Menantu Pilihan (Part 8)

By : Nellliya Ummu Zahra
(Member AMK dan Pegiat Literasi)

Pasca dilakukan tindakan operasi, Maryam belum juga membuka matanya.

Berdasarkan keterangan dokter benturan dikepalanya cukup parah. Dokter akan melihat perkembangannya ketika nanti Marya sudah sadar. Sebelum magrib aku, bapak, dan ibu pulang kerumah. Tinggallah kelurga Maryam dirumah sakit.

Aku masih belum bisa bernafas lega sampai saat ini. Bayang-bayang Maryam akan pergi untuk selamanya membuat kepalaku berdenyut sakit. Jujur saja sampai usia sekarang aku tak pernah menjalin hubungan spesial dengan wanita manapun. Dan teman-teman perempuan aku hanya menganggapnya sebatas teman. Tidak lebih.

Hanya kepada Maryam, aku merasakan detak jantungku lebih cepat bila namanya disebut, atau saat aku melihatnya. Aku juga tidak mau menyimpulkan perasaan apa ini. Yang kutahu aku merasakan rasa itu hanya kepada Maryam.

Aku terus hanyut dengan pikiranku sendiri. Tidak ada obrolan sepanjang perjalanan kerumah. Ibu yang kulihat tertidur disebelah Bapak. Bapak sendiri pun hanya fokus menyetir.

Tidak berapa lama mobil memasuki halaman rumah. Kami segera masuk dan aku ingin segera membaringkan itu ini sejenak. Kepala yang sedari tadi terus berdenyut membuat ku benar-benar butuh kasur saat ini.

Perlahan aku merebahkan tubuh di kasur. Dengan pikiran yang masih berkecamuk. Sungguh kejadian ini mampu menjungkir balikkan perasaan ini.

Setelah kurasa cukup mengistirahatkan diri, segera aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan solat magrib.
Selesai salam. Aku menadahkan tangan, sembari merapalkan doa untuk kesembuhan Maryam.

"Ya Allah... ya Robbi.. ampunilah kesombongan hamba_Mu ini. Hamba yang terlalu sombong. Berfikir bahwa apa yang hamba inginkan apa yang hamba rencanakan akan hamba dapatkan. Seakan diri ini lupa kepada_Mu ya Rabb.. ampunilah segala kesombongan ini ya Allah.  Ya Allah berikanlah kesembuhan untuk Maryam. Jika dia adalah jodoh yang Engkau pilihkan, maka dekatkanlah dan mudahkanlah. Namun, jika dia bukan jodoh hamba. Maka, hilangkanlah rasa yang tidak halal ini. Aamiin" aku mengusap wajahku dengan tangan gemetar.

Sedari habis magrib Zainal hanya berdiam diri di kamar. Sebagai ibunya tentu aku khawatir. Dan aku sangat mengerti apa yang sekarang sedang dirasakan anak semata wayang kami.

Memang diawal aku tidak begitu menyukai Maryam, sebagai pilihan Zainal. Karena sejujurnya aku ingin Zainal menikah dengan keluarga yang sama dengan kami.wanita yang berpendidikan tinggi, dan berkarir. Tapi aku harus mengubur keinginan itu, karena Zainal sendiri tidak bersedia dengan pilihan kami orangtuanya. Dan lebih memilih Anaknya bu Rumi dan Pak Ahmad, Maryam.

Tapi semua pandanganku tentang Maryam berubah setelah aku bertemu, dan berinteraksi langsung dengannya. Dia gadis yang lembut, sopan, dan agamais. Karena itu Zainal pernah bilan kepadaku bahwa tidak boleh menilai orang dari luarnya saja. Seperti menilai buku hanya dari covernya.

Kupikir gadis seperti itu yang diinginkan Zainal selama ini. 

Lalu tak ada pilihan selain memberikan restu kepada mereka. Dan kejadia hari ini sungguh membuat aku syok. Bagaimana tidak, Maryam kecelakaan sedangkan seminggu lagi mereka akan melangsungkan pernikahan. Duh Gusti... cobaan apa untuk anak kami ini.

Aku segera menaiki tangga menuju kamar Zainal. Dari tadi kamar tertutup.

