Tragedi Banjir, Kapankah Berakhir?



       Oleh: Sri Purwanti, AMd.KL
Pegiat literasi, Member AMK
   
Di tengah meriahnya penyambutan tahun baru 2020, terselip kesedihan yang mendalam. Tepatnya 1 Januari 2020, kembali masyarakat Indonesia disuguhi musibah. Curah hujan tinggi yang  mengguyur beberapa wilayah di Indonesia. Alhasil banjir pun menjadi kado pahit tak terelakan di awal tahun ini. Seperti yang dilansir oleh laman kompas.com (Kamis, 02/01/2020), sebagian besar wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi dikepung banjir pasca hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi sejak Selasa (31/12/2019). Kejadian yang selalu berulang setiap tahun.

Jika kita menilik secara seksama, berbagai program yang dilakukan pemerintah guna mengantisipasi banjir, sampai saat ini hanya memberikan solusi tambal sulam. Sehingga permasalahan banjir  tak kunjung usai. Karena masalah banjir sebetulnya bukan hanya masalah teknis saja, tetapi juga merupakan masalah sistemis ideologis. 
Semua itu saling terkait dan bermuara pada penerapan  paham politik demokrasi kapitalis sekuler yang ide mendasarnya semua diserahkan kepada mekanisme pasar,  proses demokratis, dan ideologi sekuler.

Sistem kapitalis yang diterapkan di negeri memberi ruang seluas-luasnya bagi penguasa dan pemilik modal (pengusaha) untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Maka  muncullah banyak aturan yang memberikan kemudahan dalam pembangunan industri, perkantoran, dan bisnis menggiurkan lainnya semacam villa dan hotel mewah, tanpa memperhatikan AMDAL, dan tata kelola lingkungan.

Hal ini berdampak pada maraknya pembangunan yang tidak diiringi dengan efek kelanjutannya pada lingkungan sekitar, mengakibatkan hilangnya ruang terbuka hijau dan daerah resapan air, sehingga air tidak bisa terserap tanah secara optimal, bencana alam akibat ulah manusia ini sudah di sebut dalam Firman Allah,
 “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).(TQS, Ar- Ruum: 41-42)

Agar kejadian banjir ini tidak terulang terus menerus, maka perlu ada upaya yang  serius dan sungguh-sungguh baik itu dari rakyat maupun  pemerintah. Karena pemerintah yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan kebijakan dalam mengatasi banjir, dan ini tidak akan bisa maksimal jika sistem kapitalis masih di terapkan.

Sejarah telah mencatat, bahwa wilayah Daulah Islam yang amat luas juga memiliki potensi bencana alam. Wilayah sekitar gurun di Timur Tengah dan Afrika Utara amat rawan kekeringan. Lembah sungai Nil di Mesir atau sungai Efrat-Tigris di Irak amat rawan banjir. Sementara itu Turki, Iran, Afghanistan sangat rawan gempa.

Tetapi Daulah  menaruh perhatian besar agar tersedia fasilitas umum, yang bisa  melindungi rakyat dari berbagai bencana. Khalifah sebagai kepala negara membayar para insinyur untuk merancang tata ruang,   membangun bendungan, terusan, alat peringatan dini, mendirikan bangunan tahan bencana, membangun bunker cadangan logistik, hingga melatih masyarakat untuk selalu tanggap darurat.   

 Negara yang menerapkan sistem Islam, juga memiliki strategi dan kebijakan untuk mengatasi banjir dan genangan. Kebijakan tersebut meliputi kebijakan sebelum banjir (pencegahan), ketika banjir terjadi , dan pasca banjir. Kebijakan untuk mencegah terjadinya banjir meliputi beberapa hal, sebagian berikut: 

Pertama, jika kasus banjir  disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletsyer, rob, dan lain sebagainya, maka negara akan menempuh upaya-upaya pencegahan seperti membangun bendungan untuk menampung air dari aliran sungai, curah hujan, maupun luapan sungai. Hal ini bisa di lihat pada bendungan yang di bangun di Propinsi Khuzestan, Iran Selatan, bendungan tersebut masih berdiri kokoh sampai saat ini, selain untuk antisipasi banjir juga di manfaatkan untuk irigasi.

Negara melakukan pemetaan daerah-daerah rendah yang rawan terkena genangan air (akibat rob, kapasitas serapan tanah yang minim dan lain-lain),  kemudian membuat kebijakan melarang masyarakat membangun pemukiman di wilayah-wilayah tersebut, supaya masyarakat terhindar dari musibah banjir. Pemerintah juga membangun kanal, sungai buatan, maupun saluran drainase. Hal ini bertujuan mengurangi dan memecah penumpukan volume air; atau untuk mengalihkan aliran air ke daerah lain yang lebih aman.  Melakukan pengerukan lumpur di sungai, atau daerah aliran air, secara berkala supaya tidak terjadi pendangkalan.
Di samping itu pemerintah juga membangun sumur resapan di kawasan tertentu. Selain untuk resapan, sumur ini juga digunakan untuk tandon air yang sewaktu-waktu bisa digunakan, terutama jika musim kemarau tiba dan kesulitan mendapatkan air.

Kedua, dalam aspek undang-undang dan kebijakan, negara akan menggariskan beberapa hal penting seperti kebijakan tentang master plan, mengeluarkan syarat tentang izin pembangunan gedung maupun bangunan fisik lainnya. Pemerintah membentuk badan khusus yang menangani bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana. Menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai daerah cagar alam yang harus dilindungi, menetapkan kawasan hutan lindung, dan kawasan buffer yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin. Melakukan sosialisasi secara terus menerus terus menerus mengenai pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, serta kewajiban memelihara lingkungan dari kerusakan.

Ketiga, ketika menangani korban bencana alam, negara akan  bertindak cepat dan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Negara akan menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam, sehingga tidak menderita  akibat penyakit yang muncul pasca bencana, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai. Pemerintah juga melakukan  recovery mental dengan mengerahkan para da'i untuk memberikan tausiah bagi korban, untuk menguatkan keimanan mereka, dan mencegah depresi pasca bencana.

Keberhasilan negara yang menerapkan sistem Islam dalam  membangun peradaban Islam dan  bertahan berabad-abad bahkan terhadap berbagai bencana alam termasuk kekeringan dan banjir adalah buah sinergi dari keimanan, ketaatan pada syariat, dan ketekunan mereka dalam mengembangkan IPTEK, sehingga mampu menggunakan ilmu dan teknologi yang tepat dalam mengelola lingkungan.

Jika kita berharap bencana banjir tidak terulang setiap tahun, sudah selayaknya kita hijrah dari sistem kapitalis Sekuler menuju sistem Islam kaffah yang sudah terbukti membawa kesejahteraan bagi umat manusia 

Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post