Sistem Demokrasi Suburkan Korupsi



Oleh: Yuli Ummu Raihan
Member Akademi Menulis Kreatif 

Bak jamur dimusim hujan, korupsi  tumbuh subur dan terus berkembang.  Begitulah kiranya ungkapan yang sesuai  untuk menggambarkan maraknya kasus korupsi di negeri ini. Mulai dari rakyat biasa sampai para pejabat, sehingga menimbulkan kekhawatiran beberapa pihak, bahwa sistem demokrasi kapitalis yang saat ini diemban akan menggiring negeri ini menjadi kleptokrasi atau negara maling.

Seperti yang baru-baru ini membuat publik tercengang, yakni skandal korupsi jual beli jabatan di kementerian agama yang dilakukan oleh Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy alias Romi. Bukan tanpa alasan jika kasusnya menjadi perbincangan hangat diantero negeri. Hal ini dikarenakan  beredar rekaman video dirinya yang tengah berpidato kemudian mengatakan tentang pejabat yang bisa menjadi penjahat karena buruknya sistem demokrasi.

Skandal korupsi tidak hanya dilakukan oleh elit pejabat negeri ini, tetapi terus menggurita hingga merayap ke tingkat bawah. Salah satunya yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang juga berstatus sebagai kasir koperasi di Kantor Kementerian Agama Sidoarjo, Jawa Timur, Lilik Handayani.

Kasus bermula saat koperasi kantor menerima bantuan dari Kementerian Koperasi dan UKM secara bertahap pada setiap tahunnya. Bagi PNS yang hendak meminjam, maka dipersilakan untuk membuat pengajuan ke kantor koperasi tersebut. Kemudian, Lilik yang bertugas sebagai kasir melakukan aksi manipulasi sedemikian rupa sampai   bisa meraup   angka Rp3,3 miliar  sejak Mei 2018 hingga 2019. Hingga akhirnya ia dijatuhi hukuman selama 4 tahun penjara dan denda Rp150 juta, plus diwajibkan mengembalikan uang yang ia korupsi. Apabila ia tidak mengembalikan dalam jangka waktu 1 bulan, maka harta bendanya akan dilelang, dan apabila masih belum mencukupi, maka hukuman pidana penjara akan ditambah 18 bulan oleh Pengadilan Negeri Surabaya di bawah pimpinan Ni Made Sudani.

Kasus-kasus tersebut menambah panjang daftar korupsi di negeri ini khususnya di Kementerian Agama. Dimana sebelumnya, Menteri Agama 2007-2011, Suryadharma Ali tersandung kasus korupsi dana haji 2012-2013, dan kini masih menjalani masa pemidanaan di Lembaga Pemasyarakatan (LP)  Sukamiskin Bandung selama 10 tahun. Belum lagi,  proyek Alquran yang tak luput dari  intaian koruptor untuk turut dijarah. Hal tersebut dilakukan oleh  Zulkarnaen (anggota DPR) dan putranya, Dendy, yang akhirnya masing-masing dihukum 15 dan 8 tahun penjara.

Di tingkat daerah, koruptor tak mau kalah. Oknum pegawai Kanwil Kemenag Mataram dibekuk karena korupsi dana rehab masjid yang terdampak gempa Nusa Tenggara Barat (NTB), dan kini kasusnya tengah berada di tingkat penyidikan.

Menyaksikan fenomena ini, guru besar Universitas Jenderal Sudirman (Unsoed) Purwokerto, Prof. Hibnu Nugroho  berpendapat bahwa untuk memutus tali korupsi harus ada tindakan yang radikal dan total. Sebab,  Kemenag  harusnya menjadi panutan bagi kementerian lainnya (detikNews, Minggu 17/3/2019).

Tingginya angka korupsi di negeri ini, bahkan pada tempat-tempat yang sensitif( agama) menjadikan Indonesia menempati posisi ke -89 dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2018 diantara 180 negara (Mnews, Selasa 19/3/2019). Hal ini menjadi satu bukti bahwa korupsi adalah salah satu produk busuk demokrasi. Sebab, Swiss sebagai negara yang telah mapan demokrasinya pun, mendapat gelar negara terkorup di dunia menurut Tax Justice Network, kemudian  disusul Amerika Serikat sang penjaga demokrasi.