Tok...tok..
"Zainal, le buka pintu" aku sedikit berteriak. Karena kupikir mungkin saja dia tertidur.

Ceklek. Pintu terbuka menampakkan wajah Zainal yang lesu, tidak bergairah seperti hari biasanya.

"Le, ayuk makan dulu. Sudah malam ini. Dari tadi kok cuma diam di kamar. Ayok makan bapak sudah nunggu di meja makan" sahutku sambil menuntun tangannya untuk keluar kamar.

"Iya bu. Maaf tadi Zainal habis membaca al-Qur'an. Setelah itu rehat sebentar"

Setelahnya kami bersama-sama turun untuk makan malam.
Suasana makan malam kali ini hanya diisi keheningan. Hanya terdengar suara sendok dan garpu yang beradu. Mungkin kami sedang sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Zainal, besok kamu ndak usah ke kantor. Ndak apa ya" kali ini Bapak membuka suara. Dan menatapku. Kulihat beliau sudah selesai makannya.

"Iya pak. Rencana begitu. Besok Zainal akan berkunjung kerumah sakit. Siapa tau ada kabar baik" jawabku.

"Iya semoga saja ya le. Ibu juga besok ikut kamu ya. Untuk untuk undangan yang sudah tersebar nanti biar bapak mu yang urus ya." Kulihat ibu menepuk pelan tangan bapak.

"Iya. Ndak usah kahwatir. Tentang itu nanti bapak yang akan ngurus" bapak menjawab dengan menatapku. Aku tau bapak dan ibu saat ini pastilah mencemaskan keadaan ku. Ini terjadi untuk pertama kali dalam keluarga kami. Ujian ini. Tentu bapak dan ibu berempati kepadaku selaku anak semata wayang mereka.

Seperi obrolan kami semalam aku akan mengunjungi Maryam dirumah sakit hari ini bersama ibu. Sedangkan bapak akan ke kantor sendiri.

Tuut..tuut.. kulihat hp ku berbunyi. Dan yang menelfon adalah pak Ahmad. Jujur saja perasaanku kembali tidak karuaan. Aku belum siap jika harus mendengar kabar buruk. Ya Allah semoga saja kabar baik yang akan aku terima bathinku.

"Assalamualaikum. Hallo pak. Ada apa?" Aku bertanya pada sosok di sebrang sana.

"Walaikumslam.wrwb, nak Zainal. Bapak mau memberi kabar kalau Maryam sudah sadar meski sekarang kondisinya sangat lemah. Jadi jangan terlalu khawatir lagi" jawaban pak Ahmad membuar aku menghembuskan nafas yang sedari tadi kutahan. Karena gugupnya.

"Alhamdulillah pak. Insyaallah sebentar lagi kami akan kerumah sakit. Terimakasih ya pak sudah mengabari saya. Assalamualaikum" 

"Iya nak. Sama-sama. Walaikumslam" tuuut.. pak Ahmad memutuskan sambungan telfon kami.

Segera aku memberi tahu kabar gembira ini pada Bapak dan ibu. Mereka pun sama sepertiku mengucap syukur kepada Allah karena mengembalikan Maryam kembali.
Jadilah bapak pun akan ikut kami. Sebelum kerumah sakit ibu membeli banyak makanan dan buah-buahan. Ini fikir Maryam butuh makan yang banyak agar segera pulih.

Aku menyetir dengan senyum yang bertahan dibibirku. Dalam hati tak henti rasa syukur atas kabar gembira ini.
Tidak berapa lama kami sampai dirumah sakit. Segera kami menuju ruang rawat Maryam.

Sesampainyanya disana. Keluarga Maryam lengkap menunggui. Ibu sudah duluan masuk. Sementara aku ada sedikit keraguan untuk masuk. Dari balik kaca pintu aku melihat Maryam yang terbaring masih dengan wajah pucatnya. Tidak ada senyum disana. Wajahnya datar, ataukah dia sedang menahan rasa sakit bathinku.

Aku segera melangkah masuk.
"Assalamualaikum" aku memberi salam dan mendekati mas Azzam dan mas Hanif yang berdiri didekat pintu.

