Hama Perdagangan Bulog

Oleh : Sitti Nurlyanti Sanwar S.ST,.MH.Kes
(Penggiat Sosial Media dan Member Akademi Menulis Kreatif)

Linimasi dikejutkan dengan keputusan Perum Bulog yang akan membuang 20 ribu ton cadangan beras yang tersimpan di gudang. Nilai beras tersebut mencapai 160 miliar (cnn.indonesia.com/29/11/2019). Pemusnahan ini terjadi saat 22 juta orang menderita kelaparan.

Indonesia menduduki peringkat 65 dari 113 negara dalam Indeks Ketahanan pangan Global yang dirilis oleh Economist Intelligence Unit tahun 2018 lalu. Ini menempatkan Indonesia di peringkat bawah di antara negara kawasan regional seperti Singapura (peringkat 1), Malaysia (peringkat 40), Thailand (peringkat 54), dan Vietnam (peringkat 62) (m.detik.com/7/11/2019).

Pemusnahan dilakukan karena penyimpanan beras yang sudah lebih dari 1 tahun, sedangkan cadangan beras di gudang Bulog mencapai 2.3 juta ton, 100 ribu ton diantaranya sudah tersimpan diatas 4 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa ada 8 bulan masa penyimpanan. Apabila tidak digunakan atau didistribusikan alhasil beras tersebut siap-siap dimusnahkan. Pemusnahan ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian No 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP). 

Direktur utama Perum Bulog juga mengatakan bahwa saat ini pasar pangan di Indonesia hampir 100% dikuasai oleh kartel atau monopoli yang berujung kerugian untuk rakyat. Dilansir oleh konfrontasi.com “Buwas, produk-produk pangan Bulog saat ini hanya mengusai pasar sebesar 6%. Sedangkan sisanya 94% dikuasai oleh kartel”.

Selain itu, buruknya pendistribusian serta adanya kebijakan impor beras yang dilakukan oleh mantan menteri perdagangan Enggartiasto Lukita hal tersebut menimbulkan ‘hama’ perdagangan ditubuh Bulog.

Kapitalis Liberalis Penyebab Hama Perdagangan Bulog

Kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat terutama petani tradisional inilah bukti keegoisan para penguasa. Pemusnahan ribuan ton beras adalah bukti ketahanan pangan dalam negeri gagal. Sistem kapitalis memberikan ruang yang sangat luas bagi pemilik modal. Pengamat politik dan ekonomi Universitas Airlangga Ichsanuddin Noorsy, membeberkan bahwa hukum ekspor impor dalam sudut pandang makro ekonomi adalah asistmetris didalam pemerintah. Sehingga, hal tersebut menguntungkan negara pengimpor mendapatkan laba yang cukup besar. Dimana, negara importir adalah objek keuntungan dan surplus produksi yang berdampak pada meningkatnya ketimpangan karena rakyat adalah objek eksploitasi transaksi.

Hama kapitalis liberalis telah sukses menyebar lebih luas di segala lini kehidupan, salah satunya kebutuhan pangan. Sehingga terjadi monopoli bahan pangan, menumpuknya kendali supply pangan pada sekelompok orang serta impor yang ketergantungan pada negara lain. Padahal, kebutuhan pangan merupakan kebutuhan pokok yang sangat urgent untuk bertahan hidup. Namun, ketika pengurusannya dilakukan dengan kecurangan dam ketidakadilan yang dilakukan mafia pangan dan para kartel yang tidak bertanggung jawab yang terjadi adalah ambyar.

Ketahanan Pangan dalam Sistem Islam

Ketahanan pangan tidak terlepas dari sistem politik Islam. Politik ekonomi Islam yaitu jaminan semua kebutuhan primer, sekunder dan tersier sesuai dengan kadar kesanggupannya sebagai individu yang hidup dalam masyarakat. Ketahanan pangan Islam mencakup jaminan pemenuhan kebutuhan pokok pangan. Negara memiliki tugas untuk mengurusi seluruh urusan rakyatnya baik dalam maupun luar negeri (ri’ayah su un al ummah). Islam mewajibkan negara menjamin pemenuhan kebutuhan pokok pangan, sandang dan papan serta kebutuhan dasar pendidikan, kesehatan, dan keamanan seluruh rakyat. Rasulullah Saw bersabda:

“Segala sesuatu selain naungan rumah, roti tawar, dan pakaian yang menutupi auratnya, dan air, lebih dari itu maka tidak ada hak bagi anak Adam di dalamnya."

Sabda Rasul di dalam hadits tersebut “apa yang lebih dari ini maka anak Adam tidak memiliki hak di dalamnya” menunjukkan bahwa jelas tiga kebutuhan inilah yang merupakan kebutuhan pokok. Hadits ini menyatakan tentang kebutuhan-kebutuhan pokok yaitu pangan, papan dan sandang.Yang lebih dari itu maka bukan kebutuhan pokok, dan pemenuhannya terjadi setelah kebutuhan-kebutuhan pokok individu itu telah terpenuhi.

Dalam memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok, negara akan menggunakan dua mekanisme yaitu, Pertama, mekanisme non ekonomi, dimana negara memastikan agar hukum-hukum syariat terkait dengan nafkah berjalan sebagaimana mestinya. Islam memerintahkan agar setiap laki-laki bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan kebutuhan orang-orang yang berada dibawah tanggungannya seperti dalam surah al-Baqarah ayat 233.

Jika kemudian pemenuhan kebutuhan pokok bagi dia dan keluarganya belum terpenuhi, baik karena ia tidak bisa bekerja atau pendapatannya tidak cukup, maka kerabatnya mulai yang terdekat diwajibkan untuk turut menanggungnya. Jika belum terpenuhi juga maka tanggungjawab itu beralih menjadi kewajiban baitul mal (negara). Rasul saw bersabda:

“Aku lebih utama dibandingkan orang-orang beriman daripada diri mereka, siapa yang meninggalkan harta maka bagi keluarganya, dan siapa yang meninggalkan hutang atau tanggungan keluarga, maka datanglah kepadaku, dan menjadi kewajibanku.” (HR. an-Nasai dan Ibnu Hibban)

Disamping itu, ketika kebutuhan pokok termasuk kebutuhan pokok pangan tidak terpenuhi maka orang tersebut berhak atas harta zakat. Karena itu orang tersebut berhak meminta harta zakat ke Baitul Mal dan amil zakat. 

Kedua, mekanisme ekonomi , yang dimaksud di sini adalah keterlibatan individu dalam aktivitas ekonomi untuk mendapatkan harta sehingga ia bisa memenuhi kebutuhan dia dan keluarganya. Mekanisme ini saling melengkapi dengan mekanisme non ekonomi di atas. Secara lebih tepatnya adalah pemberian peluang bagi setiap orang khususnya laki-laki untuk bekerja. Sebab Islam mewajibkan setiap laki-laki yang mampu untuk bekerja. Dalam hal ini negara wajib menyediakan lapangan dan kesempatan kerja. Agar kesempatan kerja bisa terbuka seluas-luasnya melalui cara ini, negara harus mewujudkan dan menjamin adanya iklim usaha yang kondusif bagi masyarakat. Sehingga negara harus menjamin terealisasinya terlaksananya hukum-hukum syariat terkait dengan ekonomi, seperti hukum-hukum kepemilikan, hukum pengembangan dan pengelolaan harta serta jaminan distribusi harta di tengah-tengah masyarakat.

Mekanisme tersebut akan terlaksana sesuai bagaimana mestinya, jika syariat Islam di terapkan secara kaffah.

Wallahualam bishawab

Post a Comment

Previous Post Next Post