Apakah Isu Radikalisme Legitimasi Memecah Belah Umat ?

Oleh : Anggun Permatasari

Isu radikalisme tampaknya semakin hari semakin merebak di masyarakat. Tidak terkecuali di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Baru-baru ini 12 Kementerian dan Lembaga menandatangani SKB untuk tangani radikalisme ASN. 

Seperti yang diberitakan di laman media online CNN Indonesia, "Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) bersama sejumlah kementerian/lembaga terkait menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang penanganan radikalisme bagi kalangan aparatur sipil negara (ASN)."

Terdapat 11 kementerian/lembaga yang ikut menandatangani SKB tersebut, yakni Kemenko Polhukam, Kemendagri, Kemendag, Kemenkominfo, Kemendikbud, Kemenkumham, BIN, BNPT, BIPP, BKN, KASN.

Deputi Bidang SDM Aparatur Kementerian PANRB Setiawan Wangsaatmaja mengatakan SKB tersebut sebagai langkah antisipasi terhadap maraknya isu radikalisme di kalangan ASN.

Menurut sejumlah laporan, fakta di lapangan menyebut kondisi ASN yang terpapar paham radikal sudah dalam kategori gawat. Hal tersebut diketahui dari adanya gerakan yang mengarah kepada apa yang disebut sebagai anti-Pancasila di lingkungan ASN.

Oleh sebab itu, seiring penandatanganan SKB untuk menangani radikalisme ASN pemerintah juga membuat portal aduan untuk melaporkan ASN atau PNS yang menyebarluaskan konten-konten radikalisme. Radikalisme yang dimaksud adalah meliputi sikap intoleran, anti-pancasila, anti-NKRI, dan menyebabkan disintegrasi bangsa.

Tempo.co.id mewartakan, "Pemerintah meluncurkan portal aduan untuk menekan radikalisme di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Portal  aduanasn.id digunakan untuk menampung pengaduan masyarakat terhadap ASN radikal.

Sangat disayangkan, sebenarnya pembentukan kanal pelaporan terhadap Aparatur Sipil Negara yang diduga mendukung dan terlibat radikalisme, dinilai tidak perlu karena tidak diatur dalam peraturan perundangan.

Dalam konteks demokrasi, kritik sangat diperlukan dari siapapun. Tidak hanya dari masyarakat umum, namun juga dari internal penyelenggara negara.

Pengertian radikalisme itu sendiri juga masih sumir. Apabila kita mempelajari dengan seksama, sesungguhnya istilah radikalisme tidak dikenal dalam nomenklatur hukum bahkan tidak ada definisi bakunya. Diksi radikalisme hanya merupakan isu politik yang seolah digunakan sebagai legitimasi hukum.

Sepertinya ada motif politik dibalik disebarkannya isu radikalisme. Sementara, hukum adalah alat untuk melegitimasi kebijakan politik dengan isu radikalisme sebagai umpannya. Dan lebih tampak sebagai alat politik yang diterapkan untuk menghakimi lawan politik dengan tudingan sepihak oleh pihak pemilik otoritas.

Dari SKB 12 kementerian, pemerintah mengharapkan seluruh pintu berkembangnya radikalisme tertutup. Padahal apa yang dianggap radikalisme lebih dominan bermuatan politis untuk memenangkan kepentingan rezim. 

Banyak kalangan intelektual mengatakan, kanal tersebut hanya menunjukkan kegagalan pemerintah dalam membina pegawai. Konsep utama dalam tubuh ASN adalah pembinaan. Sehingga ketika terjadi hal yang melenceng pada ASN, hendaknya dilakukan pembinaan secara cepat, bukan dengan sanksi apalagi sampai pemecatan yang bersangkutan.

Adanya kanal aduan justru berpotensi menjadi alat represi pemerintah terhadap kritik yang disampaikan masyarakat khususnya ASN.

Apabila ditinjau lebih dalam, diksi anti radikalisme sejatinya merupakan sebuah legitimasi untuk memecah belah umat dan memata-matai sesama warga negara. Hal ini pada akhirnya akan mengikis rasa saling percaya antar warga di masyarakat.

Melalui situs aduan, anak negeri diprovokasi menjadi mata-mata bagi sesamanya. Tindakan tersebut hanya akan mengembangkan sikap saling curiga antar warga yang berujung ketidak harmonisan hubungan di kehidupan sosial masyarakat.

Sangat miris, pemerintah yang seharusnya menjadi pihak yang menciptakan suasana nyaman dan mengedepankan ukhuwah bagi masyarakat, justru membuat gaduh dengan isu murahan seperti itu. 

Allah swt. melarang umat Islam untuk memata-matai sesama muslim. Istilah mata-mata dalam Islam adalah tajassus. Dalam Islam, tajassus bertujuan hanya untuk menyelidiki kekuatan musuh mulai dari strategi yang digunakan musuh, kekuatan personil, juga perbekalan yang dimiliki untuk dilaporkan kepada pimpinan pasukan. Orang yang menyelidiki rahasia atau keadaan orang lain disebut mata-mata (al-jasus).

Konteks mata-mata yang dibahas kali ini adalah dalam peperangan. Bukan dalam sebuah kegiatan untuk mengetahui kejelekan orang lain dan menyebarluaskan kepada orang lain. Hal ini Allah SWT jelas melarangnya.

Allah swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” (Al-Hujurat ayat 12).

Dalam surat Albaqoroh ayat 191 Allah swt. berfirman: "Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan."

Rasulullah saw. bersabda, "Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.”

Sangatlah terang benderang apabila kita mau mengkaji Alquran dan hadist Nabi lebih dalam, ada banyak ayat-ayat yang menjelaskan larangan mencari-cari kesalahan orang lain yang menjadi bahan ghibah apalagi sampai jatuh fitnah. 

Islam merupakan agama yang sempurna. Syariat Islam mengatur hak dan kewajiban hubungan manusia untuk saling menghormati satu sama lain. Karena itu, Islam sangat menjamin hak-hak setiap individu maupun masyarakat dan melarang perbuatan yang mengganggu hak-hak pribadi maupun menyebar aib dari setiap manusia.

Oleh karena itu, marilah kita kembali pada aturan alquran dan assunnah dalam membina kehidupan bermasyarakat dan bernegara agar tercipta kerukunan dan keharmonisan antar warga.

Post a Comment

Previous Post Next Post