Remaja dalam Kepungan Industri Perfilman 


 

Oleh: Fita Erviana Sinta S.Pd 

" Rindu itu berat, nggak akan kuat biar aku saja " . Siapa yang tidak kenal dengan gombalan tokoh Dilan dalam film Dilan 1990 ini.  Film yang cukup viral di tahun 2018 lalu hingga berhasil menembus  lebih dari 4,5 juta penonton selama dua pekan penayangannya. Mengikuti kesuksesan 'Dilan 1990' ditahun ini Max Pictures kembali merilis 'Dilan 1991'. Film yang serentak ditayangkan pada tanggal 28 Februari 2019 ini cukup disambut antusias oleh masyarakat terutama kalangan remaja. Terbukti di hari pertama penayangannya film ini berhasil mendapatkan 800 ribu penonton dan menjadi sejarah baru bagi perfilman Indonesia.

Sama halnya dengan film  bertemakan cinta lainnya sebenarnya tidak ada yang istimewa dari film ini. Hanya saja film Dilan digadang-gadang mampu menyuguhkan nuansa cinta berbeda dengan  latar tahun 1990. Penonton akan digiring untuk bernostalgia dengan kehidupan cinta ala tahun 90-an . Tokoh Dilan dalam film tersebut digambarkan sebagai anak muda yang cukup tampan, bad boy, ketua geng motor namun tergila-gila dengan milea.kegilaanya terhadap milea ini  membuatnya mengeluarkan berbagai jurus gombalan yang mampu memikat sang pujaan hati.

Bagi sebagian remaja saat ini, sosok Dilan yang tampan, cool dan berikut rayuan gombalnya menjadi daya pikat tersendiri. Tak aneh jika kemudian hari banyak remaja muslim yang juga mengidam-idamkan sosok pujaan hati layaknya Dilan. Padahal jika ditilik dari sudut pandang Islam, karakter tokoh Dilan jauh dari gambaran karakter ideal sosok pemuda muslim. Namun karena pengaruh film nilai-nilai diluar Islam sangat mudah diadopsi oleh kalangan remaja.

Jika kita berbicara tentang film maka tidak bisa dilepaskan dari industri perfilman. Kiblat perfilman dunia, tak bisa disangkal, adalah Amerika Serikat. Hampir seluruh selebriti dari negara mana pun ingin menginjakkan kaki di sana, entah untuk sekadar melihat bintang-bintang besar atau bahkan ikut main film. Industri perfilman Amerika Serikat, atau Hollywood, adalah puncak karier selebriti. Jakarta, CNN Indonesia, Kamis (12/03/2015).
Amerika Serikat adalah  negara dengan ideologi kapitalis. Aroma liberalisme tak bisa dipisahkan dari ideologi ini.  Nilai-nilai kebebasan ini pun kemudian diadopsi oleh industri perfilman. Dalam sebuah industri keuntungan atau materi adalah orientasinya.  Standar halal dan haram tak lagi jadi acuan. Selama ada permintaan maka akan terus diproduksi. Maka tak heran jika dibanyak film Bollywood kita bisa menyaksikan kehidupan free sex menjadi sesuatu yang lumrah. Bahkan tak jarang nilai-nilai liberal lainya misalnya paham feminisme, LGBT,  HAM dan lain sebagainya juga turut dikampanyekan. Bahayanya jika ini terus dikonsumsi remaja kita, maka tak dipungkuri pola pikir dan pola sikapnya akan liberal. Bahkan mereka akan menjadi duta-duta liberalisme.

Dalam Islam hukum menonton film pada dasarnya mubah atau boleh-boleh saja. Hanya saja kemubahan ini harus dilihat, apakah menghantarkan pada sesuatu yang meningkatkan keimanan atau justru melalaikan dan menjerumuskan pada perkara yang haram. Film bukanlah sesuatu yangi bebas nilai. Film menjadi media yang cukup efektif dalam menyebarkan paham atau  gagasan tertentu. Oleh karena itu butuh sinergi antara tiga komponen yakni individu, masyarakat dan negara. Individu yang bertaqwa adalah individu yang selalu mengingat Allah. Ia sandarkan segala perilakunya berdasarkan ketetapan Robbnya. Maka film-film yang dapat merusak akidah akan ia hindari. Ia tidak terjebak dan mengambil begitu saja nilai-nilai yang dikampanyekan dalam film tersebut.

Peran masyarakat juga menjadi sesuatu yang sangat urgent. Masyarakat yang peduli adalah masyarakat yang turut ambil bagian dalam melakukan control sosial. Telah terbukti beberapa somasi yang dilakukan masyarakat terhadap berbagai tayangan yang tidak mendidik cukup berhasil. Disatu sisi yang tak kalah pentingnya adalah peran negara, negara harus punya standar yang jelas terhadap berbagai film yang layak dipublis atau tidak. Selain itu negara harus bisa memanfaatkan lembaga sensor film untuk memastikan film yang layak tonton atau tidak. Jika lembaga perfilman masih melanggar maka dengan kekuatan hukum negara mampu memberikan sangsi yang tegas .

  Di sinilah kita sangat membutuhkan khilafah, satu-satunya institiusi yang mampu mensinergikan tiga elemen tersebut dengan landasn yang sama yakni aqidah Islam. Selain itu khilafah juga akan menerapkan syariat Islam.secara kaffah, termasuk meri'ayah umat dalam hal perfilman.
Wallahu a'lam bi ashowab


*) Pemerhati remaja dan penggiat dakwah remaja Bondowoso

Post a Comment

Previous Post Next Post