KEGAGALAN NEGARA SEKULER MENANGANI PENISTA AGAMA

Oleh : Ana Mardiana

Akhir-akhir ini, kasus penistaan agama terus terjadi baik berupa penghinaan atau pelecehan terhadap Allah, Rasulullah Saw. dan ulama maupun terhadap ajaran Islam yang mulia.

Baru-baru ini kita dihebohkan oleh pernyataan ibunda kita Sukmawati, Putri proklamator RI, dalam potongan video viral yang beredar, berani membandingkan Al-quran dengan pancasila, serta membandingkan mana yang lebih berjasa, antara sosok mulia Nabi Muhammad dengan ayahnya Ir. Soekarno.

Sukmawati tercatat memiliki rangkaian kasus kontroversial yang terkait dengan Islam. Tudingan penodaan agama pun sempat tersemat padanya. Saat ini pun beliau kini tengah dalam proses hukum di Polda Metro Jaya setelah dilaporkan dalam kasus penistaan agama.

Seruan yang dilontarkannya pada forum anak muda dengan tema membangkitkan nasionalisme, menangkal radikalisme, dan memberantas terorisme itu menuai kritikan, bahkan kecaman dari berbagai kalangan.

Sebelumnya, beliau juga pernah dilaporkan atas kasus dugaan penistaan agama. Namun, Mabes Polri akhirnya menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP3) karena tidak menemukan unsur pidana dalam kasus tersebut.

Dalam kasus itu, Sukmawati dilaporkan oleh sejumlah pihak atas dugaan penistaan agama ketika membacakan puisi berjudul Ibu Indonesia dalam acara peragaan busana Anne Avantie pada tahun 2018. Ia menganggap kidung lebih baik dari adzan, atau konde yang lebih baik dari cadar, sehingga sempat memicu aksi massa bertajuk Aksi Bela Islam 64 pada April 2018 lalu.

Ada lagi, baru-baru ini terjadi kasus penistaan agama oleh youtuber Atta Halilintar melalui sebuah vidio.Dalam video itu, Atta dan adik-adiknya terlihat sedang salat berjamaah dengan menggunakan baju muslim.  Dalam vidio tersebut terlihat Atta dan adik-adiknya melakukan hal-hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan dalam sholat. Hal ini membuat geram, dan memalporkan Atta ke pihak  berwajib.

Lain lagi, kasus penistaan terhadap baginda Nabi oleh seseorang yang berinisial IG. IG mengembangkan game daring dengan nama Remi Indonesia melalui bendera pengembang Paragisoft. Dalam game daring tersebut, muncul kata-kata kasar yang dialamatkan kepada Nabi Muhammad SAW dan Islam. 

Ditambah fakta miris, Ahok, seorang mantan narapidana penista agama, setelah dijeruji malah diangkat menjadi komisaris BUMN. 

Sungguh menyakitkan hati umat muslim Indonesia. Seolah semakin subur, terus-menerus negeri ini memproduksi penista agama.

Sebenarnya, sanksi terhadap penista agama di negeri ini sudah ada. Yaitu KUHP Pasal 156(a) yang isinya menyasar setiap orang yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apa pun.

Pelanggaran Pasal 156(a) dipidana penjara selama-lamanya lima tahun. Namun, apakah dengan sanksi lima tahun itu cukup? Terjaminkah sanksi yang dijatuhkan tak akan melahirkan para penista agama lagi? Nyatanya, UU yang dibuat seolah tebang pilih dan tak mampu melindungi agama. Sebab UU berasal dari idiologi sekuler-kapitalis. 

Dalam pengertian sekuler, agama hanya di ambil sebagai salah satu dari sekian nilai atau norma yang menjadi rujukan dalam pembuatan UU. 

Keberadaan agama dalam idiologi sekuler-kapitalis bukanlah satu-satunya rujukan dalam mengatur kehidupan manusia. Maka sangat wajar jika akhirnya agama dengan bebas dapat dinistakan oleh orang-orang kafir atau bahkan yang beragama Islam sekalipun. Padahal, seharusnya agama menjadi satu-satunya sumber konstitusi dan perundang-undangan, dan agama harus menjadi arah pandang kehidupan umat manusia.

Jika Islam tidak diposisikan sebagai landasan konstitusi dan arah pandang manusia, namun hanya sebatas salah satu nilai yang ada di masyarakat, jangan pernah berharap pelecehan terhadap agama berhenti. Sebab kebaradaan idiologi sekuler-kapitalis yang masih diadopsi oleh Negara ini akan terus menumbuh kembangkan para pelaku penista agama dan ukum-hukum yang di adopsi bukanlah membuat efek jera bagi pelaku. Dalam menghadapi kasus ini, apakah pemerintah dapat turun tangan?. Kenyataannya pemerintah tidak serius menangani kasus penistaan agama ini, pemerintah malah justru membuat narasi dan memfitnah islam sebagai teroris dan radikal. 

Dalam idiologi sekuler-kapitalis, Islam di musuhi, syariatnya di hina dan anggap sebagai ajaran sesat. Bagi pemeluknya yang teguh pada syariat serta menjalankan ajaran agamanya, dicap sebagai teroris, radikal, garis keras,intoleran dan lain sebagaianya penyematan negatif yang menyakitkan. Dapat kita lihat, sesungguhnya idiologi sekuler-kapitalis lah yang menjadi biang dari segala kerusakan-kerusakan di berbagai belahan dunia. 

Andaikan saja  Indonesia menjadikan Islam sebagai satu-satunya sumber konstitusi dan perundang-undangan, menerapkan syariat Islam dengan kaffah, termasuk memberikan hukum mati pada penghina Nabi, niscaya agama ini akan terlindungi, marwah Rasulullah akan terjaga. Semoga Indonesia menjadi negeri yang berkah dan terbebas dari para penista agama.

Wallahu'alam

Post a Comment

Previous Post Next Post