"Walaikumsalam"mereka menjawab salam dan meliaht kearahku. Kulihat Maryam tidak sedkitpun melihat kearahku. Masih bertahan dengan wajah datarnya.

"Mas gimana keadaan Maryam sekarang?" Tanyaku pada mas Hanif.

"Alhamdulillah sudah beberapa jam yang lalu Maryam sadar. Tapi sekarang dokter masih melakukan observasi tentang kondisinya. Kita doakan saja ya agar Maryam segera pulih seperti sedia kala" jawab mas Hanif sambil menepuk-nepuk pundakku.

"Aamiin" sahutku pelan. Aku teringat akan doaku semalam. Apakah ini jawaban dari Allah Swt kalau Maryam adalah jodohku. Dan dengan sadarnya Maryam saat ini artinya Allah memberikan aku kesempatan. Lalu aku melirik Bapak dan memberi isyarat untuk keluar ruangan.

Diluar tunggu aku mengutarakan niatku untuk menikahi Maryam saat ini juga. Keinginan ini bukan karena aku tergesa-gesa. Ini sudah aku pikirkan semalaman jika Maryam membuka matanya.

Bapak mendengar dengan seksama apa yang aku sampaikan. Setelahnya kami kembali ke kamar.

"Mohon maaf pak Ahmad sekeluarga saya ingin menyampaikan niat anak saya untuk melakukan akad nikah dengan Maryam saat ini juga. Bagaimana apakah Bapak sekeluarga berkenan?"

 bapak menjelaskan dengan hati-hati khawatir keluarga pak Ahmad tersinggung.

Kulihat keterkejutan diwajah mereka termasuk ibu. Tapi tidak lama setelahnya kembali biasa.

"Hmm. Pak dan Nak zainal apa tidak sebaiknya setelah Maryam sembuh saja kita langsungkan akadnya"kali ini pak Ahmad bersuara.

"Maaf pak, ibu, jika keinginan saya ini menyinggung perasaan bapak dan ibu. Bukan juga karena saya egois tidak melihat kondisi saat ini" aku menjeda kata-katku sebelum melanjutkan kembali.

"Pak. Kita tidak tahi kedepannya akan seperti apa. Apakah Maryam akan pulih atau malah sebaliknya. Bukan saya mendoakan keburukkan untuk Maryam. Tapi izinkan saya untuk menghalalkan anak bapak saat ini juga pak. Biarlah apa yang akan terjadi terjadi nanti kita serahkan kepada Allah saja. Insyaallah saya akan menerima apa pun kondisi Maryam setelah ini" aku berkata dengan mantap dan tidak ada sedikitpun keraguan dihatiku.

"Baiklah nak. Jika itu niatmu dan kamu melakukan ini semata-mata untuk mengharap ridho Allah Swt. Insyaallah bapak mengizinkan. Tapi sebelumnya alangkah baiknya jika kita tanyakan kesediaan Maryam terlebih dahulu" pak Ahmad berjalan mendekati ranjang tempat maryam terbaring. Kemudian memberi isyarat kepada bu Rumi untuk menanyakan.

"Maryam, sayang apakah kamu bersedia nak menikah saat ini juga dengan Zainal?" Kulihat bu rumi bertanya sambil mencuim kening Maryam. Tidak berapa lama kulihat anggukan pelan kepala Maryam menandakan dia bersedia.

Alhamdulliah seruku. Akhirnya kami menyiapkan segala keperluan untuk akad disini juga. Ibu dan Bapak keluar sebentar untuk membeli Mahar. Sementara pak Ahmad bersama kedua anak lelakinya mencoba mengubungi penghulu dan saksi. Setengah jam berlalu. Disinilah kami sekarang dilorong rumah sakit depan kamar maryam yang sudah tersedia beberapa kursi. Sebelumnya kami sudah meminta izin kepada pihak rumah sakit. Tentu banyak yang memperhatikan kami baik pasien atau dokter disini.

Aku sendiri sudah berganti baju dengan kemeja putih dan celana kain yang tadi dibawa ibu. Tidak lupa mahar yang diminta Maryam tempo hari. Seperangkat alat solat dan hapalan surat Ar-rahman. Tapi sebenarnya aku pun sudah menyiapkan cincin emas sebagai hadiah yang sudah aku kantongi dari rumah tadi.