Mirisnya lagi, 44 % rakyat Amerika Serikat mengatakan bahwa korupsi makin meluas di Gedung Putih sejak Trump berkuasa. Hal ini didasarkan pada survei Tranparency International. Setali tiga uang dengan Amerika, Uni Eropa yang dikenal sebagai kawasan paling bersih, tingkat korupsinya pun terbilang tinggi hingga mencapai 2.233 triliun per tahun. Pun demikian dengan Inggris, yang dinilai gagal mengatur pembiayaan partai politik yang dianggap sebagai faktor utama dalam korupsi, (M news Selasa,19/3/2019).

Maraknya kasus-kasus korupsi yang terjadi negeri ini dan dunia pada umumnya, membuktikan bahwa sistem demokrasi kapitalis lah yang menumbuh suburkan korupsi hingga tak mengenal tempat, waktu, serta pelakunya. Biaya politik yang tinggi serta gaya hidup hedonis menjadi pemicu budaya korupsi. Tak ada jaminan bahwa orang atau parpol yang baik sekalipun, serta latar belakang apapun selamat dari korupsi, seperti yang terjadi ke Kemenag. Jika tingkat bawah saja mampu mengeruk uang rakyat hingga milyaran rupiah, apalagi tingkat atas atau sekelas Menteri.

Berharap menghentikan kasus korupsi dengan sistem demokrasi adalah hal yang sia-sia, karena pada faktanya, hukuman tidak memberi efek jera, justru kian menyuburkan budaya korupsi.

Realitas ketidaktegasan hukum bagi para pelakunya membuat publik makin geram. Lihat saja para maling berdasi itu, meski telah tertangkap atau dihukum penjara, senyum sumringah tetap menghiasi wajah mereka. Tak ada rasa malu apalagi bersalah, bahkan mereka mendapat fasilitas mewah bak hotel di dalam penjara. Hal ini sangat kontras dengan para  pelaku pencurian biasa, yang harus rela babak belur bahkan meregang nyawa hanya karena  kasus yang terkadang sepele.

Kembali pada Islam dan menjadikan syariatnya sebagai standar terbaik dalam menyelesaikan setiap problematika kehidupan, termasuk korupsi adalah pilihan terbaik. Sebab, hanya sistem Islam(khilafah) yang akan mampu menyelesaikan semua ini, dikarenakan  Islam mengatur  seluruh interaksi manusia beserta konsekuensinya. Islam pun mengatur sanksi tegas yang mengikat dan memberi efek jera.

Islam memerintahkan pada setiap pemeluknya agar menjadikan aqidah sebagai landasan dalam mengatur aktivitasnya, sehingga seorang muslim akan berpikir seribu kali sebelum melakukan suatu perbuatan. Sebab,  aqidah akan membentengi seseorang dari tindakan tak terpuji, seperti korupsi. Yang pada akhirnya moral umat terjaga, terjaga pula akhlaknya dengan takwa, munculnya rasa takut kepada Allah, dan yakin akan hisab atas segala amal perbuatan baik dan buruk. Terlebih, Islam memberi kemudahan pada semua urusan,  bahkan sampai pada urusan berpolitik, yang seluruhnya jauh dari kesan mahal seperti dalam sistem demokrasi.

Jika ketakwaan individu sudah terjaga,  kontrol dari masyarakat berjalan, serta adanya  sanksi tegas dan jelas dari negara,  maka insya Allah korupsi tidak akan lagi jadi menu harian yang terus diperbincangkan. Andai pun terjadi, hanya satu atau dua kasus. Itu pun  akan segera terselesaikan dengan pemberlakuan sanksi tegas. Hal ini hanya akan terjadi jika Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan dalam bingkai khilafah yang akan menjaga umat dari segala kerusakan. Saatnya umat bersama-sama untuk memperjuangkan tegaknya syariah dan khilafah di bumi Allah, agar tercipta rahmatan lil'alamin.

Wallahu a'lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post