskin hanya pergeseran dari miskin menjadi rentan miskin. Yang artinya, bila terjadi shock ekonomi akan kembali miskin. (cnnindonesia.com, 31/01/2020).

Dalam sistem kapitalis upaya mengentaskan kemiskinan hanya mimpi. Solusi yang ditawarkan oleh Bank Dunia, justru akan menjerat negara ke dalam lembah hutang. Dan rakyatlah yang kembali menjadi korban. Pasalnya utang negara dibebankan kepada rakyat.

Utang negara yang berbasis riba, membuat negeri ini terbelenggu dalam cengkeraman kapitalis. Sehingga membuat negara semakin terpuruk dalam kemiskinan.

Dalam sistem kapitalis, upaya mengentaskan kemiskinan hanya sebatas otak atik angka. Hal ini dapat dilihat dari pembuatan standarisasi, bukan menghilangkan kemiskinan secara nyata. Yakni dengan memastikan terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok rakyat secara perorangan.

Di era kapitalis ini rakyat di miskinkan secara sistemik. Mulai dari sulitnya tersedia lapangan pekerjaan, kenaikan berbagai komoditi pangan, melonjaknya harga faktor-faktor produksi penting, ditambah naiknya iuran BPJS Kesehatan dan layanan publik lainnya. Sungguh, hal ini memperparah kondisi rakyat.

Aneh, negeri kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA), tapi rakyat dalam keadaan memprihatinkan. Hal ini mengindikasikan bahwa ada yang salah dalam pengelolaan SDA. Faktanya, memang SDA yang ada di negeri ini sebagian besar dikelola oleh pihak swasta baik lokal maupun asing. Negara hadir hanya sebatas regulator saja, bukan sebagai pelayan bagi rakyatnya. 

Berbeda dengan Islam, yang mengatur dengan jelas mana kepemilikan umum dan mana kepemilikan individu. Kepemilikan umum seperti hutan, tambang, laut, jalan dan lainnya dikelola negara untuk kepentingan rakyat. Sedangkan, yang tergolong kepemilikan individu yaitu rumah, kendaraan, lahan pertanian, perkebunan, peternakan dan lainnya.

Dalam kepemimpinan Islam, negara benar-benar hadir sebagai pelayan bagi rakyat. Negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok individu dan masyarakat. Fasilitas-fasilitas publik disediakan oleh negara untuk mempermudah kelangsungan hidup rakyatnya.

Semua dana diperoleh dari baitul mal, yang bersumber dari pendapatan negara yang diperoleh dari hasil SDA, zakat, jiziyah, fa'i dan lainnya.

Dengan demikian, impian dan harapan membebaskan rakyat dari jerat kemiskinan, hanya bisa terwujud dengan diterapkannya sistem Islam secara kaffah, bukan dengan yang lain. 

Wallahu a'lam bishshawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post