Akhirnya penghulu dan saksi sudah duduk dihadapanku. Berserta bapak, pak ahmad, Mas Azzam dan mas Hanif.  Sementara ibuku dan bu rumi didalam kamar rawat bersama Maryam. 
Aku sendiri sudah mulai berkeringat. Ini moment sakral seumur hidupku. Dalam hati terus merapalkan doa meminta dilancarkan.

"Baiklah nak zainal sudah siap? Kalau iya kita mulai saja" pak penghulu menyadarkanku dari rasa gugup ini.

"Iya pak . Insyaallah saya siap" jawabku mantap.

Baiklah pak Ahmad mulai menjabat tanganku

"Bismillahirohmanirrahim.
Saya kunikahkan dan ku kawinkan engkau Zainal Abdullah bin Hasan Ansyori dengan putri kandungku Maryam Nafisah binti Ahmad Pangestu dengan mas kawin tersebut dibayar tunai" pak ahmad masih menggenggam tanganku.

"Saya terima nikah dan kawinnya Maryam Nafisah binti Ahmad Pangestu dengan mas kawin tersebut dibayar tunai" jawabku dalam sekali tarikan nafas.

"Sah"
"Sah"

suara penghulu dan saksi menyadarkankan ku Alhamdulillah semua mengucap syukur. Suasana haru mewarnai akad nikah kami barusan.

Kemudian bapak memelukku dengan mata berkaca-kaca. Dan membisikkan kata selamat. Kemudian disusul pak Ahmad, mas Azzam dan mas Hanif. Mereka bergiliran memelukku dan mengucapkan selamat.

Setelahnya kami segera memasuki ruang rawat dimana ibu,bu Rumi dan Maryam menunggu.

Aku berjalan mendekati Maryam yang terbaring. Kemudian ibu yang melihatku mendekat lalu menggeser duduknya dan mempersilahkan aku untuk duduk disamping ranjang Maryam. Aku melihat maryam menatapku dengan senyuk tipis menghiasi wajahnya.

Masyaallah wajah dan senyum yang meneduhkan itu aku bisa kembali melihatnya dengan status yang berbeda. Ya status kami sekarang sudah menjadi suami istri yang sah.

Denga perlahan aku meraih tangannya. Dan sedikit gemetar. Karena sebelumnya aku tak pernah bersentuhan secara sengaja dengan perempuan. Kecuali ibu. Lalu tanganku disambut tangan nan selembut kapas. Tetapi tangan itu dingin. Aku tersenyum kepada bidadariku ini. Kemudian aku membacakan mahar yang dia minta dengn hapalan surat Ar-rahman. Lalu aku mulai membaca sembari menggenggam tangannya. Sampai pada ayat:


فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ

"Maka nikmat Tuhammu manakah yang kamu dustakan?"

Air mataku lolos keluar. Sungguh banyak sekali nikmat Allah berikan sepanjang hidupku. Ditambah saat ini aku memiliki istri shalehah penyejuk mata kudengar ibu pun terisak pecah tangisnya dibelakang ku.

Lalu kulanjutkan hingga selesai. Aku kembali menatap wajah teduh istriku. Dan kulihat perlahan Maryam menutup matanya. Dan tangannya semakin dingin. Deg  jantungku serasa diremas saat ini. Aku meraba nadinya. Terasa sangat lemah..
Aku berdiri dan mengguncang pundaknya pelan.

"Maryam, Maryam buka matamu humairah. Buka Maryam" sahutku lirih. Keluarga yang melihat ini segera mendekat. Kulihat bu Rumi terisak memeluk Maryam. Ibu pun tak kalah terkejut. Dalam keadaan terkejut seperti ini kulihat mas Azzam dengan sigap memanggil dokter.

Sementara aku diam menyaksikan mata Maryam yang telah tertutup sepenuhnya. Sambil meremas pelan tangan yang semakin dingin itu. 
Allah apakah ini saatnya aku melepaskan dia bathinku..

Bersambung..... Menantu Pilihan (Part 9)

Post a Comment

Previous Post Next Post