Banjir Serentak Akibat Liberalisasi Marak

Penulis : Rahmi Surainah, M.Pd, 
warga Kutai Barat Kaltim

Banjir di Provinsi Kalimatan Timur tidak hanya terjadi pada satu titik lokasi, hampir serentak semua daerah di Kaltim rawan dan mengalami kebanjiran. Banjir di musim penghujan bersamaan air pasang terjadi diberbagai kota. Mulai dari kota Samarinda, Balikpapan, Bontang, Berau, Kukar dan Penajam Paser Utara (PPU) mengalami banjir akhir tahun 2019 lalu. 

Di Kota Samarinda, hujan lebat merendam rumah warga di 6 RT. Sejumlah titik di Kota Samarinda terendam banjir. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Samarinda menyebut 4 titik telah terendam air. Terpantau dari Relawan Info Taruna Samarinda, ada 18 titik banjir muncul tersebar di seluruh Samarinda pasca hujan.

Ketua Relawan Info Taruna Samarinda, Joko Iswanto mengungkapkan, mendapatkan laporan dari tim relawan di lapangan bahwa banjir terdalam dialami oleh 4 kecamatan di Samarinda, yakni Kecamatan Sungai Pinang, Samarinda Utara, Palaran dan Loa Janan. Namun, dituturkan Joko, saat ini banjir berangsur surut. Prediksi Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Samarinda hingga Januari 2020 banjir akan tetap menghantui karena curah hujan yang tinggi. (https://kaltim.tribunnews.com/2019/12/24/hujan-lebat-merendam-rumah-warga-di-6-rt-samarinda-bmkg-sebut-hujan-masih-terjadi-hingga-januari?page=all)

Selain kota Samarinda, di Balikpapan ancaman terbesar saat hujan deras juga banjir. Apalagi, rencana pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) yang akan dibangun di sekitar pesisir Teluk Balikpapan sejatinya merupakan lokasi bahaya banjir yang didasarkan pada masa lalu yang sering terpapar banjir tinggi. (http://klikkaltim.com/berita-3083-memperparah-krisis-sumber-air-dan-mengancam-kawasan-lindung-dan-konservasi-teluk-balikpapan)

Di Bontang, ada 6 titik lokasi rawan banjir yang tersebar di 3 kecamatan. Kecamatan Bontang Utara ada 3 titik rawan di antaranya Kelurahan Api-Api, Guntung dan Gunung Elai. Selanjutnya kecamatan di Bontang Selatan titik rawan ada di Kelurahan Satimpo. Terakhir di kecamatan Bontang Barat ada 2 titik rawan banjir, yakni Kelurahan Telihan dan Kanaan. Acap kali banjir datang tiba-tiba saat hujan tak terjadi karena air kiriman. Selain banjir kiriman, Kota Bontang juga tertuju pada banjir rob, dimana pasang air laut yang disebabkan oleh bulan purnama acap kali menumpahkan air ke daratan. (https://kaltim.tribunnews.com/2019/12/07/banjir-kiriman-tak-bisa-diprediksi-6-kelurahan-jadi-titik-rawan-di-bontang-kalimantan-timur?page=all)

Di Berau, meski mulai surut bencana banjir juga sempat merendam pemukiman warga di 12 RT di Desa Tumbit Melayu. Banjir yang melanda pemukiman warga tersebut disinyalir akibat luapan air Sungai Kelai ditambah curah hujan tinggi. (https://kaltim.tribunnews.com/2019/12/27/banjir-di-12-rt-desa-tumbit-melayu-berau-mulai-surut-aktivitas-warga-kembali-normal?page=all)

Tata Kelola SDAE Liberalistik Menyengsarakan

Demikian beberapa wilayah di Kaltim yang sudah banjir dan rawan banjir. Penanggulangan bencana banjir yang dilakukan pun seakan tidak efektif dalam menangani masalah banjir. Sejumlah kegiatan dianggarkan setiap tahunnya belum mampu menanggulangi dampak banjir yang ditimbulkan. Program yang dilaksanakan Pemerintah lebih fokus pada pembuatan dan perbaikan drainase, namun tidak dibarengi dengan upaya penataan kawasan hulu, akibatnya luapan air yang muncul ketika musim hujan sulit teratasi.

