Hatimu Yang Bersamanya

By: Nelliya Azzahra

Di sebuah pemakaman umum, tampak sosok yang yang tengah berdoa dengan takzim. Setelah itu dia mengusap pelan nisan yang bertuliskan nama 'Syadatun Azzahra'

Nama itu yang 5 tahun ini telah bertahta di hatinya. Menjadi bidadari dunia, insyaallah juga bidadari Surga. 

Rasanya baru kemarin mengecap manisnya pernikahan. Tapi qodho Allah berkata lain. Kecelakaan 1 tahun lalu, membuat mereka berpisah untuk selama-selamanya. Allah Swt, ternyata lebih menyayangi bidadari_Nya itu.

'Syaida' itu nama yang biasa dia panggil untuk almarhumah istrinya. Wanita yang lemah lembut, berbalut akhlak solih. 

Senyumnya, selalu terbit saat mereka bersama. Azzam merasa menjadi laki-laki yanga beruntung memiliki istri yang menyejukkan sepertinya. Selama 5 tahun pernikahan mereka, amanah itu belum juga hadir di tengah-tengah mereka. Namun, kenyataan itu tidak sedikitpun mempengaruhi keharmonisan rumahtangga mereka.

"Zam, ayo kita pulang! Bukankah kita harus balik ke kantor sekarang" Azzam tersentak dari kenangannya bersama Syaida. Dan saat ini dia harus kembali kepada kenyataan . Bahwa bidadari itu, telah kembali kepada penciptanya_Nya.

"Ayo, Ndre. Maaf membuatmu menunggu lama" kami pun beranjak meninggalkan pemakaman tempat peristirahatan terakhir 'Syaidatun Azzahra".

Jam 5 sore kami keluar dari kantor. Aku segera melajukan mobil kerumah orangtua ku.
Aku, memang lebih sering di rumah orangtuaku. Rasanya ada ribuan rantai di kaki, ketika akan menginjak rumah yang penuh kenangan bersama Syaida. Setiap sudutnya, mengingatkan akan waktu yang kami habiskan bersama.

Ditambah, ada seseorang yang sangat ingin ku hindari. Dialah 'Hani' wanita yang kunikahi 5 bulan lalu.

Pernikahan ini terjadi karena permintaan terakhir Syaida. Aku tidak kuasa menolak keinginan wanitaku itu diakhir hidupnya.
Jika, mengingat kejadian hari itu, hatiku terasa perih.

Aku cukup lama mengenal Hani, sejak dia berteman dengan Syaida. Dia wanita solehah dan berpendidikan. Hanya saja, Hani mengidap penyakit yang cukup parah. Tapi aku tidak tahu pastinya sakit apa dia idap.

"Azzam, bagaiman hubunganmu dengan Hani, nak?" Bunda bertanya dengan wajah sendunya. Sudah bukan rahasia lagi bagi keluargaku dan keluarga Hani sendiri. Bahwa aku masih membutuhkan waktu untuk menerima segala takdir dari_Nya. Mereka seakan paham dengan kondisku yang baru saja ditinggalkan Syaida. Dan kini harus menikahi sahabat dekatnya. Sahabat yang paling Syaida kasihi.

"Begitulah, Bunda" aku tidak ingin membahas tentang ini lagi.

"Azzam, kau tidak boleh seperti itu terus. Kau tahu, Hani pasti terluka dengan sikapmu. Dia pernah cerita pada Bunda, apa yang membuatmu seakan membencinya. Padahal kau sendiri yang menginginkan dia menjadi istrinya"

"Ralat Bunda, bukan aku tapi Syaida" potongku cepat.

"Tapi kau menyetujuinya. Artinya kau menerima. Nak, berdamailah dengan hati mu, cintai Hani, selayaknya kau mencintai Syaida. Bukan karena ada hal yang ditinggalkan Syaida padanya. Tapi, karena dia adalah istrimu" kulihat airmata Bunda sudah mengalir  membasahi muka keriputnya.

Ya Allah. Ampunilah hamba. Jangan sampai hamba menjadi suami yang zolim.

Hani pov*
 
Hari ini aku masak makanan kesukaan mas Azzam. Bunda, ibu mertuaku memberikan daftar menu makanan kesukaan mas Azzam. Aku ingin membuat dia senang. Meski semua harapan ku berakhir dengan kekecewaan. Tapi, aku tidak ingin menyerah. Aku berdoa semoga Allah Swt melembutkan hatinya. Lalu,  bersedia menerima pernikahan ini dan menerima aku seutuhnya sebagai seorang istri.

