Peran Negara dalam Mengentaskan Kemiskinan

By : Tawati
Penulis Penggerak Opini Islam
Member Revowriter dan Writing Class With Hass

Ketua Tim Penanggulangan Kemiskinan Daerah Kabupaten Majalengka, Tarsono D Mardiana menyebutkan, angka kemiskinan di Majalengka masih tercatat 10,7 persen. Tercatat pada tahun 2018 turun 1.81 persen atau 20.970 jiwa. Angka tersebut diharapkan terus turun setiap tahunnya.

Dengan starting point 10,79 persen atau 129.290 jiwa, pihaknya berambisi untuk mengentaskan angka kemiskinan hingga mencapai 6 persen. Melalui RPJMD kepemimpinannya bersama Bupati Majalengka Dr H Karna Sobahi MMPd, melalui sejumlah program baik yang akan dan telah digulirkan terlihat adanya upaya dari pemda untuk menekan angka kemiskinan tersebut. (Radar Cirebon, 26/11/2019)

Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah dijumpai di mana-mana. Tak hanya di desa-desa, tapi juga di kota-kota. Di balik kemegahan gedung-gedung pencakar langit di Jakarta, misalnya, tidak terlalu sulit menjumpai rumah-rumah kumuh berderet di bantaran sungai atau para pengemis yang berkeliaran di perempatan-perempatan jalan.

Menurut kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), masyarakat miskin secara umum ditandai oleh ketidakmampuan /powerlessness: tidak mempunyai daya/kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan, atau istilahnya basic need deprivation; tidak mempunyai daya/kemampuan untuk melakukan kegiatan usaha produktif/unproductiveness; tidak mempunyai daya/kemampuan untuk menjangkau akses sumber daya sosial dan ekonomi/inaccessibility; tidak mempunyai daya/kemampuan menentukan nasibnya sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalis/vulnerability; tidak mempunyai daya/kemampuan untuk membebaskan diri dari mental dan budaya miskin, serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah/no freedom for poor.

Fakir miskin adalah orang/keluarga yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang layak bagi kemanusiaan atau orang/keluarga yang mempunyai sumber mata pencaharian, tapi tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan (PP No. 42/1981).

/Pengertian Kemiskinan Menurut Islam/
Menurut bahasa, miskin berasal dari bahasa Arab yang sebenarnya menyatakan kefakiran yang sangat. Allah SWT. menggunakan istilah itu dalam firman-Nya:
أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ
“…atau orang miskin yang sangat fakir” (QS al-Balad : 16).

Adapun kata fakir yang berasal dari bahasa Arab: al-faqru, berarti membutuhkan (al-ihtiyaaj). Allah SWT. berfirman:
فَسَقَىٰ لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّىٰ إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِير
 …lalu dia berdoa, “Ya Rabbi, sesungguhnya aku sangat membutuhkan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku” (QS al-Qashash :24).

Dalam pengertian yang lebih definitif, An-Nabhani mengategorikan yang punya harta (uang), tetapi tak mencukupi kebutuhan pembelanjaannya sebagai orang fakir. Sementara itu, orang miskin adalah orang yang tak punya harta (uang), sekaligus tak punya penghasilan. (Nidzamul Iqtishadi fil Islam, hlm. 236). Pembedaan kategori ini tepat untuk menjelaskan pengertian dua pos mustahiq zakat, yakni al-fuqara (orang-orang faqir) dan al-masakiin (orang-orang miskin), sebagaimana firman-Nya dalam QS at-Taubah : 60.

Islam memandang bahwa masalah kemiskinan adalah masalah tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan primer secara menyeluruh. Syariat Islam telah menentukan kebutuhan primer itu (yang menyangkut eksistensi manusia) berupa tiga hal, yaitu sandang, pangan, dan papan. Allah SWT. berfirman: “Kewajiban ayah adalah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf” (TQS al-Baqarah : 233). Dan firmanNya: “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuanmu” (TQS ath-Thalaaq :6). Rasulullah SAW. bersabda: “Ingatlah, bahwa hak mereka atas kalian adalah agar kalian berbuat baik kepada mereka dalam (memberikan) pakaian dan makanan” (HR Ibnu Majah).

Dari ayat dan hadis di atas dapat dipahami bahwa tiga perkara (yaitu sandang, pangan, dan papan) tergolong pada kebutuhan pokok (primer), yang berkait erat dengan kelangsungan eksistensi dan kehormatan manusia. Apabila kebutuhan pokok (primer) ini tidak terpenuhi, maka dapat berakibat pada kehancuran atau kemunduran (eksistensi) umat manusia. Karena itu, Islam menganggap kemiskinan itu sebagai ancaman yang biasa dihembuskan oleh setan, sebagaimana firman Allah SWT.“Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan” (TQS al- Baqarah :268).

