Jangan Timor Lestekan Papua

Oleh: Mahdiah S. Pd 
(Pemerhati Sosial) 

Tuntutan Papua merdeka hingga detik ini masih memanas. 

Dilansir dari TEMPO.CO (22/08/2019), Ratusan orang yang tergabung dalam aliansi Mahasiswa Papua menggelar aksi unjuk rasa di seberang Istana Merdeka, mereka mengecam diskriminasi rasial yang diterima oleh mahasiswa Papua serta menyuarakan keinginan untuk merdeka. 

Apa yang menyebabkan Papua bergejolak? Apakah soal diskriminasi rasial semata? Merujuk pada buku Papua Road Map yang diterbitkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2009, akar masalah yang terjadi di Papua meliputi: peminggiran, diskriminasi, termasuk minimnya pengakuan atas kontribusi dan jasa Papua bagi Indonesia. Tidak optimalnya pembangunan infrastruktur sosial di Papua, khususnya pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan rendahnya keterlibatan pelaku ekonomi asli Papua. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang belum dapat diselesaikan, khususnya kasus Wasior, Wamena, dan Paniai, dan lain-lain. Kondisi tersebut diperparah dengan munculnya tuntutan referendum. 

Tuntutan referendum juga pernah terjadi pada Timor Timur beberapa tahun yang lalu. Timor Timur bergejolak setelah 22 tahun di bawah pemerintahan Soeharto. Titik klimaksnya setelah melalui referendum penentuan pendapat rakyat tanggal 30 Oktober 1999, NKRI kehilangan Timor Timur. Kemudian resmi menjadi negara Timor Leste pada 20 Mei 2002. Setelah Timor Timur memisahkan diri, krisis multi dimensi yang terjadi semakin parah. Tingginya angka kemiskinan, tingginya pengangguran, hancurnya infrastruktur, jaringan transportasi dan komunikasi runtuh, dan lain sebagainya. 

"Kota ini tidak memiliki penerangan jalan dan sangat banyak rumah yang hancur. Di luar Dili, kondisinya lebih buruk, " Laporan United Nations Development Programme (UNDP) juga menyebutkan, Timor Leste berada diperingkat 152 negara termiskin di dunia dari 162 negara.

Berkaca dari nasib Timor Leste pasca memisahkan diri dari NKRI, seharusnya menjadi catatan sejarah yang penting bagi setiap wilayah yang berada di negeri ini. Jangan sampai masyarakat Papua terprofokasi oleh gerakan yang menginginkan disintegrasi. Terlebih gejolak yang terjadi di Papua tidak terlepas dari kepentingan sekelompok elit politik dan negara-negara besar di belakangnya. 

Menurut Taufik Setia Permana - Geopolitical Institute. Gejolak Papua terjadi karena ada campur tangan asing. Indonesia harus mencermati 'dalang' di balik tuntutan referendum ini. Sebab, masyarakat kecil kebanyakan sebetulnya tidak begitu paham dengan referendum tersebut. Sekelompok elit politiklah yang sebenarnya bermain dengan membangun jejaring baik di pusat kekuasaan maupun jejaring internasional (pihak gereja dan LSM-LSM asing). Namun, sesungguhnya mereka hanyalah 'alat'. Kepentingan negara-negara besarlah, khususnya Amerika dan Australia, yang memainkan peran penting di Papua.

Jadi jelaslah alur tuntutan referendum Papua sejatinya serupa dengan yang pernah terjadi di Timor Timur. Dengan memisahkan diri, sebuah negara akan menjadi lemah. Dalam kondisi lemah tersebut akan mudah untuk dicaplok (dikuasai). Oleh karena itu, penting untuk mengokohkan dan menjaga persatuan serta meninggalkan pemikiran-pemikiran batil termasuk pemikiran disintegrasi. Satu-satunya sistem yang mampu menjaga persatuan adalah sistem Islam. Menjaga keutuhan wilayah dalam pandangan Islam adalah wajib dan haram memisahkan diri. Hal ini didasarkan pada hadis nabi. Dari Arfajah, ia berkata: aku mendengar Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda:

"Jika ada orang yang datang kepada kalian, ketika kalian telah sepakat terhadap satu orang (sebagai pemimpin), lalu dia ingin merusak persatuan kalian atau memecah jama’ah kalian, maka perangilah ia”. (HR. Imam Muslim, nomor 1852)

Wallahu'alam bishowab...

Post a Comment

Previous Post Next Post