Aku pun sempat terkejut, saat mas Azzam melamarku, padahal saat itu mbak Syaida baru  beberapa bulan meninggal. Akibat kecelakaan saat dia pulang dari rumah Ibunya. Saat itu dia menyetir sendiri. Tapi, dia hanya memberikan alasan kalau ingin menikahiku saja. Dan anehnya, ada rasa dalam diriku yang seakan mendorongku untuk menerima lamarannya. Jadilah, kini aku menggantikan posisi mbak Syaida. Menjadi istri dari Azzam Ibrahim. Suami sahabat terbaikku.

Mas Azzam dulunya ramah, tidak dingin seperti sekarang. Dia pria berumur 33 Tahun, tampan lagi mapan.

Aku tersadar saat ku dengar deru mobil mas Azzam. Aku segera merapikan kerudung dan gamisku. Lalu, melihat makanan yang sudah kutata di atas meja. 

Lalu, aku membuka pintu. Tampak mas Azzam langsung masuk mendahuluiku.  Aku pun mengejarnya lalu mengambil tas kerjanya dan mencium tangannya.

"Mas, Ayo makan. Aku masak makanan kesukaanmu" aku tersenyum lembut kearahnya.

"Aku, sudah makan dirumah Bunda"  jawabnya dingin.

"Tapi, aku sudah masak mas" jujur saja ada rasa kecewa hatiku.

"Aku, tidak memintamu masak!" lalu dia pun berlalu kedalam masuk kedalam kamar.

Lolos airmata yang berusaha kutahan. Apa? Aku sibuk memasak dari tadi. Bahkan malam ini aku belum makan, hanya ingin menunggu makan bersamanya. Mas, kenapa kau nikahi aku jika tidak pernah sekalipun menganggapku ada. Aku tau diri, tidak mungkin aku bisa menggantikan mbak Syaida, wanita luarbiasa itu.
Tapi, biarlah aku menempati sedikit saja ruang dalam hatimu. 
Akupun segera membereskan meja makan. Rasa laparku pun hilang sudah.

Setelahnya, aku menyusul masuk kamar, kulihat mas Azzam sudah tidur. Aku pun segera tidur di sebelahnya. Kami memang berdekatan. Tapi, seakan ada jurang yang sangat dalam memisahkan. Tanganku tak mampu menggapainya.

**
Seperti biasa aku subuh sudah berada di dapur untuk membuatkan sarapan sebelum mas Azzam ke kantor. Walau, lebih sering dia tidak memakan sarapan yang kubuat.

"Kau!" Spatula di tangan ku terlepas seketika. Saat ku dengar suara mas Azzam yang naik beberapa oktaf dari biasanya. Aku segera berbalik. Apa lagi kali ini? Bathinku.

"Lepaskan kerudung yang kau pakai itu!" Dia mengangkat jari telunjuknya mengarah ke kepalaku. Akupun meraba kerudungku.

"Ini, Kenapa mas?"

"Siapa yang mengizinkan kau memakai barang Syaida, hah!" 

Ya Allah, aku baru tahu apa yang dia maksud. Tadi pagi saat aku merapikan lemari di dalam kamar. Tidak sengaja aku menemukan kerudung mbak Syaida. Aku mencium wanginya yang tertinggal di kerudung itu. Membuat aku teringat dan merindukannya. Lalu, aku pun memakainya untuk mengobati rasa rinduku.

"Maaf, mas. Aku pakai tanpa izin dulu" cicitku.

"Lepaskan segera!. Dan letakkan di tempat semula" 

Aku pun segera ke kamar. Dalam kamar tangisku pecah. Sampai kapan aku akan bertahan. Ya Robbi tolong berikanlah kekuatan aku untuk bertahan. Aku yakin semua terjadi atas kehendak_Mu.

Aku seperti biasa, hari ini di rumah saja. Saat aku melihat ke jendela, tampak debu yang mulai menumpuk.  Sepertinya aku perlu bersih-bersih hari ini.
Akupun mulai membersihkan seisi kamar.
Lalu, tanpa sengaja aku menjatuhkan map berwarna merah. Penasaran, aku membukanya.

Dengan tangan gemetar, aku menutup mulutku. Tubuhku lemas seketika airmataku luruh tanpa isakan sama sekali. Ya Allah..apakah benar yang aku lihat saat ini. Rahasia apa lagi ini ya Allah.. 
Aku mencoba menguatkan tubuh dan hatiku. Ku raih gawaiku di atas nakas. Dan ku pesan taxi. Tujuanku adalah kantor tempat mas Azzam bekerja.

Kini taxi yang membawaku berhenti tepat di depan kantor mas Azzam. Setelah membayar. Aku setengah berlari masuk. Lalu, aku sampai diruangan mas Azzam.

Tok ...tok "assalamualaikum"

" walaikumsalam" kudengar jawaban dari dalam. Aku pun mendorong pintu dan masuk.
Kulihat wajah terkejut mas Azzam. Aku memang tidak pernah ke kantornya.
Aku meletakkan map merah itu di mejanya.

"Jelaskan ini mas. Aku mohon. Jangan mempermainkan hidupku" aku tidak kuasa lagi menahan airmataku.