Salah satunya, kegiatan pengupasan lahan perumahan yang semakin marak sedangkan sanksi yang diberikan tidak jelas kepada pengembang perumahan yang melanggar aturan. https://kaltim.idntimes.com/news/kaltim/muhammad-maulana-3/banjir-di-sejumlah-wilayah-di-kaltim-kinerja-pemda-tidak-efektif/full

Banjir di Kaltim hampir serentak, akibat ulah manusia sendiri yang merusak dengan liberalisasi SDAE yang semakin marak. Pengupasan lahan tidak hanya oleh pengembang properti atau perumahan, tetapi pengusaha tambang yang jumlahnya pun tidak sedikit.

Berdasarkan data dari Jatam (Jaringan Advokasi Tambang), luas izin lahan di Kaltim mencapai 13,83 juta hektare. Padahal, luas daratan Kaltim hanya mencapai 12,7 juta hektare. Dengan rincian, lahan untuk pemanfaatan kehutanan mencapai 5,619 juta hektare. Di sektor pertambangan ada 5,137 juta hektare. Sedangkan izin perkebunan mencapai 4,255 juta. Belum lagi ada penumpukan izin, seperti satu daerah bisa punya dua izin lahan. Wakil KPK mengatakan Kaltim merupakan salah satu dari dua daerah di Indonesia yang luas izinnya lebih dari luas daratan. (//www.jatam.org/2019/07/19/kpk-izin-lahan-di-kaltim-lebih-luas-dari-daratan-negara-apa-ini)

Tentu kebebasan yang dimiliki oleh para pengusaha tersebut didukung oleh ijin dan aturan yang dibuat penguasa. Undang-undang air, Minerba, Migas, Pertañahan, dsb hanya berpihak pada para kapital bukan lagi kepada rakyat apalagi lingkungan. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) saja wacananya mau dihapus demi memudahkan investasi.

Wacana penghapusan aturan tersebut dikemukakan Kementerian Agraria Tata Ruang (ATR)/BPN. Pemerintah beralasan, penghapusan tersebut agar mempermudah usaha. Pemerintah bahkan telah memasukan aturan tersebut dalam skema perundangan omnibus law. (https://nasional.kompas.com/read/2019/11/26/11103581/kritik-soal-rencana-pemerintah-hapus-amdal-dan-imb-dianggap-konyol-rusak?page=all)

Tata kelola SDAE saat ini yang liberalistik tentu sangat menyengsarakan. Analisa akar masalah berupa tata kelola tersebut belum disadari oleh masyarakat dan negara pun seakan tidak peduli. Negara hanya sibuk menangani saat terjadinya banjir, namun lupa penyebab banjir akibat liberalisasi SDAE. Sehingga solusi yang dijalani dan ditawarkan hanya bersifat pragmatis, baik individu, masyarakat dan negara. 

Individu dengan meninggikan bangunan rumah. Masyarakat dengan gotong royong membersihkan got, saluran air, sungai, gorong-gorong, dsb. Negara dengan memberikan anggaran cegah banjir, progam atau proyek penanganan banjir, dan berbagai kegiatan lain baik sebelum, saat, dan pasca banjir. Semua sibuk dengan perkara teknis dan pragmatis namun tidak mencegah penyebab banjir. Hingga hari ini kerusakan lingkungan semakin parah dan gagal diatasi. 

Tata Kelola SDAE dalam Islam Menyejahterakan

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
(TQS. Ar-Ruum: 41)

Islam memberikan solusi untuk mengatasi kerusakan lingkungan dengan fokus pada akar masalah penyebab segala kurusakan lingkungan. Islam akan menghentikan tata kelola SDAE liberalistik dengan mengembalikannya kepada tata kelola SDAE Islam.

Rasulullah saw bersabda, "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api" (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Islam melarang kepemilikan SDAE dikuasai oleh individu, swasta, atau asing. SDAE dalam Islam adakah kepemilikan umum dan dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan umat. Negara dalam Islam berkewajiban mengelola SDAE untuk dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk langsung atau pun tidak langsung seperti gratisnya biaya pendidikan, kesehatan, dan terjangkaunya harga kebutuhan pokok. 

Pengelolaan SDAE dalam Islam tidak bisa dilepaskan dari penerapan Islam secara totalitas karena saling terkait dengan sistem lain dan berakar dari sistem kehidupan. Dengan dikuasainya SDAE oleh negara dalam sistem Islam dan pemimpin yang bertakwa maka akan meminimalisir kurusakan lingkungan. Masyarakat akan sejahtera dan lingkungan akan terjaga dari berbagai kerusakan. Hujan pun bermanfaat membawa keberkahan.

اللّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً 
Ya Allah! Turunkanlah hujan yang bermanfaat

Post a Comment

Previous Post Next Post