Berdampakah KTT ASEAN Terhadap Ekonomi Indonesia ?

Oleh : Anggun Permatasari

Laman berita online Suara Tani.com mewartakan, "Presiden Joko Widodo didampingi Ibu Negara Iriana bertolak menuju Bangkok, Thailand, dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Sabtu (2/11/2019) pagi, untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-35.

KTT ASEAN tahun ini digelar pada 2 hingga 4 November 2019 dengan tema Memperluas Kerja Sama untuk Keseinambungan (Advancing Partnership for Sustainability). ASEAN Summit 2019 akan difokuskan membahas kepastian kemitraan negara anggota ASEAN dan negara lainnya bagi keberlanjutan kemajuan di kawasan.

Presiden Jokowi juga mengatakan, Indonesia akan mengajak seluruh anggota ASEAN untuk bersama membangun infrastruktur yang berkaitan dengan konsep Indo-Pasifik.

Apabila kita jeli melihat slogan dari KTT ASEAN tersebut, jelaslah bahwa masalah ekonomi masih menjadi isu utama yang mendominasi. Tentunya, peran Indonesia sangat penting dalam memberikan dukungan dan keuntungan bagi negara-negara anggota ASEAN karena Indonesia merupakan salah satu pelopor berdirinya ASEAN.

Namun, di tengah kisruh masalah perekonomian dalam negeri yang semakin carut-marut, yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah pertemuan tersebut memberi sumbangsih terhadap perbaikan ekonomi bagi Indonesia?

Seperti kita ketahui, program-program kerjasama antar negara-negara anggota, sejatinya justru membuka lebar-lebar pintu hutang berkedok investasi dan derasnya impor tenaga kerja asing serta barang-barang luar negeri yang dijual murah di dalam negeri. Sehingga membuat persaingan tidak sehat dengan produksi dalam negeri.

Program kerjasama ASEAN pada dasarnya tidak lepas dari konsep indo-pasifik Amerika Serikat (AS) dan memastikan kerjasama proyek infrastruktur  dalam konteks indo-pasifik berjalan mulus.  Ini terjadi karena posisi AS saat ini masih sebagai poros kekuatan ekonomi global. Dan sudah menjadi pemahaman bersama, bagi AS semua negara merupakan kompetitor.

Tentunya, hal ini akan mengubah interaksi dan negosiasi negara-negara dari yang awalnya kerja sama dengan mengedepankan nilai-nilai yang tertuang dalam piagam PBB dan HAM serta konsensus bersama menjadi persaingan yang mengedepankan kompetisi. 

Bisa dipastikan KTT tersebut hanya akan menghasilkan program-program yang dapat  semakin menguatkan kepentingan negara penjajah khususnya AS (konsep Indo-Pasifik) dalam bidang ekonomi dan politik serta bisa merampas kedaulatan dan menghisap kekayaan di negeri ini.

Secara sadar atau tidak, Indonesia saat ini sudah terbawa arus sistem ekonomi sekuler kapitalis liberalis yang memberi kebebasan pada individu dalam mengelola sumber daya alam. Sehingga siapa yang memiliki modal terbesar bisa dengan leluasa menguasainya.

Hal ini membuat negara sebagai pembuat peraturan dan undang-undang tunduk pada para pemodal dan secara otomatis melemahkan peran negara sebagai regulator. Mau tidak mau negara akan berjalan sesuai keinginan para pemodal.

Riba dijadikan dasar utama dalam transaksi dan utang piutang yang tentunya akan membebani negara debitur (penghutang). Dan tentunya utang atas nama investasi sebagai alat pengikat oleh negara maju (penjajah) kepada negara berkembang semakin menyeret Indonesia dalam pusaran arus ekonomi dunia yang masih menghamba pada sistem rusak tersebut.

Dan posisi Indonesia sebagai anggota ASEAN membuat Indonesia mau tidak mau ikut aturan main segala bentuk perjanjian kerjasama yang di dalamnya sarat proyek-proyek berkedok investasi. 

Harusnya, pemerintah lebih fokus terhadap penyelesaian pekerjaan rumah yang menumpuk. Dan tentunya kesejahteraan rakyat harus diutamakan ketimbang mengedepankan program-program kerjasama internasional yang nyata-nyata justru menambah daftar panjang masalah negeri. 

Pengelolaan sumber daya alam secara mandiri dan melakukan penyuluhan guna meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pemanfaatkan sumber daya karunia Allah swt. sejatinya akan membuat Indonesia memiliki integeritas.

Akan tetapi, menjadi negara yang memiliki integeritas dan mandiri secara ekonomi dan politik  hanyalah mimpi di siang bolong selama masih berkubang dalam sistem sekuler ekonomi kapitalis liberalis.

Buktinya,  seperti yang disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemerintah telah mencetak utang baru hingga 30 September 2019 sebesar Rp 317,7 triliun. Hal tersebut tertuang dalam realisasi pembiayaan utang per September 2019. Cnbcindonesia.com.

Dari penjabaran di atas, sangat tampak bahwa sistem ekonomi sekuler kapitalis liberalis merupakan biang terjadinya krisis ekonomi berkepanjangan yang tidak hanya melanda Indonesia namun negara-negara dunia. 

Berbeda dengan sistem Islam yang khas, sistem ekonomi Islam menjadikan hukum syara dan prinsip halal-haram menjadi tolak ukurnya. Allah swt. berfirman, "Kami telah menurunkan kepada kamu (Muhammad) al-Quran sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (TQS an-Nahl: 89).

Sumber daya alam dikuasai dan dikelola secara penuh oleh negara agar manfaatnya bisa didistribusikan secara merata bagi masyarakat. "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Penguasaan sumber daya alam tidak sembarang diberikan kepada individu apalagi pihak asing. Sehingga, negara dipastikan tidak akan bergantung pada negara manapun dan mandiri. 

Hubungan kerjasama international dalam Islam sangat menghormati prinsip-prinsip keadilan, kesepakatan dan fakta perjanjian. Hubungan dijalin hanya sebatas ijaroh sehingga pihak asing tidak dengan mudah menguasai aset negara.

Dan akidah sebagai landasan berpikirnya menjadikan tujuan hubungan luar negeri tidak semata-mata untuk kepentingan ekonomi, melainkan untuk menyebarluaskan dakwah Islam. Oleh karena itu, tidak akan ada penjajahan berkedok kerjasama atau bantuan.

Allah swt. berfirman, "Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita dan pemberi peringatan." (QS Saba: 28)

Tentunya semua ini tidak akan terwujud tanpa adanya institusi yang menaungi yaitu negara yang berbasis sistem kekhilafahan sebagai pelaksana hukum Allah secara sempurna dan paripurna. Wallahualam. 

Post a Comment

Previous Post Next Post