Dengan demikian, siapa pun dan di mana pun berada, jika seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok (primer)nya, yaitu sandang, pangan, dan papan, dapat digolongkan pada kelompok orang-orang yang fakir ataupun miskin. Oleh karena itu, setiap program pemulihan ekonomi yang ditujukan mengentaskan fakir miskin, harus ditujukan kepada mereka yang tergolong pada kelompok tadi. Baik orang tersebut memiliki pekerjaan, tetapi tetap tidak dapat memenuhi kebutuhan pokoknya dengan cara yang makruf, yakni fakir, maupun yang tidak memiliki pekerjaan karena PHK atau sebab lainnya, yakni miskin.

/Penyebab Kemiskinan/
Banyak ragam pendapat mengenai sebab-sebab kemiskinan. Namun, secara garis besar dapat dikatakan ada tiga sebab utama kemiskinan. Pertama, kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang; misalnya cacat mental atau fisik, usia lanjut sehingga tidak mampu bekerja, dan lain-lain. Kedua, kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM akibat kultur masyarakat tertentu; misalnya rasa malas, tidak produktif, bergantung pada harta warisan, dan lain-lain. Ketiga, kemiskinan stuktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat.

Dari tiga sebab utama tersebut, yang paling besar pengaruhnya adalah kemiskinan stuktural. Sebab, dampak kemiskinan yang ditimbulkan bisa sangat luas dalam masyarakat. Kemiskinan jenis inilah yang menggejala di berbagai negara dewasa ini. Tidak hanya di negara-negara sedang berkembang, tetapi juga di negara-negara maju.

/Peran Negara/
Menurut pandangan kapitalis, peran negara secara langsung di bidang sosial dan ekonomi, harus diupayakan seminimal mungkin. Bahkan, diharapkan negara hanya berperan dalam fungsi pengawasan dan penegakan hukum semata. Lalu, siapa yang berperan secara langsung menangani masalah sosial dan ekonomi? Tidak lain adalah masyarakat itu sendiri atau swasta. Karena itulah, dalam masyarakat kapitalis kita jumpai banyak sekali yayasan-yayasan. Di antaranya ada yang bergerak dibidang sosial, pendidikan, dan sebagainya. Selain itu, kita jumpai pula banyak program swatanisasi badan usaha milik negara.

Peran negara semacam ini, jelas telah menjadikan negara kehilangan fungsi utamanya sebagai pemelihara urusan rakyat. Negara juga akan kehilangan kemampuannya dalam menjalankan fungsi pemelihara urusan rakyat. Akhirnya, rakyat dibiarkan berkompetisi secara bebas dalam masyarakat. Realitas adanya orang yang kuat dan yang lemah, yang sehat dan yang cacat, yang tua dan yang muda, dan sebagainya, diabaikan sama sekali. Yang berlaku kemudian adalah hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang dan berhak hidup.

Kesenjangan kaya miskin di dunia saat ini adalah buah dari diterapkannya sistem Kapitalisme yang sangat individualis itu. Dalam pandangan kapitalis, penanggulangan kemiskinan merupakan tanggung jawab si miskin itu sendiri, kemiskinan bukan merupakan beban bagi umat, negara, atau kaum hartawan. Sudah saatnya kita mencari dan menerapkan sistem alternatif selain Kapitalisme, tanpa perlu ada tawar-menawar lagi.

/Solusi Islam Mengatasi Kemiskinan/
Allah SWT. sesungguhnya telah menciptakan manusia, sekaligus menyediakan sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan, tidak hanya manusia; seluruh makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakan, pasti Allah menyediakan rezeki baginya. Tidaklah mungkin, Allah menciptakan berbagai makhluk, lalu membiarkan begitu saja tanpa menyediakan rezeki bagi mereka. Allah SWT. berfirman: “Allahlah yang menciptakan kamu, kemudian memberikan rezeki” (TQS ar-Ruum : 40). Dan firmanNya: “Tidak ada satu binatang melata pun di bumi, selain Allah yang memberi rezekinya” (TQS Hud : 6).

Jika demikian halnya, mengapa terjadi kemiskinan? Seolah-olah kekayaan alam yang ada, tidak mencukupi kebutuhan manusia yang populasinya terus bertambah? Dalam pandangan ekonomi kapitalis, problem ekonomi disebabkan oleh adanya kelangkaan barang dan jasa, sementara populasi dan kebutuhan manusia terus bertambah. Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga terjadilah kemiskinan. Pandangan ini jelas keliru, batil, dan bertentangan dengan fakta.

Secara i’tiqadi, jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah SWT. untuk manusia pasti mencukupi. Meskipun demikian, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan benar, tentu akan terjadi ketimpangan dalam distribusinya. Jadi, faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya distribusi kekayaan. Di sinilah pentingnya keberadaan sebuah sistem hidup yang sahih dan keberadaan negara yang menjalankan sistem tersebut. Islam adalah sistem hidup yang sahih. Syariat Islam memiliki banyak hukum yang berkaitan dengan pemecahan masalah kemiskinan; baik kemiskinan alamiah, kultural, maupun struktural.
Wallahua'lam[].

Post a Comment

Previous Post Next Post