Sejarah Tahun Baru Masehi

Penulis : Siti Sukaesih, S.Pd
Praktisi Pendidikan dan Member AMK

Momen pergantian tahun selalu dinanti. Disambut dengan gegap gempita. Dirayakan oleh jutaan manusia, dimeriahkan atraksi kembang api yang sungguh menarik hati.

Pada malam pergantian tahun, tua muda berjaga hingga pagi. Tak peduli dengan rasa kantuk yang terus menggelayuti. Semua berkumpul, membaur menjadi satu. Laki-laki dan perempuan campur baur. Mereka tak mempedulikan apa pun, dalam benaknya yang penting bisa happy. Padahal di balik perayaan tahun baru, terdapat tradisi kaum Pagan yang tidak disadari oleh kaum Muslimin.  

Dan semestinya, kaum Muslimin tidak ikutan latah merayakan pergantian tahun baru. Sebab seorang Muslim harus tahu latar belakang di balik perayaan tersebut.  

Perayaan tahun baru Masehi merupakan tradisi orang-orang Romawi. Mereka mendedikasikan hari istimewa untuk dewa mereka yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beeginnings.

Janus adalah seorang dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun. (G Capdeville “Les épithetes cultuels de Janus” inMélanges de l’école française de Rome (Antiquité), hal. 399-400).

Melihat latar belakangnya, dapat disimpulkan bahwa perayaan tahun baru adalah budaya kafir. Pertama kali dirayakan oleh kaum pagan di Romawi, dengan ritual mengitari api unggun dan bernyanyi bersama.

Sayangnya, budaya kuno tersebut masih dipertahankan hingga kini. Walau disulap dengan format yang berbeda, akan tetapi nilai-nilai pengagungan terhadap sombol-simbol dan cara penyembahannya masih terus dilestarikan. Salah satunya dengan pesta kembang api.

Maka bagi seorang Muslim yang taat untuk tidak mengikuti perayaan tahun baru Masehi. Hal ini dijelaskan dengan tiga alasan yaitu,

Pertama, ketika kita turut merayakan tahun baru sama dengan meniru kebiasaan mereka. Jelaslah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kita untuk meniru kebiasaan orang jelek, termasuk orang kafir. Beliau bersabda,

من تشبه بقوم فهو منهم

“Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (Hadis shahih riwayat Abu Daud).

Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan,

من بنى بأرض المشركين وصنع نيروزهم ومهرجاناتهم وتشبه بهم حتى يموت خسر في يوم القيامة

“Siapa yang tinggal di negeri kafir, ikut merayakan Nairuz dan Mihrajan (hari raya orang majusi), dan meniru kebiasaan mereka, sampai mati maka dia menjadi orang yang rugi pada hari kiamat.”

Kedua, ketika kita mengikuti hari raya mereka maka termasuk bentuk loyalitas dan menampakkan rasa cinta kepada mereka. Padahal Allah SWT. Telah melarang kita untuk menjadikan mereka sebagai kekasih.
Allah SWT. Berfirman yang artinya,

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (rahasia), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu..” (QS. Al-Mumtahanan: 1).

Ketiga, Hari raya merupakan bagian dari agama dan doktrin keyakinan, bukan semata perkara dunia dan hiburan. Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam datang di kota Madinah, penduduk kota tersebut merayakan dua hari raya, Nairuz dan Mihrajan. Beliau pernah bersabda di hadapan penduduk Madinah,

قدمت عليكم ولكم يومان تلعبون فيهما إن الله عز و جل أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الفطر ويوم النحر

“Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian; idul fitri dan idul adha.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i).

Perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk Madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang Majusi, sumber asli dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Sebagai gantinya, Allah SWT. Berikan dua hari raya terbaik yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.

Dengan demikian, penting bagi kaum Muslim untuk tidak merayakan budaya orang-orang kafir. Marilah kita isi malam pergantian tahun baru Masehi dengan perbanyak amal dan bermuhasabah. Sangat merugi jika waktu kita dipergunakan untuk sesuatu yang mengundang murka Allah SWT.

Wallahu a'lam bishshowab.

Post a Comment

Previous Post Next Post