Papua dan Referendum

Oleh : Heni Kusmawati, S.Pd

Kasus Papua terus memanas. Masyarakat Papua menuntut pemerintah agar mengizinkan Papua melakukan referendum demi memisahkan diri dari Indonesia. Tuntutan tersebut disuarakan oleh mahasiswa Papua dengan melakukan demonstarasi di depan istana merdeka pada tanggal 28 Agustus 2019. Sebelum bergerak ke istana, mereka berunjuk rasa di depan Markas Besar TNI Angkatan Darat. Empat bendera bintang kejora mereka kibarkan di depan istana. Selain bendera, baju dengan lambang bintang kejora juga dikenakan hingga di tubuh pun digambarkan bendera bintang kejora (CnnIndonesia.com).

Menanggapi tuntutan masyarakat Papua, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto tidak menyetujui tuntutan tersebut, karena referendum sudah tidak relevan, NKRI sudah final. Menurut Wiranto, referendum lazimnya digagas oleh suatu negara yang terjajah, di mana mereka bisa memilih untuk merdeka atau bergabung dengan negara yang menjajahnya (tirto.id).

Berbeda dengan Wiranto, Usman Hamid selaku Direktur Amnesty Internasional Indonesia, menyepakati tuntutan referendum masyarakat Papua karena itu adalah hak dasar mereka. Pemerintah harusnya memfasilitasi dan melindungi siapapun yang ingin menyampaikan pendapat atau permintaannya selama disampaikan secara damai. Apalagi HAM adalah amanat undang-undang.

Referendum sendiri adalah salah satu upaya yang dilakukan oleh kafir barat untuk memecah belah negeri jajahannya. Tak luput dari ingatan bagaimana Timor Timur yang dulunya adalah bagian dari wilayah Indonesia, kemudian berhasil melepaskan diri dari Indonesia setelah dilakukan referendum. Bukan tidak mungkin, hal yang sama pun akan dialami oleh Papua. Apa yang diinginkan barat sangat terlihat jelas dari kasus Papua.

Pada tahun 2000, Papua barat mengadakan kongres nasional Papua Barat yang menginginkan keluar dari NKRI kemudian membentuk negara baru. Kongres tersebut tidak hanya dihadiri oleh warga Papua, negara-negara asing seperti AS, Australia, Afrika dan negara-negara lain juga ikut hadir di dalamnya (m.republika.co.id, 24/2/2017).

Kehadiran negara-negara asing di Papua adalah bentuk dukungan mereka agar Papua bisa merdeka dari Indonesia. Terlebih Papua adalah wilayah yang terkenal dengan sumber daya alamnya yang melimpah. Kisruh papua adalah kesempatan bagi kafir barat untuk mencapai tujuan yang diinginkan yakni menguasai sumber daya alam yang ada di dalamnya. Selain itu, juga ingin melanggengkan penjajahan di wilayah tersebut.

Semestinya negara Indonesia mencarikan solusi tuntas atas kisruh Papua karena sudah menjadi tanggung jawabnya.  Jangan sampai terulang kembali seperti Timor Timur. Sangat disayangkan jika Papua benar-benar melepaskan diri dari Indonesia karena akan membuka peluang bagi wilayah-wilayah lain menuntut hal yang sama.  Dan ini menjadi hal yang sangat menggembirakan bagi kafir barat. Karena memang itulah tujuan kafir barat memecah belah negara yang satu menjadi negara-negara kecil. 

Fakta menunjukkan bagaimana kafir barat memecah belah daulah khilafah menjadi 50 negara seperti saat ini. Hal yang sama akan terus mereka lakukan. 


 Apalagi Indonesia adalah negeri yang tergantung pada negara asing. Setiap ada masalah ekonomi dalam negeri, solusinya adalah dengan berutang. Ditambah lagi utang tersebut mengandung riba. Pemberian utang oleh kafir barat tidaklah gratis tetapi ada inpasnya.

Sebuah negara harusnya menjadi junnah dan pemelihara urusan rakyat. Seperti halnya negara islam pertama yang didirikan di Madinah oleh Rasulullah Saw.

Sistem kepemimpinan negara ini unik. Berbeda dengan sistem lain yang ada saat ini. Sistem kekhilafahan yang pemimpinnya memiliki dua fungsi yakni sebagai pengurus dan perisai bagi umat. Fungsi sebagai pengurus umat sebagaimana yang disabdakan Rasulullah :

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Sebagai pengurus umat tergambar dari sikapnya khalifah Umar bin Abdul Aziz yang berusaha memakmurkan rakyat selama 2,5 tahun hingga tidak ada satu pun rakyatnya yang menerima zakat. 

Adapun fungsi sebagai perisai sebagaimana sabda beliau :

”Sesungguhnya al-Imam (Khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll).

Seorang khalifah atau pemimpin akan melindungi rakyatnya dari serangan musuh yang berusaha mencelakai kaum muslim, mencegah manusia yang satu dengan lainnya untuk saling mencelakai. Termasuk juga melindungi rakyatnya dari kelompok-kelompok pembuat kerusakan. 
Wallahua'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post