Mas Azzam membuka dan betapa terkejutnya dia. Lalu beralih menatapku.

"Apa benar hatiku saat ini milik mbak Syaida? Jawab mas ... jawab"

"Iya"

"Bagaimana bisa?"

"Saat Syaida kecelakaan, dia meminta kepadaku untuk menberikan hatinya, jika dia tidak selamat. Dan setelah melalui berbagai tes. Dia cocok sebagai pendonor. Kau, dan Syaida, sama-sama sekarat waktu itu. Lalu, setelahnya terjadilah proses trasplantasi hati padamu, dengan hati yang didonorkan Syaida" kulihat satu airmata lolos dari mata mas Azzam.

"Dan dia meminta merahasiakan semua dari mu. Termasuk permintaannya untuk aku menikahimu"

Aku bagai di hujam ribuan panah. Satu-satu kenyataan terkuak. Hati ini, milik mbak Syaida. Aku memang mengalami gagal fungsi hati. Tapi tidak pernah menyangka jika pendonornya  mbak Syaida. Lalu, permintaan menikahi? Apa lagi itu. Jangan bilang karena aku kini memiliki hati mbak Syaida lalu mas Azzam menikahiku.

"Itu artinya, mas menikahiku karena hati ini milik mbak Syaida?" Aku menatap lekat kearahnya.

"Jika iya, tega sekali kau mas. Aku ... aku kecewa padamu. Yang harus kau tau. Hati ini memang milik mbak Syaida. Tapi, ragaku bukan. Aku 'Hani' bukan 'Syaida' " lalu aku berbalik pergi membawa ribuan luka.

Azzam pov*

Aku tidak mengira Hani akan datang kekantor. Dan yang membuat aku terkejut adalah dia mengetahui rahasia yang selama ini kami tutup rapat. Jujur, ada rasa tidak tega melihat betapa terluka dan kecewanya dia. Ingin aku merengkuhnya, bagaimana pun aku ini suaminya. Maafkan aku Hani. Bukan salah takdir Allah yang menyatukan kita. Tapi hatiku, hatiku yang belum ikhlas menerima ini semua. Aku mohon beri aku kesempatan. Biar aku mencobanya.
Sebelum pulang aku mampir di sebuah masjid. Aku masih ragu untuk bertemu Hani.
Lalu, aku mendengar ceramah ustad di masjid ini.

Allah SWT berfirman, "Dan bergaullah dengan mereka secara patut (dengan cara yang baik)... " (QS an-Nisaa [4] :19)

Rasulullah Saw bersabda:
Ø®َÙŠْرُÙƒُÙ…ْ Ø®َÙŠْرُÙƒُÙ…ْ Ù„ِØ£َÙ‡ْÙ„ِÙ‡ِ ÙˆَØ£َÙ†َا Ø®َÙŠْرُÙƒُÙ…ْ Ù„ِØ£َÙ‡ْÙ„ِÙŠ

“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istrinya dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap istriku” (HR At-Thirmidzi no 3895 dari hadits Aisyah dan Ibnu Majah no 1977 dari hadits Ibnu Abbas dan dishahihakan oleh Syaikh Al-Albani.

Aku merasa tertampar, apakah aku sudah begitu zalim selama ini. Ya Allah berikan kesempatan aku untuk memperbaikinya.

1bulan berlalu, hubungan ku dengan Hani, semakin terasa jauh. Dia tetap menjalankan kewajibannya. Tapi tidak ada lagi wajah ceria yang dulu. Jika tidak kutanya dia tidak akan bicara. Akupun semakin rutin ikut pengajian. Dan bertekad akan memperbaiki rumahtanggaku dan Hani.

Malam ini kami seperti biasa tidur tanpa obrolan. Saat pukul 2 dini hari aku terbangun hendak solat malam.
Aku baru sadar, rupanya didepan mataku ada wajah
Yang tengah terpejam, damai nan lembut melebihi embun pagi.  Dengan tangan gemetar aku membenarkan kerudungnya yang semrawutan. Perlahan kurapikan anak rambutnya yang berantakan. Ku tatap lekat..

Sudahkah aku benar-benar menerima takdir yang di gariskan Allha Swt?
Sudahkah aku mencintai istriku sendiri? Bukan karena hati Syaida yang dimilikinya?

Ya Muqollibal Qulub..
Aku menyerah, aku mencintainya.

Jika Syaidatun Azzahra adalah 'matahari yang menghangatkan hatiku'. Maka, Hani khairunnisa adalah 'embun pagi yang menyejukkan hatiku'. Dua wanita istimewa yang Allah pilihkan untuk bersama  meraih Jannah_Nya. Keduanya menempati masing-masinh tempat yang istimewa di hatiku.

END
#AMK

Post a Comment

Previous Post Next Post